Oleh M ALI ZAIDAN
Sungguh ironis. Nyawa empat orang yang tengah tertidur pulas saat menjalani proses hukumnya hilang kena muntahan peluru segerombolan orang yang datang menyerbu.
Proses hukum suatu peristiwa kekerasan didahului pula dengan kekerasan. Kekejian dilawan dengan kekejian. Maka, kekerasan pun dilanggengkan ketika sekelompok orang mempertontonkan kekuatan di arena publik. Aksi mereka disaksikan para sipir dan puluhan penghuni lembaga pemasyarakatan, yang bisa menimbulkan trauma panjang.
Serangan pada pagi buta dan menelan korban jiwa itu jelas dilakukan secara terukur karena para korban belum berapa lama dipindah dari tahanan polda. Pelaku jelas telah mempelajari seluk-beluk rumah penjara itu sehingga mereka mudah melumpuhkan penjagaan dengan sistem pengamanan cukup canggih.
Pelaku berada dalam spiral kekerasan yang begitu rapi sehingga pengusutan pasti tak mudah. Johann Galtung pernah menyebut bahwa kekerasan seperti ini merupakan bentuk kekerasan struktural, artinya kekerasan itu berlapis-lapis, berbentuk spiral sedemikian rupa sehingga tidak mudah menguraikannya, bahkan mungkin larut kembali dalam kekerasan. Pelaku dapat dipastikan menganut ideologi kekerasan ini sehingga kekerasan dibalas dengan kekerasan pula.
Pesan simbolis
Di balik peristiwa itu dapat ditarik beberapa pesan. Pertama, semakin menguatnya budaya kekerasan di tengah masyarakat. Perdebatan mengkristal jadi tindakan. Apa yang diucapkan seseorang atau kelompok ditransformasikan menjadi tindakan.
Akar kekerasan yang telah tertanam kuat di ranah kognitif akan menjelma di wilayah faktual. Jadilah tindakan main hakim sendiri, sikap yang tidak mau mengalah, bahkan menonjolkan kelompoknya dengan menyubordinasikan kelompok lain. Kekerasan yang terjadi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu adalah manifestasi dari ideologi ini.
Kedua, lemahnya fundamental hukum. Hukum hanya dipandang sebagai subordinasi kekuasaan. Tellyrand beberapa waktu lalu pernah mengibaratkan kekuasaan laksana bayonet. Menurut dia, banyak yang dapat dilakukan dengan sebilah bayonet kecuali duduk di atasnya. Artinya, kekuasaan cenderung digunakan untuk melukai pihak lain, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan itu sendiri. Putusan-putusan hukum terkadang gagal, khususnya untuk memberikan keadilan (bringing justice to the people) dan bahkan gagal memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat luas.
Sarana berkuasa
Hukum hanya dipandang sebagai sarana di tangan kelompok berkuasa untuk menggulung kelompok lain yang tidak berdaya. Kita telah menyaksikan bagaimana lembaga hukum dengan susah payah menggiring pelaku korupsi, tetapi ujungnya hanya hukuman beberapa tahun. Sebaliknya, kelompok marjinal dihukum berat untuk tindak pidana ringan.
Badan dunia seperti PBB telah berulang kali menyerukan kepada negara-negara anggotanya untuk berpihak kepada kelompok rentan ini. United Nations Congress on Prevention of Crime and Criminal Justice pada 2010 telah merekomendasikan upaya keberpihakan ini. Hukum tidak jarang melakukan kriminalisasi terhadap kelompok yang papa dan justru dengan memberikan perlindungan kepada kelompok yang kuat.
Peristiwa yang tengah kita saksikan di LP Cebongan adalah tindakan yang bersifat extrajudicial. Itu artinya merupakan tindakan main hakim sendiri yang berlangsung secara biadab. Siapa pun pelakunya harus ditangkap dan diusut secara hukum. Ironis bahwa kejadian tersebut justru berlangsung di dalam lembaga hukum.
Peristiwa Cebongan mengisyaratkan ada ketidakadilan yang harus dituntaskan.
M ALI ZAIDAN Pengamat Hukum
(Kompas cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar