Oleh Adig Suwandi
Hanya beberapa bulan setelah dikeluarkannya kebijakan larangan sementara pengimporan 20 produk hortikultura, Indonesia sudah dihadapkan pada krisis bawang putih.
Hanya dalam hitungan hari, harga bawang putih di pasaran melonjak hingga lima kali lipat. Resultan sejumlah indikator kunci, mulai dari lemahnya pemantauan stok, ketidakakuratan perencanaan pasokan komoditas, antisipasi kebutuhan yang tidak valid, hingga profesionalisme importir, ditengarai menjadi pemicu minimnya stok di pasaran.
Begitu dihadapkan pada kepiluan dan kegamangan kolosal atas kemungkinan terus melonjaknya permintaan bawang putih, publik juga sudah bisa menebak langkah yang dimainkan pemerintah. Atas nama stabilisasi harga, terjaminnya pasokan bagi konsumen, dan terkendalinya inflasi, impor jadi pilihan tunggal. Benar saja, otoritas perdagangan sudah mendesain impor bawang putih untuk kali ini, 65.410 ton. Pada tahap pertama, dengan urgensi tingkat kemendesakannya, konon telah disiapkan impor 29.130 ton dari China dan India.
Kenaikan harga komoditas agrobisnis primer di pasaran dengan tendensi minim dinikmati petani secara utuh sudah berulang kali terjadi. Akar penyebabnya pun terlalu kompleks untuk diurai. Apakah semata-mata permintaan melonjak luar biasa pada momen tertentu, produksi dalam negeri turun, dan ketidaklancaran kegiatan bongkar-muat barang di pelabuhan, ataukah tidak berjalannya mekanisme pemantauan stok sehingga tindakan kuratif mengatasinya terkesan serba mendadak?
Analogi prahara bawang putih mirip cabai merah beberapa waktu lalu. Berkedok mengatasi dampak membubungnya harga, pemerintah juga mengeluarkan jurus impor. Tak ayal lagi jika petani dan produsen agrobisnis yang telah mengantisipasi peluang besar dan keuntungan dahsyat dari usaha tani cabai merah—dengan melakukan ekspansi areal dan melaksanakan intensifikasi melalui budidaya terbaik—terpaksa harus gigit jari.
Berdalih membela kepentingan konsumen dengan jumlah lebih banyak, produk impor berlabel harga jauh lebih murah didatangkan dengan sejumlah kemudahan. Tak peduli tindakan itu menjadikan produk lokal tak berkemampuan menandinginya dan menyurutnya animo petani.
Kenyataan faktual impor bawah putih selama bertahun-tahun—terakhir 415.000 ton senilai 242,3 juta dollar AS atau setara Rp 2,3 triliun pada 2012—tidak juga menjadi pendorong dikeluarkannya kebijakan akuntabel terkait peluang bisnis komoditas yang sangat menggiurkan tersebut. Sumber daya alam Indonesia, kesesuaian agroklimat, dan ketersediaan teknologi memberikan basis keunggulan kompetitif bagi terselenggaranya kegiatan budidaya sejumlah komoditas agrobisnis primer, termasuk bawang putih dan bawang merah. Yang diperlukan petani hanyalah kejelasan arah terkait perencanaan komoditas. Suatu instrumen kebijakan pemberdayaan yang memungkinkan mereka dapat memilih varietas unggul dan mengadopsi agroteknologi, serta berkeyakinan bahwa bawang putih memberikan nilai ekonomi lebih meski didesain.
Peran negara digugat
Eksekusi program strategis, seperti peningkatan produksi menuju swasembada bagi sejumlah produk agrobisnis primer yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tentu tidak terlepas dari peran negara. Petani berharap negara hadir, berkorban, dan melindungi mereka, antara lain melalui jaminan pendapatan minimum dan proteksi terhadap masuknya produk sejenis saat panen raya tiba atau stok berlebih.
Jaminan paling mendesak menyangkut jaminan harga dasar minimal sebesar biaya produksi, ditambah margin keuntungan tertentu sedikit di atas suku bunga perbankan komersial. Langkah yang sudah diterapkan untuk petani tebu tersebut rupanya menopang terpeliharanya hubungan emosional lebih baik berbentuk kemitraan.
Petani juga perlu mendapat panduan pemilihan varietas unggul terkini, akses pemasaran, dan perkiraan informasi harga saat panen. Hanya melalui cara itulah kebebasan petani dalam menjatuhkan opsi komoditas yang menjadi komitmen negara untuk swasembada dapat lebih terjamin operasional di lapangan.
Tantangan sistem, rekayasa, dan manajemen produksi agrobisnis berkelanjutan, apabila tidak ditangani secara profesional dan kontekstual, tentu berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap masa depan pertanian. Bukankah hingga kini kita juga belum melihat beleid kawasan tata ruang budidaya dapat dilaksanakan secara taat asas sesuai potensi agro-ekosistemnya?
Semua orang paham, tata ruang merupakan prasyarat mewujudkan pertanian berdaya saing kuat, yang dicirikan dengan efisiensi tinggi dan harga pokok produksi (unit cost) rendah. Ketidakjelasan arah politik pertanian selama ini telah membawa korban dengan kerugian fatal, seperti tidak segera terwujudnya swasembada komoditas pangan strategis sehingga terus mendorong dibukanya keran impor meski sudah ada peta jalan (roadmap) sebagai acuan.
Tantangan yang fakta indikatif tersebut jelas memerlukan solusi komprehensif pada tataran teknis, yang memungkinkan petani mampu mereduksi dampak yang ditimbulkan secara cerdas dan tanpa pengorbanan berarti. Prahara bawang putih hanyalah sebagian kecil persoalan manajemen komoditas yang memerlukan penanganan lintas sektoral. Tentu saja diikuti kebijakan efektif bernuansa penguatan peran petani, komitmen mereduksi impor secara proporsional, dan membangun daya saing melalui penguatan riset aplikatif.
Akhirnya, persoalan ini akan bergantung pada cara bangsa ini dalam memaknai krisis demi krisis komoditas agrobisnis primer tersebut. Juga bagaimana mendesain ulang cara mitigasinya dengan ekspektasi tidak akan terjadi di masa-masa mendatang.
Adig Suwandi Praktisi Agrobisnis, Alumnus FP Universitas Brawijaya
(Kompas cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Nice article. Apakah anda dulu SMA Kertosono?
BalasHapusSudarmadji