Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 03 Juni 2013

Dewa-Dewi Olympus di Tengah Kita (Stanislaus Sandarupa)

Oleh Stanislaus Sandarupa

Mengapa sekelompok manusia Indonesia terlibat dalam korupsi, perusakan hutan, pembakaran properti, pemerkosaan, perbudakan, bahkan pembunuhan sesama manusia?

Tentang korupsi uang, di samping sifat permisif masyarakat, juga dapat dipastikan korupsi terjadi bukan karena kemiskinan, melainkan karena ingin berkuasa. Sejak tertangkapnya koruptor pajak, Gayus, sampai Aiptu Labora Sitorus dengan rekening gendut Rp 1,5 triliun—sebelumnya Djoko Susilo dengan puluhan rumah, mobil mewah, dan istri simpanan—menunjukkan bahwa para koruptor Indonesia ingin hidup seperti dewa-dewi Olympus dalam mitologi Yunani.

Mereka punya kekuasaan dan terlibat dalam perselingkuhan. Homer menulis dalam Iliad, dewa Olympus yang paling berkuasa adalah Zeus. Ia berselingkuh dengan banyak wanita tanpa diketahui istrinya, Hera (Homer, 1988 [1951]). Mirip Ahmad Fathanah yang dikelilingi puluhan artis. Bedanya, dalam mitologi Yunani dewa dimanusiakan, tapi di Indonesia koruptor didewakan.

Korupsi dan pemberantasannya ibarat semut beriringan. Di depan ada upaya pembiaran, dan di belakang upaya serius pemberantasan. Ini pencegahan semu yang tak akan ada habisnya.

Selain itu, juga terjadi "perselingkuhan" antara politisi dan artis. Para elite politik tampaknya sangat berbudaya. Bukan saja karena mengadopsi istilah-istilah kesenian seperti aktor politik, panggung politik, drama politik, dan nyanyian politik, melainkan keduanya sudah saling penetrasi. Politisi menjadi artis, bernyanyi dangdut sambil kampanye, sedangkan artis menjadi politisi, korupsi sambil beretorika. Pro- gram utama untuk kepentingan rakyat tidak penting.

Di sini partai politik (parpol) mengalami krisis multidimensi, terutama kaderisasi. Para pimpinan dan anggota partai tidak menjadikan parpol sebagai sarana pendidikan politik dan penampung aspirasi rakyat, tetapi sarana mendapatkan kekuasaan dan uang. Setelah berkuasa, rakyat dilupakan.

Para penguasa koruptor mengubah manusia Indonesia lain menjadi binatang. Mereka bahagia memiliki puluhan rumah mewah, sedangkan lainnya menderita bersemayam di kandang kambing. Mereka tidur enak di kasur uang, puluhan mobil sekaligus, dan dilayani puluhan istri, sedangkan yang lain harus kerja keras, diperas bagai sapi perah.

Para koruptor Indonesia sudah menjadi roh yang hidup di alam gaib Olympus Indonesia.

Prinsip negasi Hegel

Tapi, tahukah kita korupsi bukan berarti Olympus? Kata corruptor berasal dari bahasa Latin yang berarti "perusak". Kata kerjanya corrumpo, berarti menghancurkan dan memusnahkan (Prent et al, 1969). Mengapa sejumlah manusia Indonesia menjadi perusak?

Hegel, filsuf Jerman, dalam karyanya, The Phenomenology of Mind (1967), menjelaskan hal ini. Hegel berpendapat, korupsi tidak hanya menyangkut korupsi uang, tetapi juga perusakan benda-benda, lingkungan, dan manusia.

Ia berbicara tentang sejarah perkembangan tahap kesadaran diri manusia (self consciousness). Pada tahap awal, katanya, diri sadar akan obyek-obyek lewat keinginan (desire) untuk pemenuhan kepuasan kebutuhan badaniah. Itu berarti, berkuasa atas (mastering) obyek-obyek hidup dan mati. Manusia menguasai obyek dengan menghancurkan dan merusaknya. Kita memakan daging, merobek kertas, merusak dan membakar hutan, benda-benda budaya, dan lain-lain.

Penghancuran demikian merupakan contoh prinsip kekuasaan negasi atau prinsip mematikan (Kojeve 1969 [1947]). Namun, prinsip ini bermasalah ketika berhadapan dengan manusia. Ketika terjadi pembunuhan keji dan mutilasi di berbagai tempat, peristiwa Cebongan, pengeboman manusia tak bersalah, matinya pekerja di terowongan Freeport, dan perusakan mental lewat narkoba adalah aplikasi prinsip negasi yang memperlakukan manusia sebagai benda.

Namun, dengan membunuh manusia lain ia kehilangan orang-orang yang memberi pengakuan. Padahal, inilah yang dibutuhkan. Pengakuan orang lain atas kekuasaannya. Kalau yang lain dibunuh, maka kepuasan tidak akan tercapai karena tidak ada diri lain yang mengakuinya.

Karena itu, terjadilah tahap perkembangan kesadaran diri berikutnya. Manusia tidak dibunuh, tapi diperhamba, ciri khas masyarakat primitif dan feodal. Perbudakan buruh panci di Tanjung Priok adalah salah satunya.

Kemunduran

Mitologi Yunani ditulis 1.000 tahun SM. Ini berarti peradaban kelompok koruptor mundur ke 3.000 tahun silam. Kelompok koruptor mewakili sisi manusia yang menjijikkan karena mengorbankan kelompok jujur yang mewakili sisi kemuliaan.

Paus Innocent III tahun 1198 menulis sisi koruptor, sisi gelap manusia. Dia menulis, lihat rumput dan pohon. Dari substansinya tumbuh daun, bunga, dan buah. Namun, yang keluar dari badan manusia adalah telur kutu dan cacing perut. Dari pohon keluar minyak wangi, anggur, dan balsam. Dari manusia keluar ludah, kencing, dan kotoran. Dari pohon keluar bau enak, dari badan manusia bau yang menjijikkan (Pope Innocent III and Manetti 1960 hal 9). Intinya, lebih baik jadi pohon daripada koruptor.

Sekitar 400 tahun kemudian Manetti, penulis Italia, membantah pandangan Innocent III dengan mengajukan sisi kemuliaan manusia. Di samping jiwa mulia, dia mengunggulkan badan manusia. Lihatlah, katanya, badan manusia berasal dari sperma yang lebih unggul daripada makhluk lain dan ditumbuhkan oleh darah yang lebih murni dan kuat. Baik sperma maupun darah berkembang dari makanan sehat. Semakin tinggi kualitas makanan semakin baik sperma dan darah. Sperma dan darah lebih baik dalam manusia daripada dalam makhluk lain (hal 80). Intinya, manusia makhluk mulia, tidak boleh dibendakan.

Relasi yang berkeadilan

Kita menggarisbawahi sisi kemuliaan manusia dan ide dasar Hegel tentang kesadaran diri yang dimungkinkan hanya oleh keberadaan yang lain. Pandangan ini membantah dominansi rasio, pikiran, sebagai penentu eksistensi manusia seperti prinsip dasar rasionalisme Descartes dalam cogito ergo sum (Descartes 1996), yang berakibat pada solipsisme, suatu eksistensi diri sendiri.

Pembangunan kebersamaan ini penting. Namun, ide Hegel dimodifikasi. Walau hidup penuh perjuangan, kontestasi, dan cenderung menguasai yang lain, the will to power Nietsche, hubungan sosial tidak perlu berakhir pada hubungan perbendaan, perbudakan, dan pembunuhan.

Yang diperlukan adalah pembangunan hubungan sosial yang berkeadilan sosial. Melaksanakan kewajiban dan menghargai hak orang lain. Pembangunan berbasis budaya lokal yang membangun relasi harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan manusia, dan lingkungan. Pendidikan bisa menjadi medianya, mulai dari pendidikan bahasa sampai pelajaran agama.

Demokrasi sosial membangun kesadaran keindonesiaan yang berkeadilan sosial, saling menghargai, dan menerima perbedaan. Negara menata keberagaman budaya dengan integrasi pada nasionalisme keindonesiaan.

Stanislaus Sandarupa Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin

(Kompas cetak, 3 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger