Oleh: Makarim Wibisono
Potensi bencana iklim dunia telah lama disadari para peserta Konferensi X Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP X UNFCCC) di Bali, Desember 2007. Hasil kerja Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCCC) telah disosialisasikan. Benih kesepakatan mengerucut menjaga suhu bumi jangan melebihi 2 derajat celsius dibandingkan dengan suhu sebelum masa industrialisasi dimulai pada 1750.
Untuk ini, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer tak boleh melebihi 450 ppm karena konsentrasi GRK sangat erat hubungannya dengan penaikan suhu bumi. Maksudnya, dalam setiap satu juta molekul di atmosfer bumi, terdapat 450 molekul CO2 atau GRK lain.
Untuk itu, Peta Jalan Bali menyepakati dua jalan sekaligus harus ditempuh. Pertama, melakukan negosiasi memperbarui komitmen negara-negara pihak mengurangi emisi GRK secara signifikan sesuai dengan Protokol Kyoto. Yang kedua adalah melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan program perubahan iklim secara menyeluruh dan jangka panjang. Kerangka ini kemudian disepakati dalam Pertemuan Kopenhagen.
Bagaimana perkembangannya sampai saat ini? Ternyata sungguh sangat mengkhawatirkan karena emisi GRK masih terus berlangsung dengan bebas, sedangkan kesepakatan politik global mengerem laju emisi GRK masih tetap jauh panggang dari api.
Kenyataan di lapangan
Para ahli telah mengumumkan, 10 Mei 2013, hasil observasi stasiun pemantau iklim di Hawaii bahwa konsentrasi GRK di atmosfer terukur sejumlah 400,03 ppm. Gejala ini sungguh mengejutkan karena ambang batas toleransi 450 ppm agar suhu bumi tetap di bawah kenaikan 2 derajat celsius sudah semakin mendekat. Peningkatan konsentrasi GRK tampaknya berjalan sistematis. Martin Khor dari South Center menggambarkan bahwa konsentrasi GRK meningkat pada 1958 menjadi 315 ppm dan semakin meningkat menjadi 375 ppm (2000) dan 400 ppm (2013).
Gambaran ini sejalan dengan laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) 2012 yang ditulis 55 ahli bahwa total emisi GRK, termasuk CO2, metana, dan gas lain, pada 2011 adalah 50 gigaton. Adapun total emisi GRK pada 2000 hanya 40 gigaton. Ini berarti kenaikan emisi GRK secara global mencapai 1 gigaton setiap tahun, setara dengan peningkatan 25 persen dalam satu dasawarsa.
Dalam kaitan ini, UNEP menganjurkan agar total emisi GRK diturunkan menjadi 44 gigaton dalam 2020 agar kenaikan suhu bumi masih terkendali di bawah 2 derajat celsius dari suhu praindustri. Jika tak dilakukan langkah-langkah drastis mengubah kebijakan pemerintah atau gaya hidup manusia, kenaikan emisi GRK akan mencapai 58 gigaton yang berdampak negatif amat dahsyat bagi penduduk dunia.
Saat ini suhu bumi mengalami kenaikan 0,8 derajat celsius dari masa praindustri dan penduduk dunia sudah menderita karena tsunami, banjir, kekeringan, dan bencana alam lain, seperti terjadi di Aceh, Ambon, Xiamen, Pakistan, Inggris, Rusia, Australia, Filipina, Thailand, dan Amerika Tengah. Bayangkan kalau suhu dunia meningkat lebih dari 2 derajat celsius, bencana alam yang akan terjadi pasti lebih dahsyat serta membawa petaka dan kesengsaraan lebih luas.
Beda pandangan politik
Mengapa kenyataan di lapangan tak mendorong para negosiator sepakat pada mekanisme pengurangan emisi GRK lebih konsisten? Mereka mengetahui telah terjadi pemanasan bumi yang mencemaskan. Jika tak serius ditangani, gletser di belahan bumi bagian utara dan selatan akan mencair dan menaikkan permukaan air laut sehingga banyak pulau tenggelam, penyakit pandemik berkembang, bencana alam sering terjadi, dan gagal panen kerap berulang sehingga dapat timbulkan krisis pangan.
Dari segi teknologi, sebenarnya pengurangan emisi GRK dapat dikerjakan dengan mengubah aturan konstruksi bangunan baru agar lebih ramah lingkungan; disusun tata aturan transportasi darat, laut, dan udara yang lebih mencerminkan ekonomi hijau; serta ditata hutan dan rimba secara lebih efektif dan efisien.
Memang dibutuhkan kebijakan baru mengenai energi, industri, dan pertanian yang mengutamakan kelestarian lingkungan hidup. Ini sulit disepakati karena ada beda pandangan politik di antara anggota PBB tentang pokok biaya perubahan itu dan siapa yang harus menanggungnya.
Selain itu, terdapat beda persepsi mengenai distribusi yang adil atas usaha pengurangan emisi GRK. Negara berkembang meminta negara maju memberikan teladan dalam pengurangan emisinya karena memiliki tanggung jawab historis tak terelakkan. Mereka menjadi negara maju dan kaya karena menikmati energi yang berasal dari fosil dan sangat murah. Karena itu, negara berkembang terus memperjuangkan prinsip kesetaraan dan prinsip tanggung jawab yang sama, tetapi berbeda kewajibannya.
Sebaliknya, negara maju tidak bersedia diwajibkan mengurangi emisi GRK, sementara negara berkembang, seperti China, India, dan Brasil, terus melakukan kegiatan industri tanpa kewajiban yang sama. Mereka tak mau diminta bertanggung jawab atas perilaku nenek moyangnya karena sedang mengalami krisis keuangan yang serius.
Perbedaan ini tampaknya masih berkesinambungan dalam COP XIX di Warsawa, Polandia, November nanti. Yang lebih mencemaskan adalah munculnya usaha mengubah target dari
pengurangan emisi GRK. Institut Masalah Internasional dan
Keamanan di Jerman menulis, target 2 derajat celsius pada akhirnya harus disesuaikan kembali.
Sejalan dengan itu, Badan Energi Internasional menyatakan bahwa dunia sedang melangkah menuju situasi dengan kenaikan panas bumi 3,6 derajat celsius sampai 5,3 derajat celsius. Kecenderungan ini ditentang keras negara kepulauan kecil yang menginginkan kenaikan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celsius.
Ronald Jumeau dari Seychelles mengatakan "usaha mencoba-coba mengubah target sama saja dengan mengorbankan penduduk bumi yang paling rawan". Dalam hal ini, Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga wajar kiranya jika harus bermanuver mencapai kesepakatan bersama.
Makarim Wibisono Mantan Anggota Delri dalam COP X UNFCCC di Bali
(Kompas cetak, 5 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar