Oleh: ASEP SALAHUDIN
Puncak dari ritus puasa adalah Idul Fitri. Secara harfiah id artinya hari raya dan fitri bermakna kesucian.
Puasa sebagai "tapabrata" mengandaikan roh yang tak lagi terpenjara hasrat kebendaan sehingga tatkala usai berpuasa tak ubahnya bayi yang baru keluar dari rahim sang bunda: suci dan bening. Kesucian niscaya dirayakan sebab posisi inilah yang pada gilirannya akan menjadi "modal rohaniah" untuk membangun semesta kemanusiaan yang tidak kehilangan adab. Fitri atau fitrah sangat bertalian erat dengan ikrar primordial alam spiritual insan yang menyiratkan daya untuk selalu menjadikan Tuhan dengan segenap nilai-nilai kebaikannya sebagai haluan utama dalam praksis sosial.
Kembali dalam suasana fitri ini sejatinya yang menjadi modus utama peran profetik kenabian. Para nabi dilahirkan tak lain sebagai interupsi moral atas banalitas kemanusiaan. Dalam idiom keagamaan, dirumuskan secara semantik dalam ungkapan jahiliah. Jahiliah politik berwujud totalitarianisme; ekonomi berupa monopoli; budaya ketika kehilangan visi spiritualitas dan atau bahkan jahiliah agama manakala keyakinan tidak membersitkan sikap toleran dan pencerahan.
Sila pertama
Epos kitab suci sesungguhnya menating sebuah tema besar
tentang humanisme universal (ummatan wahidah) dan kesadaran ilahiah yang kudus dan pasrah (hanif). Tema yang kemudian dapat suntikan energi mengagumkan ketika para pembawanya (rasul) memberi keteladanan nyata ihwal kebenaran kitab suci itu.
Kebenaran yang diacukan bukan hanya kepada wibawa kekuatan sakralitas senarai firman Tuhan, tetapi lebih kepada internalisasi nilai dan keteladanan langsung di tengah hamparan sejarah pengalaman keseharian. Maka, dapat dipahami ketika
para sahabat gaduh mendiskusikan kebenaran sebuah teks Tuhan, Umar bin Khattab berujar, "Untuk apa berbicara kebenaran, seandainya kebenaran ini mandul di lapangan." Senapas dengan ini mungkin seperti yang pernah dibilang WS Rendra: "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."
Ungkapan minal aidzin wal faizin menjadi bermakna tatkala diterapkan dalam spirit seperti itu: kembali dan berbahagia. Kembali kepada fitrah dan
berbahagia karena telah mendapat bekal utama untuk menata diri (personal) lebih baik dan menata kehidupan (sosial) lebih terarah.
Konteks fitrah dalam nalar politik bernegara telah diwadahi oleh kaum pergerakan dengan sangat visioner dalam Pancasila sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini yang disebut-sebut Bung Karno sebagai nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan. Hatta menyebutnya siasat pemenuhan cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang berdaulat, adil, makmur, dan mengandung kewajiban moral.
Kembali ke fitrah dalam semangat kebangsaan adalah kembali memunculkan kesaktian Pancasila dengan cara istikamah menjalankan dan menjalani seluruh silanya. Memuliakan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan kesejahteraan sosial.
Tentu sila-sila itu tidak hanya merefleksikan kekayaan penghayatan alam batin manusia
Indonesia tempo dulu, sesungguhnya juga adalah pantulan total dari realitas keimanan yang dihayatinya dengan sangat intim.
Pancasila hadir sebagai fitrah bernegara, sekaligus beragama. Dengan falsafah Pancasila, sesungguhnya kita telah selesai mendiskusikan hubungan agama tautannya dengan negara. Perdebatan ideologis dan kontestasi ras, suku, agama, bahasa dengan elegan telah dipadatkan dalam sila yang hanya lima itu.
Fantasi politik kaum radikal lewat kehadiran Pancasila dengan sendirinya telah terkunci. Dan, negara harus bertindak tegas "menertibkan" ormas yang merongrong karisma falsafahnya, bukan malah melakukan pembiaran, apalagi "merawatnya" atas nama kepentingan politik sesaat. Dalam bahasa almarhum Cak Nur, Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa) dari seluruh realitas sosial keindonesiaan yang majemuk.
Menghidupkan politik aliran, baik yang dijangkarkan kepada sentimen etnisitas maupun label keagamaan, tidak hanya mencerminkan nalar terbelakang, tetapi juga tanda dari absennya rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kalau politik aliran itu diartikulasikan dalam wujud kekerasan, termasuk kekerasan simbolik. Atas nama dan alasan apa pun politik macam ini adalah bentuk lain dari kemungkaran sosial yang seharusnya menjadi musuh bersama karena dapat mengancam keutuhan NKRI.
Kontestasi itu—agar selaras dengan formula fitrah bernegara dan beragama—seharusnya lebih diarahkan pada "politik kesejahteraan" yang diselesaikan melalui prosedur demokrasi sekaligus substansi demokrasi itu sendiri. Caranya: melalui mekanisme hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Mudik kultural
Id yang berarti kembali dalam makna lokal-kultural sering diartikan mudik. Dalam tradisi kita, biasanya dilambangkan dengan migrasi besar-besaran masyarakat urban ke kampung halamannya untuk bersilaturahim, merajut hubungan kekerabatan, termasuk berziarah kepada keluarga yang telah wafat. Ini pula yang ditulis antropolog Andre Moller bahwa puasa sebagai "ritus pokok" dan di bawahnya subritus yang berhubungan erat dengan Ramadhan. Clifford Geertz menyebut Idul Fitri sebagai puncak ritual yang menasional dengan kemampuan mengokohkan kembali ikatan sosial. Ritual yang menguatkan solidaritas sosial (Emile Durkheim), meneguhkan hasrat kebersamaan (Victor Turner), sekaligus manifestasi mosaik dari realitas universal (Marshal Hodgson).
Persoalan mudik kultural untuk membangun solidaritas sosial sesungguhnya yang sangat dibutuhkan bangsa kita akhir-akhir ini. Sering kali kehancuran itu bermula tatkala spirit mudik absen sehingga akhirnya lama-kelamaan kita lupa terhadap "ibu" (pertiwi) yang telah membesarkan. Menjadi bangsa Malin Kundang yang dengan jemawa merasa ada ketika menampik kehadiran "ibu". Terhijab pesona benda. Merasa materi sebagai daulat utama.
Padahal, justru materialisme dan perburuan rente yang kelewat batas inilah yang hendak dipangkas puasa: agar puasa menemukan fitrahnya; supaya bangsa kembali ke jalan lurus.
ASEP SALAHUDINEsais dan Dekan di IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
(Kompas cetak, 5 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar