Pemilu 2014 adalah pemilu yang ditandai dengan sejumlah persoalan penting.
Persoalan itu antara lain calon presiden petahana sudah tidak lagi bertarung sehingga terjadi kompetisi bebas di antara para kandidat; jumlah partai politik lebih sedikit, hanya 12 partai politik; ambang batas parlemen adalah 3,5 persen, lebih tinggi dari Pemilu 2009 yang hanya 2,5 persen sebab itu partai-partai akan bertarung memenuhi kuota 3,5 persen supaya bisa menembus "dinding tebal" dan "tinggi menjulang" di parlemen; serta anak-anak muda ditengarai lebih besar kuantitasnya sehingga ada peremajaan politik dan para aktor dalam menghadapi Pemilu 2014.
Penulis akan berfokus pada kaum muda pada Pemilu 2014 yang jumlahnya dianggap lebih besar dibandingkan dengan Pemilu 2009. Di dalam daftar calon sementara (DCS) Partai Demokrat, berdasarkan pertimbangan umur, ada 60 persen caleg berusia di bawah 50 tahun dan dari 60 persen itu, ada sekitar 27 persen berusia 21-40 tahun.
Di Partai Golkar ada 216 (38,57 persen) caleg yang berusia di bawah 45 tahun. Di PKS mayoritas bakal caleg yang berusia 30-50 tahun mencapai 81 persen. Di Partai Hanura 50 persen adalah kaum muda. Nasdem menengarai ada sekitar 70 persen kaum muda, sementara PAN 50 persen.
Persentase jumlah kaum muda itu, bila dilihat dari beberapa partai tersebut, cukup besar dan tentu saja menjadi angin segar bagi transformasi kekuasaan di masa depan.
Namun, ada perspektif yang keliru mengenai konstruksi kaum muda menurut partai politik ini. Kaum muda bagi mereka adalah yang berumur 30-50 tahun. Padahal, itu bukan umur muda lagi; sudah termasuk umur tua karena pada usia 40-50 tahun, produktivitas dan tenaga sudah mulai stagnan.
Membaca UU No 40/2009 tentang Kepemudaan, asumsi kaum muda yang disebutkan atau diklaim oleh partai politik tertolak dengan sendirinya. Pasal 1 Ayat 1 UU itu menyatakan: "Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun."
Menurut Kartono (1990), umur remaja dibagi tiga: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18), dan remaja akhir (18-21). Sementara itu, umur 16-30 tahun adalah umur pemuda menurut UU No 40/ 2009. Terlepas dari itu semua, asumsi pemuda yang diklaim oleh partai politik dalam menempatkan caleg mereka ternyata tidak terpenuhi. Padahal, dalam wilayah umur sesuai dengan UU tersebut, jumlah kaum muda mencapai 62 juta jiwa lebih atau 25 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dilihat dari jumlah pemilih, golongan ini terdiri atas pemilih pemula dan pemilih lanjutan.
Ketidakkonsistenan partai
Ada sejumlah persoalan yang menunjukkan ketidakkonsistenan partai politik dalam menempatkan pemuda untuk transformasi kekuasaan bila dilihat dari DCS yang mereka serahkan.
Pertama, penyebutan kaum muda dalam DCS mereka bertentangan dengan apa yang tertuang dalam UU No 40/2009. Umur pemuda menurut perspektif mereka adalah 30-50 tahun, suatu klaim politik yang tentu saja tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan UU.
Kedua, partai politik tidak konsisten dan mengambil sikap kontradiksi dengan nomenklatur UU yang mereka sahkan sendiri. UU No 40/2009 tentang Kepemudaan sebagaimana tertuang dalam Lembaran Negara Nomor 5067 disetujui dan disahkan oleh partai politik pada 2009. Jika mereka menyangkal dengan sikap dan kebijakan politik yang mereka ambil, tentu saja ini tidak baik bagi pembelajaran politik.
Ketiga, dominasi politisi tua dalam Pemilu 2014 juga merupakan salah satu tontonan yang kurang mengasyikkan. Terlalu lama "lu lagi-lu lagi" terus yang tampangnya dipajang di baliho- baliho. Mereka yang sudah tua seharusnya membimbing barisan anak-anak muda melakukan transformasi secepatnya bagi masa depan politik Indonesia. Kekuatan oligarkis yang dikomandoi oleh kelompok tua pada dasarnya tidak memberikan kontribusi yang terlalu cerah bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Keempat, Pemilu 2014 seharusnya menjadi ruang bagi menguatnya arus baru perubahan dengan orang-orang baru, paradigma baru, aktor baru, dan tentu saja tradisi baru. Lapuknya tradisi lama yang dikuasai oleh orang-orang tua seharusnya disadari bahwa ini kurang menguntungkan bagi masa depan politik Indonesia. Hal inilah yang menjadi persoalan mengapa Indonesia gagal melakukan konsolidasi politik dan pematangan demokrasi.
Makin oligarkis
Kita sadar bersama bahwa semakin lama, pemilu kita semakin berwatak oligarkis. Dominasi kaki oligarkis ini tidak bisa dihadang tanpa melibatkan kelompok muda yang tercerahkan dan sepenuhnya memiliki kesadaran baru. Karena dengan kesadaran baru dan artikulasi politik kaum muda yang tercerahkan inilah, keadaban politik bisa tercipta.
Membaca UU No 40/2009 dengan klaim partai politik mengenai pelibatan kaum muda dalam politik praktis, terutama dalam struktur kepengurusan dan calon anggota badan legislatif, masih terlalu jauh jarak distingsi antara harapan UU dan kenyataan politik. Partai politik sulit diharapkan menaati UU yang mereka buat sendiri, terutama terkait dengan klaim eksistensial pemuda dalam politik.
Beberapa hal yang harus dilakukan partai politik untuk menyiapkan diri dalam upaya transformasi politik agar berada di tangan kaum muda di masa depan adalah sebagai berikut.
Pertama, perekrutan politik harus dimulai sejak mereka menginjak masa remaja dengan cara memberikan sosialisasi masif, pendidikan politik berjenjang dan terstruktur, serta penanaman ideologi politik.
Kedua, umur 19-25 tahun adalah masa di mana kaum muda banyak yang berkecimpung di kampus. Di sanalah mereka mulai mengenal tradisi pemikiran, kecenderungan ideologi, keharusan berpihak, dan kesadaran sosial. Dari kampus juga mereka mulai mengenal lingkaran kekuasaan, mengapa kekuasaan mesti dikontrol, kepada siapa harus menyampaikan aspirasi politik, dan bagaimana bernegosiasi secara politik.
Lembaga-lembaga mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Majelis Perwakilan Mahasiswa, dan lembaga mahasiswa ekstrakampus, menjadi pusat pendidikan yang paling unggul bagi pematangan cara berpolitik mereka.
Ketiga, mereka, yang berumur 25-30 tahun, pada usia kelompok ini telah banyak berkecimpung di organisasi kepemudaan dan telah matang berorganisasi. Sebagian besar juga telah menjadi pengurus organisasi pemuda yang berafiliasi dengan partai politik.
Langsung dilibatkan
Oleh sebab itu, kelompok usia ini seharusnya menjadi umur produktif bagi kaum muda untuk dilibatkan secara langsung dalam politik praktis. Mereka seharusnya sudah mulai menjadi pengurus partai politik, menjadi calon anggota badan legislatif, serta terlibat secara langsung dalam proses-proses dalam keputusan politik.
Namun, ini sulit terjadi mengingat dominasi kelompok tua sebagaimana yang diuraikan di atas. Dominasi kaum tua ini dibarengi dengan mahalnya ongkos politik yang diterapkan oleh partai-partai politik, berkembangnya istilah mahar yang diterjemahkan sebagai ongkos kampanye dan tim sukses. Akibatnya, kaum muda berdiri di pinggir panggung menjadi penonton akrobat politik kaum tua dan menunggu belas kasihan atau menjadi pelaku politik dinasti.
Sebab itulah, harus ada komitmen partai politik dan kelompok tua yang menguasai infrastruktur politik agar melakukan transformasi dan memberikan ruang pernapasan bagi kaum muda dengan catatan, tentunya keaktifan mereka bukan sekadar karena politik dinasti yang mulai kembali marak sekarang ini.
Ketidakberdayaan kaum muda menguasai partai politik sebagai infrastruktur kenegaraan kita dapat menimbulkan akibat fatal bagi kehidupan ketatanegaraan. Misalnya, frustrasi politik melahirkan organisasi-organisasi kepemudaan bawah tanah yang cenderung anarki, kecenderungan menjadi pasangan pengantin untuk tujuan terorisme, menjadi penyalur, bahkan menjadi bandar narkotika dan obat-obat terlarang, serta segala pelarian yang dapat dengan mudah mereka lakukan tanpa harus memiliki mahar.
Oleh karena itu, salah satu jalan terbaik untuk menyelamatkan pemuda kita adalah dengan memberi ruang seluas-luasnya untuk mengekspresikan jiwa muda mereka melalui pelibatan kelompok muda pada partai politik yang ada saat ini.
Harapan penulis, semoga kelompok tua kita mau sadar menjelang Pemilu 2014.
(Faisal Abdullah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
(Kompas cetak, 6 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar