Pada tanggal 4 Juli 2013 penulis dikontak Rokhiman, Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia—biasa disebut AB2TI—Wilayah DIY. Ia mengabarkan bahwa salah satu petani kecil pemulia benih anggotanya di Nganjuk didatangi "petugas" yang menanyakan banyak hal terkait benih jagung tongkol tiga yang dikembangkan petani.
Kedatangan "petugas" tersebut menguak luka lama banyak petani di Jawa Timur. Pada periode 2000-2010 belasan petani Kediri, Tulungagung, Pare, dan Nganjuk ditangkap polisi karena mengembangkan dan mengedarkan benih jagung hibrida. Benih dan peralatan penangkar benih milik mereka disita dan tidak dikembalikan hingga saat ini.
Di pengadilan mereka dituduh mencuri/menangkarkan benih induk milik perusahaan benih, melanggar paten terkait penangkaran benih, dan tuduhan "absurd" lainnya yang akhirnya tidak terbukti. Ironisnya, belasan petani tersebut di pengadilan diputuskan bersalah bukan karena hal-hal tersebut, melainkan karena dianggap melanggar UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Mereka dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana "melakukan budidaya tanaman tanpa izin" sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Ayat 1 Huruf d jo Pasal 48 Ayat 1 serta Pasal 12, 14, dan 60 tentang "mengedarkan benih yang belum dilepas oleh pemerintah dan belum disertifikasi" dengan ancaman pidana 5 tahun dan denda Rp 250.000.000.
Penderitaan petani
Kasus kriminalisasi petani pemulia tanaman melalui undang-undang hanya sebagian kecil dari seluruh persoalan yang diderita petani selama ini. Persoalan besar lainnya adalah perebutan lahan petani kecil oleh perusahaan besar dan kaum pemodal, ketimpangan pembagian "kue ekonomi nasional", ketiadaan akses terhadap sumber daya produktif dan sumber keuangan, penguasaan sarana produksi oleh perusahaan multinasional dan badan usaha nasional, hilirisasi dan perdagangan produk pertanian yang merugikan petani, hingga impor pangan serta sistem perdagangan internasional yang tidak adil.
Bila di negara lain jumlah kepemilikan tanah oleh petani semakin lama semakin meningkat, tidak demikian halnya di Indonesia. Kepemilikan rata-rata lahan pertanian oleh petani Indonesia hanya 0,36 hektar yang jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Sebagian lainnya sama sekali tidak memiliki lahan (tuna tanah). Pada tahun 1950-an hingga 1960- an petani tuna tanah di Pulau Jawa hanya 3 persen, tetapi saat ini angkanya mendekati 50 persen. Proporsi petani tuna tanah di beberapa wilayah Pulau Jawa 30-75 persen (Sumarno dan Kartasasmita, 2010).
Lahan pertanian pangan yang menjadi gantungan hidup 91,91 juta jiwa petani (IFAD 2011, Statistik Indonesia 2012, BPS) praktis tidak mengalami peningkatan. Lahan sawah yang pada tahun 1986 seluas 7,77 juta hektar pada tahun 2010 hanya meningkat sedikit menjadi 8,00 juta hektar (Statistik Indonesia 2012, BPS) atau hanya bertambah 2,96 persen selama kurun 24 tahun. Di lain pihak, luas lahan perkebunan yang dimiliki hanya oleh segelintir pemodal dan pengusaha meningkat tajam dari 8,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 21,41 juta hektar pada tahun 2012 (Deptan 2012) atau peningkatan seluas 144 persen. Hal ini menunjukkan ketidakadilan akses terhadap sumber daya produktif yang luar biasa antara petani kecil dan pengusaha.
Bila beberapa dekade lalu petani banyak mengembangkan benih serta sarana produksi sendiri, saat ini sekitar 70 hingga 100 persen pasar benih dan input pertanian lainnya (pupuk dan pestisida) dikuasai hanya oleh segelintir perusahaan multinasional dan nasional. Kerusakan jaringan irigasi nasional yang mencapai 50 persen, sulitnya akses transportasi ke wilayah-wilayah pertanian, ketiadaan bank dan asuransi pertanian merupakan contoh nyata bagaimana tidak adilnya "pembagian kue nasional".
Selain itu, subsidi sektor pertanian yang kecil juga menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap hampir 100 juta warga Indonesia. Ironisnya, subsidi benih dan pupuk untuk petani yang nilainya sudah kecil itu lebih tepat bila dimaknai "subsidi untuk perusahaan dan pengusaha".
UU Kedaulatan Petani
Untuk meretas sejumlah persoalan yang dihadapi petani, terutama petani kecil, gerakan dan aksi petani dilakukan setiap tahun oleh belasan jaringan dan organisasi tani agar pemerintah dan DPR menyadari persoalan besar yang dihadapi petani Indonesia. Gerakan tersebut membuahkan hasil dengan diajukannya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang merupakan inisiatif DPR.
Draf awal RUU tersebut jauh dari tujuan mulia DPR karena nuansa ekonomi- politik pertanian yang liberal dan kapitalistik terlalu kuat. Dalam Rapat Dengar Pendapat RUU Perlintan, 13/9/2011, penulis mengusulkan untuk mengubah judul dan isi menjadi RUU Kedaulatan Petani. Fokusnya lebih ke adopsi hak dan kedaulatan petani.
Terdapat 13 pilar tentang hak dan kedaulatan petani, yaitu 1) hak atas pangan, 2) hak atas sumber daya dan faktor produksi utama, 3) hak atas modal, 4) kedaulatan atas teknologi, 5) keterlibatan dalam pascapanen dan pengolahan hasil, 6) keadilan dalam distribusi dan pemasaran hasil pertanian, 7) reorganisasi perdagangan pangan dan reposisi dalam perjanjian internasional, 8) penguatan produksi pertanian agroekologi berbasis komunitas dan keluarga, 9) akses terhadap sumber daya genetik dan hak untuk melakukan pemuliaan tanaman/hewan, 10) hak untuk menyimpan, mengembangkan, dan memasarkan benih, 11) hak untuk belajar, 12) hak untuk berorganisasi dan ikut menetapkan kebijakan pertanian pada semua tingkatan dan 13) hak untuk bebas dari kriminalisasi akibat undang- undang.
Pada 9 Juli 2013 RUU tersebut disahkan menjadi UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Beberapa pilar tentang hak dan kedaulatan petani sudah diadopsi berupa intervensi harga komoditas pertanian yang menguntungkan petani (pilar 6), ganti rugi gagal panen dan asuransi pertanian (pilar 3), jaminan pemasaran hasil (pilar 6), konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian (pilar 2), penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan (pilar 3), akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi (pilar 4 dan 11) serta penguatan kelembagaan petani (pilar 12).
UU No 12/1992
Perjuangan lainnya adalah gugatan petani yang diwakilkan ke-10 organisasi terhadap UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang telah banyak mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dan penangkar benih.
Mahkamah Konstitusi pada keputusannya tertanggal 18 Juli 2013 telah memenangkan gugatan petani terhadap dua pasal kunci, yaitu Pasal 9 Ayat 3 tentang kegiatan pencairan dan pengumpulan plasma nutfah dan Pasal 12 Ayat 1 tentang pelepasan varietas hasil pemuliaan oleh pemerintah. Kedua pasal itu menurunkan berbagai pasal lain yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dan penangkar benih.
Setelah keputusan MK, kedua pasal tersebut tidak lagi berlaku bagi petani kecil. Mulai saat ini petani kecil memiliki kebebasan untuk pencarian plasma nutfah, memuliakan tanaman dan mengedarkan benih hasil pemuliaan tanaman tanpa terkena kriminalisasi.
Disahkannya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta dikabulkannya sebagian gugatan petani oleh MK terhadap UU Sistem Budidaya Tanaman adalah awal dari perjuangan untuk mewujudkan hak, kedaulatan, keadilan, dan kesetaraan bagi 38,7 persen penduduk Indonesia.
Merdeka!
(Dwi Andreas Santosa, Ketua PS S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Saksi Ahli Pemohon Gugatan terhadap UU No 12/1992)
(Kompas, 6 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar