Waktu yang sudah berjalan lebih dari 80 tahun, sejak berakhirnya pemerintahan monarki absolut pada 1932, ternyata belum cukup untuk menegakkan bangunan demokrasi di Thailand. Sebuah demokrasi yang stabil membutuhkan komitmen publik terhadap norma-norma dan prosedur demokrasi, sistem partai yang kuat dan terlembaga, serta kelompok-kelompok penekan yang aktif.
Kondisi seperti itu belum sepenuhnya terwujud di Thailand. Paling tidak hal itu tecermin dari telah terjadinya 19 kali kudeta militer—berhasil dan gagal—sejak 1932. Tentara melancarkan kudeta karena melihat dan merasakan kerentanan institusi atau lembaga-lembaga politik yang ada dan publik yang apatis memberikan peluang militer untuk bertindak.
Selain itu, militer juga mendefinisikan dirinya sebagai institusi yang paling terorganisasi dan disiplin. Militer juga tetap merasa dan berkeyakinan bahwa mereka adalah "tulang punggung negara". Karena itu, krisis politik yang tak kunjung selesai selama ini dirasakan sebagai ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Dan, jalan satu-satunya untuk mencegah semakin memburuknya kondisi negara adalah dengan melancarkan kudeta.
Bertolak dari keyakinan dan pemikiran semacam itu, adalah sangat tidak mengherankan kalau hanya dua hari setelah memberlakukan keadaan darurat, militer memutuskan untuk mengudeta pemerintahan sipil. Dengan demikian, cerita tentang kudeta militer di Thailand bukanlah cerita baru meski berkali-kali mereka menyatakan tidak akan mencampuri urusan politik dan bahkan tidak akan mengambil alih kekuasaan.
Akan tetapi, kekuasaan itu memang selalu memesona dan menggoda meski pada saat bersamaan juga mengerikan kalau disalahgunakan. Militer Thailand, dalam hal ini, tidak mampu menahan nafsunya untuk memiliki, memegang, dan menikmati kekuasaan. Mengapa hal ini terjadi, salah satunya adalah kuatnya ideologi intervensi dalam tubuh militer yang didukung oleh para pemimpin militer yang juga tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak mencampuri urusan politik, apa pun alasannya.
Apakah tindakan militer kemarin, mengudeta pemerintahan sipil, akan menyelesaikan krisis politik di Thailand? Pertanyaan lain adalah apakah intervensi militer merupakan jawaban yang paling baik untuk membangun stabilitas pemerintahan demokratis di Thailand?
Kudeta militer pada 2006 memberikan jawaban jelas: tindakan militer itu telah memperdalam dan memperlebar jurang antara orang-orang miskin di pedesaan dan orang-orang perkotaan. Inilah yang mempertajam krisis politik di Thailand.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006807610
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar