Pelemahan rupiah disebabkan dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, perekonomian Amerika Serikat mencatat data impresif terhadap kinerjanya.
Dalam empat bulan ini, perekonomian AS berhasil menyerap di atas 200.000 tenaga kerja baru. Ini sangat mengagumkan dan jauh di atas ekspektasi 140.000 orang mendapat pekerjaan seperti yang terjadi sejak Mei 2013.
Akibatnya jelas, ekspektasi terhadap masa depan perekonomian AS kian berbunga-bunga. Investor global pun segera memindahkan aset-asetnya—termasuk di negara-negara emerging markets seperti Indonesia—kembali ke denominasi dollar AS dan surat berharga di bursa efek New York. Itulah sebabnya, pekan lalu, indeks harga saham di New York mendekati 17.000, level sebelum kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers pada September 2008. Inilah indeks tertinggi di AS sesudah krisis subprime mortgage.
Di sisi lain, Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi secara mengejutkan—meski sebenarnya sudah mewacanakannya sejak lama—menurunkan suku bunga acuan hingga minus 0,1 persen. Dengan kebijakan itu, setiap bank umum di Eropa yang menyimpan uangnya di Bank Sentral Eropa justru harus membayar bunga 0,1 persen. Kebijakan itu terpaksa ditempuh karena Draghi menilai perekonomian Eropa sangat memerlukan stimulus. Suku bunga negatif ini diharapkan bisa memaksa bank-bank umum mendorong ekspansi kredit (lending) dibandingkan sekadar menyimpan likuiditas di bank sentral.
Kebijakan itu belum tentu serta-merta bisa mendorong kredit dari perbankan. Sebab, jika tingkat kepercayaan pelaku ekonomi sedang rendah seperti sekarang, kebijakan likuiditas longgar semacam itu belum tentu otomatis membangkitkan gairah konsumsi dan investasi para pelaku ekonomi.
Sebaliknya, hal itu direspons para pemilik likuiditas dengan melakukan perpindahan dana dari Eropa ke AS, dari euro ke dollar AS, dan menjual surat berharga berdenominasi euro di Eropa menuju surat berharga berdenominasi dollar AS. Akibatnya, dollar AS menguat terhadap mata uang di seluruh dunia.
Dari sisi internal Indonesia, data neraca perdagangan defisit 1,96 miliar dollar AS. Defisit yang besar ini sangat memukul kondisi psikologis pasar tatkala kita mulai merajut asa surplus perdagangan pada 2014 ini. Defisit terutama karena impor minyak. Defisit migas 1 miliar dollar AS dan defisit nonmigas hampir 900 dollar AS.
Derasnya defisit yang disebabkan minyak juga berimbas pada tekanan fiskal yang hebat. Subsidi BBM dan listrik bakal melonjak Rp 110 triliun yang membuat pemerintah berniat memangkas APBN 2014 dengan Rp 100 triliun. Meski didera defisit perdagangan, cadangan devisa malah naik 1,4 miliar dollar AS menjadi 107 miliar AS. Namun, kenaikan ini tidak cukup membantu rupiah karena sentimen lain yang lebih kuat, yakni faktor AS dan defisit perdagangan kita.
Saya pikir pemerintah perlu melakukan berbagai kombinasi kebijakan, di antaranya (1) mengurangi subsidi BBM dan listrik dengan menaikkan harga BBM atau bisa juga membedakan harga BBM untuk mobil dan sepeda motor; (2) memangkas anggaran; dan (3) sedikit menaikkan defisit anggaran menjadi 2,5 persen produk domestik bruto. Ketiga kombinasi itu diharapkan dapat menghindari petaka fiskal yang lebih besar.
Soal indikasi suap pada proyek kereta Jepang, sudah seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih bertindak proaktif. Meski belum ada laporan resmi, karena sudah dimuat di koran Jepang paling berpengaruh (The Japan Times), tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak kalah gesit dibandingkan otoritas hukum di Vietnam yang sudah menangkap pelakunya.
Proyek infrastruktur adalah jantung persoalan daya saing Indonesia sehingga harus terus didorong pembangunannya. Namun, tidak berarti pembangunannya dilakukan secara tergopoh-gopoh sehingga boleh menabrak tata kelola (governance). Di sisa waktu pemerintahan lama yang tinggal beberapa bulan, kasus itu harus diprioritaskan.
Jangan sampai timbul kesan bahwa kita kalah gesit dari Vietnam, salah satu kompetitor kita di Asia Tenggara. Kita sedang berupaya untuk mendapat limpahan investasi dari Thailand yang kondisi politiknya memburuk. Untuk meyakinkan investor, kita harus menunjukkan bahwa kita kompeten dan memiliki daya saing. Itu hanya bisa dirajut dengan cara mengungkap dan menghukum siapa saja yang disuap JTC. Momentum ini jangan dilewatkan presiden petahana sebelum kelak dialihkan estafetnya kepada presiden dan pemerintahan baru.
A Tony PrasetiantonoKepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007110831
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar