Dua kasus kekerasan bernuansa semangat intoleran, pekan lalu, menimbulkan sorotan tajam tidak hanya karena berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal menjunjung tinggi toleransi dan harmoni, tetapi juga karena terjadi menjelang kampanye pemilihan presiden-wakil presiden 2014.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa kekerasan di DIY mesti terjadi. Seharusnya segala bentuk kekerasan, termasuk yang bermotif politik, dijauhkan dan ditabukan sesuai amanat reformasi yang menekankan demokrasi, martabat manusia, hak asasi, hukum, dan keadilan.
Kiranya tidak cukup hanya menyatakan prihatin dan mengecam. Jauh lebih penting bagaimana mencegah situasi lebih runyam dengan keseriusan dalam membongkar dan mengusut kasus kekerasan secara tuntas. Jika otak dan pelaku kekerasan tidak diproses secara hukum, upaya penegakan keamanan dikhawatirkan akan semakin sulit.
Perlu dilakukan kalkulasi, jika hukum rimba dibiarkan merebak luas dalam kondisi tanpa arah jelas, tidak hanya kelompok tertentu yang akan terkena dampaknya, tetapi kepentingan seluruh masyarakat juga dipertaruhkan, termasuk eksistensi negara yang bersifat majemuk ini.
Jelaslah, kekerasan di DIY tidak hanya serius dilihat dari aspek kejahatan, tetapi juga berbahaya bagi kehidupan masyarakat yang bersifat majemuk. Sekadar ilustrasi, banyak negara Afrika mengalami kedodoran dalam pembangunan, antara lain, karena jebakan lingkaran kekerasan. Suka atau tidak, setiap kekerasan selalu dapat direproduksi yang menciptakan mata rantai kekerasan panjang.
Lazimnya, kekerasan mudah dimulai, tetapi tidak gampang dihentikan. Semakin banyak orang akan bermain hakim sendiri jika proses penegakan hukum tidak dilakukan. Atas dasar itu, berbagai kalangan menuntut kepolisian dan komisi hak asasi turun tangan, meneliti secara tuntas rangkaian kekerasan di DIY. Secara dialektis, keraguan mengusut tuntas hanya akan membuat para pelaku kekerasan semakin merasa di atas angin.
Peristiwa kekerasan di Yogyakarta bertambah menarik karena terjadi menjelang kampanye Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Terlepas dari apa motifnya, peristiwa itu langsung atau tidak langsung memengaruhi kondisi penyelenggaraan pemilu. Sejauh ini situasi relatif kondusif, tetapi jangan-jangan ada pihak yang menginginkan proses penyelenggaraan pemilu berlangsung tidak aman. Atas dasar itu, proses pengungkapan secara tuntas kekerasan di DIY sangatlah diperlukan.
Selama era reformasi, Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakan pemilihan tenang dan damai yang diapresiasi dunia luar. Sungguh konyol jika Pemilu 2014 diwarnai ketegangan dan kekerasan yang dikhawatirkan akan merusak citra Indonesia sebagai bangsa beradab.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006985101
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar