Dua poin penting perlu diperhatikan sebelum RUU tersebut disahkan. Pertama, RUU Kebudayaan harus memastikan kebinekaan Indonesia terpelihara. Kedua, RUU itu juga harus memastikan keberlangsungan kreativitas manusia Indonesia.
Dalam RUU Kebudayaan yang dihasilkan DPR dan sedang dimatangkan pemerintah, kebudayaan suku bangsa terkesan kurang dapat tempat dalam kebudayaan nasional Indonesia.
Pergaulan lintas suku bangsa hanya mungkin diakomodasi melalui nilai lingua franca yang menjembatani beragam perbedaan di antara mereka. Dalam suasana resmi di lingkup nasional, seperti dalam upacara bendera di kantor pemerintah dan sekolah, kita berbahasa dan berperilaku mengacu pada nilai-nilai nasional yang lintas suku bangsa dan lintas kedaerahan. Dapat dikatakan, itulah kebudayaan nasional Indonesia yang tidak menghilangkan nilai-nilai kesukubangsaan dan kedaerahan, tetapi justru memberi ruang kepada pemakainya berinteraksi dan saling menghormati dengan mengacu pada nilai kebinekaan yang mengandung nilai kesukubangsaan dan kedaerahan yang menjamin pergaulan antarwarga.
Kebudayaan nasional Indonesia diperkaya berkat adanya sejarah kontak kebudayaan dengan bangsa lain yang telah berlangsung ratusan tahun. Sistem perdagangan antarpulau, ekspansi kerajaan, perdagangan Timur-Barat, sampai kolonisasi Indonesia telah memperkaya bukan hanya kebudayaan material, melainkan juga gaya hidup; teknologi dan ilmu pengetahuan; sampai agama, ideologi, dan sistem kepercayaan. Perang, perdagangan, persekutuan telah melahirkan kebudayaan baru. Globalisasi yang kian berkembang intensif dengan kian majunya teknologi komunikasi telah memperkaya perkembangan kebudayaan Indonesia.
RUU Kebudayaan seyogianya dapat menjamin keberlangsungan interaksi antarsuku bangsa sebab sesungguhnya setiap suku bangsa tidak hidup sendiri dan menyendiri. Kebutuhan hidup mengharuskan mereka menjalin hubungan dengan suku bangsa tetangga. Perbedaan tidak membuat interaksi antarsuku bangsa terputus. Asas saling memanfaatkan berlaku bagi interaksi antarsuku bangsa dan hal itu justru memicu berkembangnya bahasa dan kebudayaan lingua franca.
Ada semacam kesepakatan lintas suku bangsa untuk tak lagi bersikap etnosentris, tetapi saling menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelancaran interaksi. Kita mengenal ada kebudayaan daerah yang tidak didominasi satu suku bangsa, tetapi perpaduan kebudayaan suku bangsa.
Pada 28 Oktober 1928 tokoh Indonesia mendeklarasikan bersatu nusa, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan menggunakan landasan ideologi Pancasila dan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Ini merupakan kristalisasi keanekaragaman kebudayaan suku bangsa, agama, dan ras yang sejauh ini terpelihara dan berkembang dalam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Kreativitas
Kreativitas bagi pelaku kebudayaan pun harus mendapat jaminan perlindungan dalam RUU Kebudayaan sebab kreativitas nantinya akan memperkaya perkembangan kebudayaan nasional Indonesia. Yang digariskan Pasal 32 UUD 1945, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya", mengandung makna jaminan bagi pelaku berkreasi mengembangkan nilai budaya.
RUU Kebudayaan seharusnya dapat berfungsi lebih dari sekadar payung perlindungan hukum terhadap pelaku kebudayaan, tetapi juga memberi suasana yang mendukung proses kreatif. Karena itu, selain menjaga keberlangsungan kebinekaan, RUU Kebudayaan harus memberi pedoman jelas bagi pelaku kebudayaan agar mampu mengembangkan proses kreasinya untuk pengembangan nilai budaya.
Puluhan tahun silam Sutan Takdir Alisjahbana tegas menyebutkan, kebudayaan Indonesia harus progresif dan modern agar mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Progresif tak berkonotasi negatif, tetapi berarti bahwa para pelaku kebudayaan tidak berhenti dan puas dengan hanya mengandalkan kebudayaan tradisional suku bangsanya, tetapi harus mengolahnya melalui proses kreatif yang dapat dibanggakan di dalam dan luar negeri.
RUU Kebudayaan yang menekankan proses kreatif dapat hidup dalam suasana kebudayaan yang multikultural. Pada prinsipnya saling menghargai dan menghormati perbedaan. Oleh karena itu, RUU Kebudayaan sebagai payung yang melindungi para pelaku kebudayaan yang kreatif harus jelas dalam pasal-pasalnya. Pelaku kebudayaan yang kreatif adalah yang memiliki kemampuan menyuguhkan gagasan baru yang perlu dijaga agar jangan sampai mandek karena tiada jaminan dari negara.
Selain itu, penyelenggara negara harus berperan aktif menjamin proses kreatif, khususnya penghargaan atas hasil karya anak bangsa. Ini penting sebab, seperti yang dinyatakan Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, bangsa Indonesia umumnya tidak bangga pada hasil karya bangsanya. Mentalitas yang berlebihan berorientasi zaman lampau akan menjadi batu sandungan bagi proses kreatif yang berorientasi masa depan.
Bangsa Indonesia tidak dapat lagi berpangku tangan dan hanya menanti ratu adil atau satria piningit untuk memajukan negara dan bangsa. Kita harus mampu menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi dari dalam atau luar untuk kepentingan segenap anak bangsa. Juga kita tak boleh lagi hanya menggantungkan diri pada nasib; sebaliknya harus menjunjung tinggi kebudayaan yang mengutamakan nilai kreatif, kerja keras, dan disiplin diri.
Usaha pematangan RUU Kebudayaan yang sedang dilakukan jajaran Kemendikbud diharapkan menghasilkan draf final
RUU yang menjamin keberlangsungan kebinekaan kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Juga mengandung nilai inspiratif yang memayungi proses kreatif pelaku kebudayaan dalam menghasilkan gagasan baru yang diperlukan menciptakan negara dan bangsa Indonesia sejahtera.
Tito Panggabean
Antropolog; Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008516184
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar