Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 08 September 2014

TAJUK RENCANA: Konstitusi Harus Jadi Penjuru (kompas)

ADA dua produk DPR yang ramai dipersoalkan publik, yakni Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan UU Lembaga Perwakilan.
RUU Pilkada yang dibahas DPR ditolak masyarakat karena elite politik DPR berniat mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Langkah politik fraksi DPR itu dinilai mengkhianati semangat reformasi dan melawan konstitusi. Selain merampas hak rakyat, pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga akan mematikan peluang calon perseorangan.

Produk DPR lain yang banyak diuji konstitusionalitasnya adalah UU Lembaga Perwakilan. Dalam media sering disebut UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Ada beberapa hal yang dipersoalkan dalam UU itu, antara lain sistem pemilihan pimpinan DPR yang dilakukan dengan cara dipilih.

Pasal pemilihan pimpinan DPR ini dipersoalkan karena dalam undang-undang sebelumnya Ketua DPR menjadi hak parpol pemenang pemilu. Tulisan Hamid Awaludin di Kompas, Sabtu 6 September 2014, menyebutkan, UU Lembaga Perwakilan lebih diwarnai persekongkolan dan perselingkuhan politik. Dalam UU Lembaga Perwakilan ada ketidaksinkronan pola pikir karena dalam pemilihan Ketua DPRD disebutkan Ketua DPRD adalah anggota DPRD dari partai politik peraih kursi terbanyak DPRD (Pasal 327 Ayat 3). Mengapa ada perbedaan mekanisme pemilihan Ketua DPR dan Ketua DPRD? Pasal lain yang dipersoalkan adalah pembentukan Majelis Kehormatan yang dinilai sebagai upaya melindungi anggota Dewan tersangkut pidana.

Berbagai gugatan atas RUU Pilkada dan UU Lembaga Perwakilan menunjukkan, politik kekuasaan menjadi panglima. Ambisi kekuasaan anggota DPR telah membuat mereka jauh dari nilai konstitusionalisme dan tidak menganggap suara rakyat yang mereka wakili.

Kita berharap dalam negara demokrasi konstitusional, anggota DPR mendengarkan suara rakyat yang diwakilinya. Dalam menjalankan kekuasaannya, DPR seyogianya menjadikan konstitusi sebagai penjuru. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, Pasal 18 (4) UUD 1945 menyebutkan, "Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis". Dalam perjalanannya, istilah "demokratis" itu ditafsirkan DPR sama dengan pemilihan presiden, yakni dipilih langsung oleh rakyat. Itulah wujud pemahaman kedaulatan rakyat yang telah dijalankan sepuluh tahunan.

Manuver politik beberapa fraksi DPR mengambil hak rakyat memilih pemimpin berpotensi menabrak konstitusi dan berpotensi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Kita berharap elite politik DPR tidak menjadikan politik kekuasaan sebagai panglima, tetapi menempatkan konstitusi sebagai kontrak sosial bangsa sebagai batu penjuru pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008759684
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger