Itulah ringkasan ingatan atas apa yang terjadi di Aceh tepat 10 tahun silam. Mungkin tiada ungkapan yang bisa melukiskan peristiwa alam yang menjadi petaka tak terperi dalam sejarah bencana alam modern.
Dengan menundukkan kepala, kita kenang kembali korban yang jatuh—lebih dari 200.000 jiwa di 21 negara sepanjang Samudra Hindia, sebagian besar di antara mereka (160.000 jiwa) adalah warga Aceh.
Kita kenang pula jasa sukarelawan dari berbagai penjuru dunia yang membantu meringankan derita saat itu. Bencana Aceh 26 Desember 2004 membuktikan secara kuat solidaritas kemanusiaan yang jarang ada bandingannya.
Ada dua hal yang dapat kita refleksikan saat mengenang bencana Aceh. Pertama tentang kesadaran ilmu pengetahuan akan gempa dan tsunami, yang kedua tentang bagaimana menyikapi ancaman bencana.
Tentang kesadaran akan ilmu alam yang terkait dengan bencana, petaka di Aceh telah membuka mata kita tentang hidup di alam bencana, yang ditandai dengan bertemunya tiga lempeng tektonik besar di dunia, dan Cincin Api.
Kita sudah sering mengalami tsunami, tetapi baru bencana Aceh yang benar-benar membangunkan kesadaran akan potensi bencana, dan masyarakat menjadi familier dengan tsunami dan gempa tektonik, juga wedhus gembel (aliran piroklastik) saat gunung berapi erupsi.
Kesadaran ini selayaknyalah menjadi momentum untuk mengenal daulat alam dengan fenomenanya yang dahsyat—oleh Ellen J Prager dijadikan judul buku Furious Earth. Hal itu juga membangkitkan minat anak muda Indonesia mempelajari ilmu kealaman, seperti geologi, seismologi, vulkanologi, dan juga meteorologi (dalam kaitannya untuk merespons pemanasan global).
Untuk refleksi kedua, setelah menyadari hidup di kawasan Cincin Api, mau tak mau kesadaran yang muncul tersebut harus ditransformasikan menjadi aksi investasi untuk menghadapi bencana.
Di masa lalu, wacana baru sebatas pembangunan rumah tahan gempa. Setelah gempa Aceh, dipikirkan bagaimana mengatur tata ruang, agar saat bencana datang, warga berada di zona aman. Memang agak ironis, pembangunan kembali Aceh dinilai gagal memanfaatkan momentum. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi tak bisa merealisasikan cetak biru mengosongkan kawasan 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai.
National Geographic juga menyebutkan, di Indonesia warga secara kultural ingin hidup berdamai dengan gunnung api. Muncul pertanyaan, sinkronkah ini dengan cita-cita kita untuk menjadi masyarakat modern berbasis pengetahuan?
Mari terus kita hidupkan memori tsunami Aceh untuk menguatkan kesadaran kita pada alam dan siaga menghadapi fenomenanya.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010871391
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar