Tantangan-tantangan apakah yang dihadapi untuk meningkatkan KSS itu? Bagaimana mengatasinya?
Identitas diplomasi Indonesia
Tentu saja terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan mengapa KAA selalu penting dan relevan. Bagi Indonesia, misalnya, KAA adalah bagian dari identitas diplomasi dan politik luar negerinya. Mustahil untuk membayangkan adanya keberanian dari arsitek utama diplomasi Indonesia untuk mengingkari identitas yang telah diletakkan pada awalnya oleh Soekarno itu.
Diselenggarakan sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, KAA akan selalu melekat sebagai bagian dari untaian narasi politik luar negeri Indonesia sepanjang negeri ini hadir sebagai entitas negara-bangsa. Terlebih lagi Dasasila Bandung yang dihasilkan dari KAA 1955 memuat sejumlah prinsip normatif yang hingga kini masih tetap mengemuka di tataran internasional.
Sebagai contoh, jauh sebelum isu HAM muncul pada era gelombang demokrasi politik 1990-an, penghormatan terhadap hak-hak fundamental manusia ternyata telah tercantum sebagai prinsip pertama dalam Dasasila Bandung tersebut.
Gaung dari sejumlah prinsip lainnya dari Dasasila itu juga hingga kini tetap terasa, seperti penghormatan terhadap piagam PBB, keutuhan wilayah, kesetaraan ras dan bangsa, penghindaran penggunaan kekuatan bersenjata dalam penyelesaian sengketa, prinsip tidak ikut campur tangan dalam masalah dalam negeri, dan pemajuan kerja sama internasional.
Atas dasar sejumlah prinsip normatif ini pula, KAA telah memberikan inspirasi politik yang sangat kuat untuk mendorong pembentukan berbagai kerja sama lainnya di antara negara berkembang, seperti Gerakan Non-Blok awal 1960-an, forum K-77, dan juga KSS yang muncul pada 1980-an.
Dengan perspektif normatif dan historis seperti ini, penguatan KSS sebagai tema peringatan KAA kali ini adalah sesuatu yang dapat dipahami. Tema ini setidaknya menyampaikan dua pesan penting berikut. Pesan pertama, KSS adalah ekspresi simbolik bahwa dekolonisasi legal-formal melalui pernyataan kemerdekaan tidaklah cukup. Fakta menunjukkan, dekolonisasi puluhan tahun lalu tidak serta- merta mengakhiri kemiskinan dan ketimpangan.
Bagian terbesar dari penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan/pengeluaran di bawah 1 dollar AS per hari sesungguhnya tetap berada di negara berkembang. Ditinjau dari perspektif ini, KSS adalah bagian dari jalan panjang yang harus ditempuh negara berkembang untuk mewujudkan dekolonisasi legal-formal menjadi dekoloniasi
Dalam memberikan program bantuan, KSS memiliki dua karakter yang sangat khas. Bantuan itu pertama-tama tidak digerakkan oleh pasokan (
Dalam pola tradisional sebaliknya yang terjadi. Bagian terbesar dari bantuan itu mengalir kembali ke donor melalui mekanisme bantuan yang mengikat (
Karakter kedua adalah semangat untuk memolakan kerja sama bantuan dalam posisi sederajat (
Pesan kedua, gagasan peningkatan KSS menyimbolkan adanya keyakinan tentang terjadinya pergeseran peta geopolitik dan geo-ekonomi dunia. Bipolar telah berakhir. Dunia kini tengah bergerak ke multipolar. Karena itu potensi sumber pendanaan untuk KSS tidak hanya tersedia di negara maju. Tiongkok, misalnya, telah muncul sebagai kekuatan baru (
Patut dicatat bahwa menurut laporan PBB, setengah dari produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2012 dihasilkan oleh negara berkembang. Porsi ini diperkirakan akan meningkat hingga sekitar 60 persen pada akhir dasawarsa ini. Disebutkan pula bahwa nilai total KSS pada 2011 mencapai kisaran angka antara 16,1 miliar dollar AS dan 19 miliar dollar AS. Aliran penanaman modal langsung (PMA) atau
Keyakinan terhadap adanya pergeseran peta geo-ekonomi dan geopolitik ini pula yang telah mendorong beberapa negara maju, Jepang misalnya, untuk ikut terlibat aktif dalam pemberian bantuan untuk meningkatkan KSS. Melalui mekanisme
Pengalaman yang sama,
Sejumlah tantangan
Di tingkat regional, perhatian organisasi regional terhadap KSS juga sangat minimal karena fokusnya adalah pada gagasan perdagangan bebas dan bukan pada pemberian bantuan.
Tidak adanya organisasi spesifik untuk penguatan KSS ini, pada gilirannya telah menciptakan kesukaran untuk mendapatkan data deskriptif yang baik tentang potensi keunggulan negara-negara berkembang ketika menangani masalah-masalah pembangunan. Kesukaran lainnya adalah tidak terdapatnya agenda dan komitmen yang kuat untuk memobilisasi sumber- sumber pendanaan.
Walau tampak semakin penting, KSS hingga kini tidak memiliki patokan seberapa besar sebenarnya target nilai pemberian bantuan yang mau dicapai. Sebagai bahan perbandingan, barangkali menarik untuk mencermati agenda bantuan pembangunan resmi (ODA) negara maju ke negara berkembang.
Walau tidak terealisasi sepenuhnya, Komisi Pearson pada awal 1960-an, misalnya, telah merekomendasikan target 0,7 PDB dari setiap negara maju perlu dialokasikan sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmi. Komitmen seperti ini, sejauh yang diketahui, belum pernah muncul sebagai agenda resmi untuk memperkuat KSS.
Tantangan lainnya berada pada tingkat nasional. Tidak semua negara berkembang memiliki lembaga khusus yang menangani KSS. Dalam kasus Indonesia, misalnya, tanggung jawab untuk KSS setidaknya berada di bawah tiga instansi, yaitu Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Negara, dan Bappenas. Pola tanggung jawab yang tersebar dengan otoritas majemuk seperti ini tentu saja menciptakan beberapa kesulitan.
Kesulitan pertama, mengidentifikasikan data dan informasi tentang seberapa banyak sebenarnya program KSS yang telah dilakukan oleh Indonesia, baik dari segi program maupun jumlahnya. Kesulitan kedua, model koordinasi yang dilakukan akan menciptakan kesulitan yang lebih besar untuk melakukan evaluasi terhadap hasil (
Atas dasar pertimbangan ini, barangkali gagasan tentang
MAKMUR KELIATPENGAJAR PADA DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, FISIP, UNIVERSITAS INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Relevansi Konferensi Asia Afrika".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar