Gempa berkekuatan 7,9 skala Richter dengan episentrum di daerah antara ibu kota Nepal, Kathmandu, dan Pokhara—kota ini terletak sekitar 141,5 kilometer sebelah barat laut Kathmandu—mengguncang daerah sekitarnya. Bahkan, getaran karena gempa itu dapat dirasakan di Pakistan, Banglades, dan India.
Diperkirakan jumlah korban tewas lebih dari 1.500 orang, belum ditambah yang luka-luka. Jumlah korban itu pun baru yang berasal dari daerah sekitar Kathmandu. Rapatnya perumahan di Kathmandu dan wilayah pinggiran kota, menjadi salah satu penyebab banyaknya korban, ditambah kualitas bangunan di wilayah itu.
Memang, bukan kali ini saja Nepal yang terletak di wilayah Himalaya itu diguncang gempa. Menurut catatan sejarah bencana, pada tahun 1934, Nepal diguncang gempa paling kuat di abad ke-20. Jumlah korban tewas ketika itu mencapai 11.000 orang. Gempa itu menghancurkan begitu banyak bangunan, baik rumah, gedung-gedung pemerintah, maupun bangunan bersejarah.
Sejak saat itu, gempa berkali-kali terjadi, dan gempa kali ini dicatat sebagai gempa terbesar sejak gempa 1934. Kita bisa membayangkan, tidak mudah membantu menyelamatkan para korban gempa yang terperangkap di bawah reruntuhan gedung, karena selain tempatnya sulit dijangkau, juga kurangnya peralatan. Upaya menolong korban tentu sangat berkejaran dengan waktu, sementara banyak hal, termasuk peralatan, serba terbatas.
Sangat masuk akal kalau Pemerintah Nepal segera meminta bantuan badan-badan, lembaga-lembaga internasional yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan peralatan, untuk membantu menyelamatkan para korban. Tentu, kita berharap korban yang mungkin masih terperangkap di bawah reruntuhan masih bisa diselamatkan, meski ini sudah memasuki hari ketiga sejak gempa mengguncang pada hari Sabtu. Namun, segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Dunia memang sedang dilanda konflik—di Suriah, Irak, Nigeria, Somalia, dan wilayah dunia lainnya, dan berbagai bencana, seperti tenggelamnya kapal pembawa imigran dari Afrika ke Eropa—tetapi kita tetap berkeyakinan bahwa masih banyak negara, pemimpin negara, dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang akan tergerakkan oleh solidaritas kemanusiaan membantu rakyat Nepal. Kita, bangsa Indonesia, pernah mengalami hal seperti itu.
Bencana memang silih berganti menimpa dunia. Namun, semangat solidaritas antarumat manusia tetap hidup. Inilah kekuatan kita, termasuk bangsa kita, yang seharusnya bahu-membahu untuk bangkit menghadapi persoalan yang mengimpit negeri ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Solidaritas pada Rakyat Nepal".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar