Dalam Nawacita tersebut, khususnya dalam cita yang ketujuh, negara akan mewujudkan kemandirian ekonomi, dengan program aksi yang akan membangun pemberdayaan buruh. Dengan Nawacita pula negara berjanji akan hadir dalam membangun tata kelola pemerintah yang bersih, sehingga jika terjadi ketidakadilan bagi buruh tentu negara tak akan absen untuk menghapuskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan itu.
Harapan buruh terhadap capres Jokowi yang kemudian memenangi pemilihan presiden dan menjadi presiden tentu bukan tanpa latar belakang. Selama pemerintahan Orde Baru dan yang terakhir pemerintahan Presiden SBY, buruh senantiasa termarjinalkan dan tertindas dalam berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu. Atau paling tidak, tidak pernah ada kebijakan afirmatif untuk kesejahteraan buruh. Akibat marjinalisasi dan penindasan terhadap buruh dalam penetapan berbagai kebijakan tersebut, tingkat kesejahteraan buruh tidak bertambah membaik, bahkan kecenderungan semakin terpuruk.
Tidak membaiknya tingkat kesejahteraan buruh dapat dilihat secara kasatmata dari upah yang diterima, yang diwujudkan dalam kebijakan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Pada tahun 1995-an, upah minimum regional (UMR) selalu di atas bahkan bisa sampai dua kali lipat dari gaji terendah pegawai negeri sipil saat itu. Kini, pada 2015, upah minimum jauh di bawah penghasilan para abdi negara itu.
Pada awal pemerintahan Presiden Jokowi, Menteri Tenaga Kerja memberi harapan baru dengan langsung tancap gas menjalankan tugas kementeriannya, dengan inspeksi mendadak ke tempat penampungan tenaga kerja Indonesia, bahkan dengan cara yang tidak lazim, yakni dengan melompati pagar tempat penampungan tersebut.
Namun, setelah itu, tidak lagi ada gereget dari Menaker. Tidak ada pula terobosan-terobosan dari pemerintah yang dikeluarkan untuk memecahkan kebuntuan permasalahan perburuhan, seperti soal pengupahan, jaminan kepastian kerja, dan jaminan sosial.
Pada sisi lain, dalam visi misinya pada agenda ekonomi berdikari, ditegaskan bahwa sebagai salah satu komitmen untuk membangun pemberdayaan buruh, akan dilakukan penambahan iuran BPJS Kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD. Namun, alih-alih pemerintah meningkatkan pemberdayaan buruh, belakangan pemerintah justru akan menaikkan iuran BPJS.
Iuran BPJS bisa saja dinaikkan, tetapi harus terlebih dahulu diperbaiki pelayanannya. Pada pertengahan Februari 2015, pimpinan BPJS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia menandatangani Surat Edaran Bersama Nomor 08 Tahun 2015/077/DPN/3.1/5 B/II/2015 tentang Penundaan Aktivasi Kepesertaan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah bagi anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, yang berarti menunda pelaksanaan kewajiban pendaftaran peserta jaminan kesehatan oleh pengusaha.
Perlindungan dan kesejahteraan buruh
Langkah mundur pemerintahan Jokowi tidak berhenti sampai di situ. Pada awal tahun ini, pemerintah juga yang berinisiatif mengajukan revisi UU Ketenagakerjaan pada program legislasi nasional DPR. Tidak jelas apa isi perubahan UU Ketenagakerjaan tersebut karena belum ada (atau masih disembunyikan?) draf RUU-nya serta belum ada pula naskah akademiknya. Tetapi, isinya kemungkinan besar tidak akan menambah kesejahteraan dan perlindungan dan kesejahteraan buruh, karena hal itu merupakan inisiatif elite tanpa melibatkan pemangku kepentingan yang ada.
Pemerintahan Jokowi memang baru berumur satu semester sehingga belum banyak program-program di bidang perlindungan buruh yang bisa dievaluasi. Proposisi demikian bisa jadi benar. Namun, tidak demikian faktanya. Program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 ternyata tidak mengimplementasikan secara konkret sembilan agenda prioritas Nawacita, khususnya bidang perburuhan atau ketenagakerjaan.
Lampiran 1 RPJMN tidak secara konkret mengimplementasikan Nawacita bidang tenaga kerja. Sementara, Lampiran 2, alih-alih mengelaborasi Nawacita, malah justru berlawanan dengan Nawacita. Pada halaman 3-144 buku II program 3.5.10 tentang tenaga kerja, tertulis "kebutuhan regulasi RPP tentang Pengupahan yang mengaitkan antara pengupahan dan produktivitas sebagai amanat dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan". Program ini jelas bertentangan dengan Nawacita, yang mengamanatkan adanya RUU Sistem Pengupahan dan Perlindungan Upah (lihat Nawacita visi misi Capres Jokowi pada halaman 33).
Dalam Nawacita pula tercantum, Jokowi berjanji akan melakukan pelarangan kebijakan penggunaan alih tenaga kerja di BUMN. Sayang sekali, hal ini sama sekali tidak dijabarkan secara konkret dalam RPJMN tersebut. RPJMN telah secara elaboratif mengupas peran strategis BUMN, tetapi tidak mengatur secara terencana penghapusan alih daya pekerja pada BUMN. BUMN sebagai salah satu agen pembangunan, harus mempelopori keteladanan dalam berbagai aspek termasuk keteladanan untuk tidak bertindak tidak adil terhadap pekerjanya melalui lembaga alih daya pekerja.
Faktanya, justru BUMN yang secara terstruktur, sistematis, dan masif mempergunakan lembaga alih daya pekerja dalam mengelola manajemennya, dan bahkan tidak sedikit pula yang menggunakan alih daya yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Nawacita sebagai cita-cita Jokowi dalam jabatannya sebagai presiden, kelihatannya tidak cukup direspons oleh tim kerjanya, baik dalam RPJMN maupun dalam regulasi-regulasi pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan perburuhan. Buruh kini hanya berjuang sendirian, tanpa kehadiran negara. Di usia pemerintahan Jokowi yang baru berumur satu semester, pemerintah barangkali perlu diingatkan untuk kembali ke agenda Nawacita yang diusungnya.
M HADI SHUBHAN
Pengajar dan Pembimbing Hukum Perburuhan dan Filsafat Hukum pada Program Doktor (S-3) Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Negara Belum Hadir bagi Buruh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar