Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juni 2015

TAJUK RENCANA: Mencegah Politik Dinasti (Kompas)

Disiasatinya surat edaran Komisi Pemilihan Umum membenarkan nafsu alamiah kekuasaan, satu di antaranya kelanggengan dinasti.

Agar proses demokrasi pergantian kepemimpinan daerah berkembang, nafsu itu perlu dilawan. Setidaknya sudah tiga pemimpin daerah yang menyatakan lisan siap mundur demi terbukanya kesempatan keluarga berlaga dalam pilkada serentak tahap pertama yang berlangsung 9 Desember 2015 di 269 daerah. Mereka Wali Kota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, dan Wakil Wali Kota Sibolga.

Dengan terbukanya celah masalah semantik petahana (incumbent) yang berbeda antara UU Pilkada dan Surat Edaran KPU—yang dipersoalkan sebagai perluasan pernafsiran, celah nafsu melanggengkan politik dinasti terbuka. Kita lawan dan cegah nafsu melanggengkan politik dinasti.

Solusi reaksi impulsif pertama, UU dan aturan mencegahnya, tentu saja dilaksanakan. Di antaranya perlu persetujuan DPRD, Mendagri jangan memberikan persetujuan kalau alasannya tidak sesuai aturan dalam UU Pilkada, dan batalkan SE KPU. Kontrak politik jabatan publik adalah menjabat sesuai masa jabatan atau batal karena alasan-alasan yang sesuai dengan UU Pilkada.

Kita mendukung tindakan tangkas-sikap melawan patgulipat para pejabat petahana yang memanfaatkan celah itu. Itulah jurus pertama melawan nafsu alami kekuasaan, sebab nafsu dan praktik melanggengkan politik dinasti sebagai kecenderungan umum gejalanya semakin besar dan dianggap benar. Sebagai pelengkap jurus pertama adalah mengikis kecenderungan politik dinasti agar tidak dianggap sebagai kecelakaan (by default)apalagi didesain (by design).Langkah ini sejalan dengan prinsip demokrasi, yakni kesempatan semua orang memiliki hak yang sama memilih dan dipilih, politik itu bukan berebut, melainkan berbagi, memasuki kegiatan politik sebagai pengorbanan yang saat ini semakin jadi kemewahan.

Merosotnya nilai-nilai keutamaan bangsa seperti yang disampaikan sejumlah tokoh masyarakat (Kompas, 27/6) menjadi relevan dengan kapstok kecenderungan umum melanggengkan dinasti keluarga. Sejalan pula dengan pernyataan keprihatinan para pembicara dalam pertemuan terbatas yang diorganisasi Yayasan Nabil di Jakarta, 9 Juni 2015. Manusia Indonesia semakin serba negatif.

Pendidikan sebagai jalan keluar tidak sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi transfer pengetahuan sekaligus perilaku etis. Artinya, praksis pendidikan di negeri ini perlu memiliki filosofi pendidikan sebagai referensi sekaligus muara kegiatan.

Upaya mencegah merosotnya keutamaan bangsa secara kuratif itu perlu dilengkapi langkah-langkah penyadaran bersama sebagai langkah preventif. Mencegah sikap agar tidak berkembang nafsu melanggengkan dinasti politik tidak cukup hanya dengan langkah kuratif. Pekerjaan rumah kita yang tidak pernah selesai!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Mencegah Politik Dinasti".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger