Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Dimulainya pembangunan pembangkit tenaga listrik di 51 tempat memberikan harapan bergeraknya ekonomi nasional di tengah pelemahan.
Presiden Joko Widodo, Jumat pekan lalu, meresmikan pengerjaan proyek pembangkit tenaga listrik di Batang, Jawa Tengah, serta di 50 lokasi lain di 13 provinsi, meskipun proyek Batang masih mengalami masalah pembebasan lahan. Kekurangan listrik merupakan salah satu penyebab lambatnya investasi sektor industri.
Yang dilakukan di Batang dapat dilaksanakan juga di tempat lain, seperti pembangunan jalan tol lintas Sumatera dan kereta api di Sulawesi. Yang diperlukan jaminan secara hukum dari pemerintah bagi pelaksana pembangunan proyek agar tidak dipidana apabila pengerjaan proyek terpaksa tertunda karena lahan.
Ketersediaan lahan menjadi salah satu penghambat proyek infrastruktur. Hambatan bisa disebabkan proyek melalui kawasan hutan lindung, melintasi lahan milik swasta atau BUMN, atau menggunakan lahan milik rakyat. Meskipun pemerintah ingin proyek infrastruktur segera terlaksana, tetap penting memastikan pengambilalihan lahan berjalan adil, tertib, dan transparan.
Pemaksaan menggunakan ancaman dan kekerasan harus dihindari, apalagi dalam suasana ekonomi tengah melemah. Rekayasa sosial dan mengajak semua pemangku kepentingan sukarela berpartisipasi dalam pembangunan lebih membawa manfaat jangka panjang dan berkelanjutan. Penggenangan Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, yang menurut rencana dilakukan hari ini, menjadi ujian tak terjadi gejolak sosial di masyarakat setempat.
Manfaat pembangunan infrastruktur baru dapat dirasakan tiga atau empat tahun mendatang, tetapi ada manfaat yang langsung terasa, yaitu penciptaan lapangan kerja dan bergeraknya industri. Syaratnya, penggunaan tenaga kerja Indonesia dan komponen dalam negeri sebesar-besarnya.
Investor asing diundang membangun infrastruktur biasanya karena alasan penguasaan teknologi dan pembiayaan. Meski demikian, pemerintah tetap harus teguh dalam merundingkan persyaratan mendapatkan proyek di Indonesia, baik yang dibiayai melalui APBN maupun dana swasta. Investor perlu mendapatkan keuntungan, tetapi yang utama tetap kepentingan rakyat dan generasi mendatang.
Hanya tenaga ahli yang tidak dimiliki Indonesia boleh bekerja, sementara pembiayaan sejauh mungkin menggunakan dana dari luar. Saat ini sejumlah proyek pembangunan oleh investor asing ditengarai menggunakan buruh kasar asing. Hal ini dapat memicu keresahan sosial yang sebenarnya dapat dihindari.
Pemerintah juga perlu mengatur investasi asing di sektor industri dan pemanfaatan sumber daya alam. Yang dapat dimasuki asing hanya bidang tidak strategis. Mandat rakyat untuk pemerintah adalah memakmurkan rakyat Indonesia sebesar-besarnya dan seadil-adilnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Pembangunan Infrastruktur".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Krisis selalu berulang dengan pola sama meski pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya, dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya,This Time is Different(2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama.
Namun, tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.
Minggu lalu, nilai tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS kendati di akhir pekan ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat gejolak 2008, nilai tukar melemah hingga mencapai titik terendah pada November 2008, yakni Rp 12.400 per dollar AS. Adapun pada krisis 1998, sesuai catatan Bank Indonesia, titik terendah pada akhir Juli, yakni Rp 14.900 per dollar AS.
Secara nominal, nilai rupiah kali ini mendekati level terendah pada 1998. Namun, tingkat pelemahannya berbeda. Jika diperhitungkan dari posisi setahun sebelumnya, nilai tukar pada Juli 1998 terdepresiasi sekitar 125 persen dan pada 2008 sekitar 30 persen. Namun, pada Agustus 2015, depresiasi nilai tukar rupiah sekitar 19 persen dari tahun sebelumnya atau 11 persen dibandingkan dengan awal tahun.
Dilihat dari indikator apa pun, situasi hari ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 1998. Adapun dibandingkan dengan 2008, ada beberapa hal positif. Pertama, hingga pertengahan tahun ini tingkat kecukupan modal perbankan masih sekitar 20 persen, sedangkan pada 2008 sekitar 16 persen. Kedua, kredit macet tahun ini sekitar 2,5 persen, pada 2008 sebesar 3,8 persen. Ketiga, inflasi 2008 mencapai 11 persen, sedangkan tahun 2015 hingga Juli 7,26 persen. Bahkan, pada akhir 2015 diperkirakan sekitar 5,5 persen.
Namun, ada beberapa indikator negatif. Pertama, pertumbuhan ekonomi 2008 mencapai 6,1 persen, tahun ini 4,5-4,8 persen. Kedua, defisit transaksi berjalan tahun ini sekitar 2,5 persen, 2008 sekitar 0,1 persen. Ketiga, defisit fiskal 2015 diperkirakan 2,3 persen, pada 2008 sekitar 0,1 persen.
Perbedaan paling mencolok, kali ini situasi global dan regional jauh lebih rumit dan tak menguntungkan. Begitu banyak kejutan yang menimbulkan variasi ketidakpastian. Depresiasi mata uang yuan dan ketidakpastian kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) menjadi salah satu sumber gejolak. Krisis ekonomi dan politik di Malaysia yang masih terus berlanjut membebani pemulihan kawasan.
Di mana letak kesamaan berbagai gejolak pada perekonomian kita? Salah satunya, ketergantungan pada likuiditas asing. Pada 1998, ketergantungan pada modal asing terjadi dalam bentuk utang luar negeri jangka pendek perusahaan domestik. Pada 2008 agak mirip dengan situasi sekarang, ketergantungan di pasar modal dan obligasi pemerintah. Namun, dibandingkan 2008, situasi tahun ini lebih rumit sebagai dampak dari ketergantungan kita pada komoditas primer yang memperlemah daya saing industri berorientasi ekspor. Akibatnya, meskipun rupiah terdepresiasi tajam, ekspor tetap lemah karena harga komoditas juga turun. Kita nyaris tak mendapatkan berkah apa pun dari pelemahan rupiah.
Karena itu, respons kebijakan kali ini harus fokus pada kebijakan industrial yang bersifat sektoral melalui orientasi peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tengah menyiapkan paket kebijakan komprehensif di berbagai sektor industri melalui deregulasi besar-besaran. Kita berharap kebijakan tersebut sungguh menjawab persoalan inti kita.
Paket kebijakan ini diharapkan sekaligus mengusir kegalauan banyak pihak soal arah kebijakan ekonomi domestik yang dianggap mengarah pada proteksionis, meskipun sebenarnya kecenderungan proteksionis sudah dimulai sejak pemerintahan sebelumnya. Ada banyak kebijakan pada masa lalu yang berciriinward looking, mulai dari kebijakan hortikultura hingga pajak ekspor mineral mentah. Memang, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kecenderungan itu berlanjut, mulai dari kuota impor (sapi dan beras) hingga larangan impor kapal dan penjualan minuman beralkohol.
Paket kebijakan deregulasi perlu ditempatkan dalam konteks membangun basis industri dalam iklim investasi yang semakin baik, seperti menurunkan biaya logistik, khususnya di sektor kemaritiman. Tantangan kali ini jauh lebih berat mengingat terjadi komplikasi antara gejolak nilai tukar tinggi, harga komoditas yang rendah, dan daya saing ekspor yang lemah. Jika tak ditangani dengan kebijakan industrial yang benar, kita akan terperangkap dalam pola pertumbuhan ekonomi rendah.
Gejolak nilai tukar dan pasar saham bukanlah tantangan sebenarnya meski kondisi itu juga tak bisa diremehkan. Persoalan pokok ada pada jantung daya saing industri kita. Jadi, tak perlu berspekulasi dengan kedatangan Direktur Eksekutif IMF Christine Lagarde ke Jakarta, pekan ini. Sama sekali tak ada kaitannya dengan situasi 1998, saat Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan pinjaman, disaksikan Direktur Eksekutif IMF Michel Camdessus. Sungguh suatu kebetulan yang tak ada kaitannya.
A PRASETYANTOKO, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul "Keluar dari Belitan Krisis".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Senin, 24 Agustus, lalu saya memirsa berita televisi. Perhatian saya tertuju pada dua teks berjalan. Pertama, dua anak Indonesia menang lomba mengingat tingkat dunia di Hongkong. Kedua, anak Indonesia meraih satu medali emas dan dua medali perunggu di Olimpiade Geografi Internasional di Rusia.
Teman adik saya pada bulan yang sama meraih medali perunggu Olimpiade Matematika Internasional Tingkat SMP di Singapura. Ia seorang anak pondokan biasa di Nganjuk, Jawa Timur.
Pertanyaan saya, apa penghargaan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada mereka yang berprestasi dalam ilmu pengetahuan? Mereka yang memenangi olimpiade mungkin dapat imbalan jutaan rupiah. Sesudah itu apa? Adakah fasilitas laboratorium dengan alat canggih atau buku-buku terbaru di perpustakaan guna mengembangkan ilmu mereka demi kemaslahatan bersama?
Jika ada, terlihat bahwa Indonesia adalah negara yang tulus bersungguh-sungguh memajukan bangsanya. Jika tidak ada, cukup puaskah para pemimpin dan elite masyarakat di negeri ini menghabiskan energi sekadar cekcok dan berpikir untuk urusan mereka sendiri? Sayang sekali, gunung emas Papua telah dikuasai Freeport, Riau penghasil minyak terbesar Indonesia dikuasai Chevron.
AZIMAH, MAHASISWI, KEJAWAB PUTIH TAMBAK, MULYOREJO, SURABAYA
Pendidikan Bung Karno
Saya pensiunan dosen Universitas Negeri Semarang (Unes), dulu mengajar Sejarah Pendidikan. Maksud tulisan ini hanya ingin meluruskan ihwal pendidikan Bung Karno, berkaitan dengan sistem persekolahan di zaman Hindia Belanda sekitar 1900-1942.
Dalam Kompas edisi Minggu, 16 Agustus, lalu disebutkan bahwa Bung Karno bersekolah di SMP Mojokerto. Bung Karno tidak pernah duduk di SMP (dahulu MULO, tiga tahun) dan SMA (dahulu AMS, tiga tahun). Dari Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School, ELS, tujuh tahun), beliau terus ke Hogere Burger School, HBS, lima tahun) di Surabaya.
Kaum pribumi yang boleh menyekolahkan putra-putrinya di ELS dan HBS hanya pejabat setempat (bupati, wedana) dan orang-orang yang sangat kaya. Murid lain adalah anak-anak keturunan Belanda. Menurut Abu Hanifah dalam bukunya, Tales of a Revolution, Bung Karno kecil yang dapat diterima di ELS sering berkelahi dengan anak-anak Belanda. Jadi, sejak kecil telah tertanam benih pertentangan dalam diri Bung Karno dengan pihak penjajah.
Sebagai siswa HBS, Bung Karno bersama beberapa pemuda di bawah asuhan HOS Tjokroaminoto mulai mengenal politik. Konon, Bung Karno suka berlatih pidato di depan cermin.
Setelah lulus dari HBS Surabaya, Bung Karno yang cerdas melanjutkan pendidikan ke Technise Hoge School atau THS (sekarang Institut Teknologi Bandung, ITB) hingga mencapai gelar insinyur.
Dalam Kompas disebutkan bahwa semasa mahasiswa, Bung Karno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Ini tidak mungkin karena sebagai mahasiswa THS, beliau tinggal di Bandung.
R TITI SUPRATIGNYO, STONEN NO 5, BENDAN NGISOR, GAJAH MUNGKUR, SEMARANG
Pelayanan yang Tidak Sopan
Pada 25 Agustus, sekitar pukul 06.30, saya menghubungi Call BRI 14017 sampai dua kali perihal saldo Brizzi yang tidak ter-top-up. Saya melakukan top upvia perbankan internet BRI pada 22 Agustus dan laporan yang saya dapat: "sukses".
Saya mengetahui kartu Brizzi tidak ter-top-up pada waktu tap kartu Brizzi di halte transjakarta pada 24 Agustus.
Kemudian saya menghubungi BRI. Petugas Pelayanan Nasabah yang pertama sudah memverifikasi data, menanyakan keluhan, dan menyarankan untuk tap kartu Brizzi di halte transjakarta. Ketika saya bilang bahwa hal itu sudah saya lakukan dan tidak ada masalah dengan kartu Brizzi, tiba-tiba hubungan telepon diputus oleh mereka.
Petugas Pelayanan Nasabah yang kedua menanyakan keluhan saya dan, setelah saya jelaskan permasalahannya, kali ini sambungan telepon tiba-tiba kosong.
Saya coba berkali-kali panggil, "Mbak, Mbak, Mbak", tetapi tidak mendapat jawaban.
Memutus telepon sepihak sebelum pembicaraan selesai, itulah yang dua kali saya hadapi dari petugas Pelayanan Nasabah. Tidak sopan dan sangat mengecewakan pelayanan seperti ini dari PT Bank Rakyat Indonesia.
RAURENCIA RESTY ANDRIYANI, JALAN KRAMAT VI NO 14, JAKARTA PUSAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Warga Malaysia mengadakan aksi unjuk rasa besar-besaran, Sabtu dan Minggu (29-30/8), menuntut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mundur.
Dengan mengenakan kaus kuning bertuliskan "Bersih", mereka memadati Lapangan Merdeka, Kuala Lumpur. Walaupun sebelumnya Pemerintah Malaysia menyatakan aksi unjuk rasa itu ilegal, dan mengenakan kaus kuning bertuliskan "Bersih" itu merupakan pelanggaran hukum, para pengunjuk rasa tidak peduli. Mereka tetap turun ke jalan dan menuntut Najib mundur karena skandal keuangan yang dilakukannya.
Bersih, kelompok yang berada di balik aksi unjuk rasa dua hari itu, mengklaim jumlah warga Malaysia yang berpartisipasi mencapai 200.000 orang. Portal berita malaysiakini.com menyebutkan, jumlahnya mencapai 100.000 orang. Adapun polisi menyebutkan, jumlah pengunjuk rasa itu hanya 25.000 orang.
Tidak jelas berapa persis jumlah orang yang berunjuk rasa di Lapangan Merdeka, tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa para pengunjuk rasa itu telah membuat Lapangan Merdeka dan area sekitarnya menguning. Aksi unjuk rasa akhir pekan lalu di Malaysia itu mengingatkan kita kembali kepada People's Power di Filipina pada tahun 1986 yang didominasi warna kuning, yang menumbangkan Presiden Ferdinand Marcos dari singgasananya.
Namun, situasi di Filipina, 29 tahun yang lalu itu, tidak sama dengan situasi di Malaysia saat ini. Posisi Najib masih tetap kuat. Bulan lalu, Najib memberhentikan Wakil PM Muhyiddin Yassin, yang dianggap tidak loyal kepadanya. Najib juga menunjuk empat anggota parlemen yang menjadi anggota komite penyidik 1Malaysia Development Berhad (1MDB) sebagai anggota kabinet.
Najib bahkan menyebut pengunjuk rasa itu sebagai orang-orang dengan patriotisme rendah karena menggelar aksi unjuk rasa berdekatan dengan Hari Kemerdekaan Malaysia, 31 Agustus.
Boleh saja Najib menyebut para pengunjuk rasa itu memiliki rasa patriotisme rendah, tetapi Najib harus menyadari bahwa kini semua mata tertuju kepadanya. Apalagi, mantan PM Mahathir Mohamad bergabung dengan para pengunjuk rasa yang menuntut Najib untuk mundur.
Jika benar-benar tidak menerima aliran dana sebesar 700 juta dollar AS masuk ke rekening pribadi, Najib harus membuktikannya di pengadilan. Hanya membantah bahwa dirinya tidak menerima aliran dana itu, seperti yang dilakukannya selama ini, tidaklah cukup. Warga Malaysia akan turun ke jalan lagi jika kasus tersebut tidak segera diselesaikan. Ancaman tidak lagi menakutkan mereka. Dan, jika mereka turun ke jalan lagi, situasinya menjadi semakin runyam. Bukan tidak mungkin perekonomian Malaysia yang melemah itu akan terganggu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Demo Besar Tuntut Najib Mundur".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sebagaimana diperkirakan banyak analis, pergerakan harga minyak sepanjang 2015 belum akan beranjak dari tingkat harga rendah, di bawah 60 dollar AS/barrel.
Sejak Juli, harga terus turun dan akhir Agustus harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menyentuh 38 dollar AS/barrel. Sebagaimana tulisan "Membaca Tren Harga Minyak" yang pernah dimuat di harian ini (27/1/2015), saya masih melihat dua faktor utama penyebab rendah dan makin turunnya harga minyak belakangan ini. Pertama, faktor fundamental, yaitu pasokan yang terus berlebih di tengah adanya kekhawatiran penurunan permintaan. Kedua, faktor spekulasi, yang berkorelasi dengan tren terus menguatnya mata uang dollar AS terhadap mata uang negara lain.
Selama 2-3 tahun terakhir, pertumbuhan pasokan minyak dunia rata-rata 2 juta barrel per hari (bph), melebihi rata-rata pertumbuhan permintaan 1,2 juta bph. Ditambah spare capacity OPEC 4 juta-5 juta bph, secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia memang mengalami kelebihan pasokan.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai importir minyak terbesar dunia kian menekan pertumbuhan permintaan. Kondisi ini diperparah berlanjutnya persaingan antarprodusen utama minyak dunia.
Demi tetap menguasai pangsa pasar, OPEC—khususnya Arab Saudi dan Iran— tetap pada sikap mempertahankan tingkat produksi 30 juta bph. Pada Juli lalu produksi OPEC bahkan meningkat hingga 32,1 juta bph. Mereka agaknya berpandangan, percuma mengurangi produksi karena pasar tetap akan dibanjiri pasokan dari pihak lain di luar OPEC.
Level harga 60 dollar AS/barrel tampaknya memang tidak cukup untuk mematikan produksi minyak dan gas dari lapisan shale di AS dan Kanada. Dari Januari hingga Juli 2015, produksi minyak AS masih relatif bertahan, bahkan dengan tren meningkat, di kisaran 9,1 juta-9,6 juta bph. Produksi minyak Rusia, yang merupakan eksportir minyak terbesar kedua dunia, juga meningkat sepanjang Januari-Mei 2015 di kisaran 10,7 juta bph.
Inovasi teknologi dan efisiensi biaya, hingga pada pengurangan jumlah pegawai, tampaknya telah membuat para produsen minyak yang bermain di shalemampu bertahan bahkan dalam kondisi harga 40 dollar AS/barrel sekalipun. Ini yang menjadikan Arab Saudi dan Iran tetap bersikukuh tidak akan mengurangi pasokan ke pasar, meskipun mereka sebenarnya juga terpukul dengan harga yang terus turun.
Spekulasi
Titik terendah dan kestabilan baru tampaknya belum akan tercapai hingga "perang" yang mempertontonkan kemampuan bertahan para produsen utama minyak dunia itu berakhir. Ditambah faktor spekulasi, ini artinya bukan tidak mungkin harga akan terus turun hingga 30-20 dollar AS/barrel. Dengan acuan harga riil pada Januari 2015, data statistik menunjukkan, dunia pernah mengalami titik terendah harga riil minyak di kisaran 20 dollar AS/barrel, yaitu pada periode 1968-1972 dan 1997-1998.
Sementara faktor kelebihan pasokan secara fundamental mengondisikan harga minyak untuk tetap rendah, spekulasi adalah faktor utama yang lebih berperan dalam memengaruhi dan menentukan pergerakan harga minyak dari hari ke hari. Minyak yang didenominasikan dalam dollar AS adalah bagian dari instrumen investasi di pasar komoditas dan pasar keuangan, tak ubahnya seperti emas, saham, ataupun valuta asing itu sendiri.
Aksi spekulasi di pasar komoditas terhadapnya, ataupun aksi spekulasi di pasar keuangan terhadap dollar AS, serta di pasar sekunder lain yang berkorelasi dengan pergerakan nilai tukar dollar AS, berperan amat signifikan dalam memengaruhi pergerakan harga minyak. Statistik sejak 2006 menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara harga minyak dan indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain. Saat indeks nilai tukar dollar AS menguat dan tinggi terhadap mata uang lainnya, harga minyak melemah, juga sebaliknya. Maka, ketika dollar AS begitu perkasa akhir-akhir ini—termasuk terhadap euro, yen, rubel, dan yuan—harga minyak yang sejak semula telah rendah di bawah 60 dollar AS/barrel dengan mudah turun di bawah 40 dollar AS.
Dengan kecenderungan posisi dollar AS terhadap mata uang lainnya akan tetap kuat dalam 1-3 tahun ke depan, menyimpan dollar AS untuk kepentingan spekulasi tampaknya lebih menjanjikan daripada menyimpan minyak. Ditambah dengan kondisi di mana secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia tetap masih akan mengalami kelebihan pasokan, prospek harga minyak ke depan tampaknya memang masih akan suram.
Dengan kondisi seperti itu, sebaiknya pemerintah sedini mungkin segera bersiap. Antisipasi defisit APBN karena turunnya penerimaan migas perlu disiapkan. Kebijakan evaluasi harga BBM yang lebih komprehensif dan proporsional perlu segera dilakukan, tidak harus menunggu November karena dinamika yang ada bergerak begitu cepat. Dengan rata-rata harga minyak Indonesia untuk Juli di 51,81 dollar AS/barrel, dan Agustus kemungkinan di bawah 45 dollar AS/barrel, harga BBM untuk Agustus lalu dan September mendatang mestinya sudah dapat diturunkan di kisaran Rp 6.800-Rp Rp. 6.000 per liter.
Di tengah kondisi krisis ekonomi, penurunan harga BBM yang masih sesuai dengan nilai keekonomiannya adalah salah satu wujud nyata stimulus perekonomian. Terhadap industri migas nasional, tidak ada pilihan lain selain melakukan efisiensi di semua aspek. Hampir dapat dipastikan industri migas nasional, khususnya di sektor hulu beserta industri penunjangnya, ke depan akan semakin tertekan. Peran dan langkah nyata dari pemerintah sangat ditunggu.
PRI AGUNG RAKHMANTO, DOSEN DI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Bersiap jika Harga Minyak Rendah".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Bung Karno, Soeharto harus melakukan pembangunan yang diharapkan berbeda dengan pemerintahan lama yang digulingkannya. Baik dari orientasi ideologi ke orientasi program maupun dari demokrasi terpimpin ke demokrasi Pancasila.
Saat itu ada dua pilihan konsep pembangunan. Yang satu diusung Widjojo Nitisastro dengan pembangunan prioritas ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan yang tinggi. Yang lain oleh Soedjatmoko dengan pembangunan prioritas manusia dengan fokus kebudayaan: meningkatkan kualitas melalui pendidikan. Soeharto memilih gagasan pertama karena lebih jelas dan terukur dan menetapkan Widjojo Nitisastro sebagai menteri untuk menjabarkan konsepnya.
Setelah 30 tahun konsep demokrasi Pancasila yang dijabarkan dalam pembangunan prioritas ekonomi itu dijalankan, kemudian diubah di sana-sini untuk merespons tekanan politik yang terjadi, ternyata hasilnya: pemerintahan yang otoriter dengan birokrasi kekuasaan yang korup. Juga kesenjangan dan ketimpangan sosial-ekonomi-politik yang semakin tajam serta peluruhan karakter bangsa menjadi pragmatis dan hedonis. Akibatnya, demokrasi Pancasila jatuh dan Pancasila ikut jadi korban, seolah-olah Pancasila yang salah dan sekarang gaung Pancasila nyaris tak terdengar lagi.
Setelah rezim Soeharto jatuh dan beberapa kali terjadi pergantian kepala negara, sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang Joko Widodo, ternyata tak terjadi perubahan fundamental pada konsep pembangunan. Tentu ada perubahan di sana-sini, tetapi tidak fundamental.
Setelah 20 tahun era reformasi, yang terjadi adalah kegaduhan politik terus-menerus. Partai politik tumbuh bagai jamur di musim hujan. Partai politik bersukacita karena kebebasan yang diraih dan—atas nama politik—bisa melakukan apa saja tanpa batas. Pragmatisme telah membuat kecenderungan mendirikan partai seperti mendirikan perusahaan dengan modal besar ikut memperebutkan kekuasaan. Setelah menang, mereka akan berbagi kekuasaan, mengembalikan investasi sekaligus menarik untung.
Akibatnya, kegaduhan politik menjadi bisnis untuk mendapatkan bagian kekuasaan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Nepotisme semakin merajalela, pilkada dikapling keluarga kaya atau konspirasi partai politik dan pemilik modal untuk memperebutkan kepala pemerintahan di daerah. Nepotisme kian parah karena suami-istri, orangtua dengan anak, dan kerabat dekatnya menggilirkan kekuasaan di daerah di antara mereka. Ujung-ujungnya, rakyat kian termiskinkan. Pancasila mati suri dan hanya menjadi ritual kenegaraan belaka. Diucapkan, tetapi tidak dikerjakan.
Tergerus ekonomi
Ketika Jokowi mengusung tema revolusi mental sebagai cara cepat mengubah cara berpikir, berperilaku, dan sikap mental bangsa dalam mengelola kekuasaan untuk lebih mementingkan kejujuran, keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang diperlihatkannya melalui kegiatan blusukan, rakyat menyambut dengan antusiasme tinggi. Dan, Jokowi menang, lalu dilantik menjadi presiden.
Setelah 10 bulan menjalankan pemerintahan, Jokowi dihadapkan pada problem berat ekonomi, seperti kurs rupiah yang semakin melemah, harga pangan termasuk daging yang naik, pertumbuhan ekonomi yang melambat, kesenjangan yang makin tinggi, dan perombakan kabinet dengan mengganti Menko Perekonomian. Artinya, pemerintahan Jokowi tetap meletakkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas.
Karena itu, yang sebenarnya terjadi adalah paradoks yang besar antara prioritas pembangunan ekonomi dan revolusi mental yang diusung. Revolusi mental pada dasarnya adalah mengubah pola berpikir dan berperilaku yang revolusioner untuk kepentingan rakyat. Mental itu di kepala dan di dada, bukan di perut dan di bawah perut. Sementara dalam ekonomi, yang utama adalah memenuhi kebutuhan perut.
Bagaimana akan terjadi revolusi mental kalau yang diprioritaskan pembangunan untuk kebutuhan perut, padahal mental tak ada di perut. Kalau kita akan melakukan revolusi mental, tak ada jalan kecuali melakukan revolusi berpikir dan revolusi pembangunan berkarakter, bukan revolusi kebutuhan perut. Revolusi mental hanya bisa berjalan kalau pemerintahan lebih mengarusutamakan pendidikan dan kebudayaan bangsa, bukan ekonomi dengan segala implikasinya.
Dalam pengalaman kita melakukan prioritas pembangunan ekonomi selama ini, ternyata pembangunan ekonomi terkendala terutama oleh kebudayaan bangsa. Benarlah Koentjaraningrat yang sudah mengingatkan kita sejak Orde Baru bahwa pembangunan ekonomi akan terhambat dan terkendala sikap mental bangsa kita sendiri. Sikap mental dalam mengelola kekuasaan dengan egoisme pribadi penguasa, yang kemudian melahirkan egoisme sektoral. Sikap mental yang tak menghargai waktu, sikap mental mendapatkan kekayaan secara instan dengan jalan pintas, dan semuanya ternyata dipengaruhi kebudayaan.
Belum merdeka
Setelah 70 tahun merdeka, sikap mental kita belum sepenuhnya merdeka sebab penjajahan ekonomi dan ketergantungan pada produksi luar negeri terus menguat. Lihatlah, dari bangun tidur sampai tidur lagi, yang kita pakai produksi luar negeri meskipun perusahaan mereka ada di negeri sendiri. Revolusi mental akan berjalan jika kita mengubah prioritas perut pada prioritas kepala dan dada. Kalau tidak, revolusi mental akan digerus prioritas pembangunan ekonomi.
Revolusi mental harus dilaksanakan dengan mengubah pembangunan prioritas ekonomi ke prioritas pembangunan manusia. Mengubah sasaran dari perut ke sasaran dada dan kepala. Atau, kalau tak bisa, revolusi mental harus dapat membingkai tiap tahap dari pembangunan ekonomi sehingga perencanaan dan pelaksanaannya dapat bersamaan dengan pembangunan mental para pelakunya. Hal ini agar pembangunan ekonomi tak menciptakan kesenjangan yang makin tinggi, tak merusak lingkungan, mengarusutamakan pemakaian produk dalam negeri, dan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa: adil dan makmur.
Jika ini tak bisa juga dilaku- kan, revolusi mental akan tergerus prioritas perut dan kita akan terjebak dalam konflik sosial berbasis perut, vulgar, dan dapat mengancam eksistensi NKRI itu sendiri.
MUSA ASY'ARIE,
GURU BESAR FEBI UIN SUNAN KALIJAGA DAN PEMBINA STIE SOLUSI BISNIS INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Revolusi Mental yang Kian Tergerus".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Diskusi tentang apa dan siapa "manusia Indonesia" sudah pernah mengisi ruang-ruang perdebatan akademis di negeri ini.
Antropolog Koentjaraningrat (1971) dan budayawan Mochtar Lubis (1977) termasuk segelintir perintis yang menginisiasi sekaligus menstimulasi perdebatan dimaksud. Terlepas dari kontroversi, subyektivitas, dan ketidaksempurnaan rumusan masing-masing, keduanya telah membuka horizon baru bagi perdebatan publik tentang identitas "kedirian" (the self) orang Indonesia.
Memasuki HUT Ke-70 RI, ada baiknya lembaran diskusi tentang sosok manusia Indonesia kita buka kembali guna menjawab segala tantangan zaman yang makin kompleks. Hal ini penting sebagai batu pijakan untuk mengonstruksi apa dan siapa sebenarnya manusia Indonesia dalam konteks kekinian dan ke depan. Anggaplah rumusan manusia Indonesia versi kedua tokoh di atas merepresentasikan zeitgeist pada zamannya, maka upaya memotret konsep kedirian bangsa merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Identitas nasional
Kini Indonesia dihadapkan pada tantangan yang luar biasa dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta percaturan politik-ekonomi global. Persaingan antarbangsa tak jarang ditandai ancaman negara gagal akibat ketidakmampuannya merespons secara baik tantangan-tantangan dimaksud.
Yunani adalah gambaran nyata dari ketidakmampuan sebuah negara untuk berdialektika atau "berdamai" dengan tantangan persaingan global yang makin keras. Dalam konteks inilah, peta konfigurasi bangsa-bangsa dalam percaturan global akan meneguhkan palu godam Darwinisme sosial: the survival of the fittest.
Meminjam Joseph S Nye Jr (2004), keberhasilan dan kegagalan sebuah bangsa dalam merespons tantangan global tentu saja tidak hanya ditentukan oleh "kuasa keras" (hard power), seperti kekuatan ekonomi-politik-militer, untuk menopang eksistensi dirinya. Lebih dari itu, nilai-nilai intrinsik sosial-budaya adalah "kuasa lunak" (soft power) yang tak kalah pentingnya. "Kuasa lunak" dalam konteks ini adalah sistem nilai yang dapat membentuk kebanggaan nasional yang digali secara otentik dari sumber-sumber kesejarahan sebuah bangsa dan bernilai kompetitif bagi keberlangsungan bangsa tersebut.
Dalam struktur anatomi sebuah bangsa, "kuasa lunak" menjadi ruh yang akan menghidupi sekaligus membangkitkan "kuasa keras" bangsa dimaksud. "Kuasa keras" semata, tanpa "kuasa lunak" yang kokoh, tak akan mampu menopang eksistensi dan keberlangsungan sebuah bangsa. Dalam hal "kuasa keras" tak dapat lagi menopang eksistensi sebuah bangsa, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus menggali dan mengonstruksi kembali "kuasa lunak" yang akan memandu kita mendefinisikan sosok manusia Indonesia sebenarnya.
Persoalan tentang daya tahan sebuah bangsa juga pernah dilontarkan Rousseau, sebagaimana dikutip Samuel P Huntington (2004: 11): "If Sparta and Rome perished, what state can hope to endure forever?" Seperti diketahui, Sparta dan Romawi adalah dua imperium besar yang pernah berjaya dan menguasai dunia pada zamannya. Namun, mengapa keduanya musnah ditelan bumi? Apa yang menyebabkan kehancuran keduanya? Apa pula kekuatan yang dapat menopang keberlangsungan sebuah bangsa—belajar dari kehancuran dua peradaban besar tersebut—agar tetap bertahan selama mungkin?
Pertanyaan kritis Rousseau di atas sengaja dijadikan oleh Huntington sebagai terapi kejut bagi bangsa Amerika yang dianggapnya telah terlena (lebih tepatnya intoxicated, teracuni) oleh kedigdayaannya sendiri dalam percaturan politik global selama beberapa dekade terakhir, hingga akhirnya terjadi tragedi 11 September 2001. Serangan teroris yang meluluhlantakkan dua menara kembar WTC di New York senyatanya telah memukul secara telak kesadaran dan identitas kolektif warga Amerika sebagai sebuah bangsa. Tragedi tersebut diidentifikasi Huntington sebagai titik balik untuk merefleksikan kembali konsep kedirian bangsa Amerika dalam rangka bangkit dari keterpurukan.
Upaya untuk mengonstruksi kembali identitas bangsa Amerika kemudian dirumuskan oleh Huntington ke dalam sebuah pertanyaan retoris yang sekaligus menjadi judul bukunya: "Who Are We? The Challenges to America's National Identity" (2004). Menurut Huntington, menjadi Amerika bukanlah sebuah proses statis sekali jadi. Lebih jauh dari itu, menjadi Amerika adalah sebuah pergulatan eksistensial panjang yang tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur lama, seperti faktor WASP (White Anglo-Saxon Protestant), tetapi juga unsur-unsur baru yang akan menegosiasi identitas lama tersebut secara terus-menerus.
Memang Indonesia bukanlah Amerika. Keduanya memiliki tantangan yang juga berbeda. Meski demikian, kebutuhan bagi keduanya untuk tetap sintas sebagai sebuah bangsa tetaplah sama. Oleh karena itu, pencarian eksistensial tentang apa dan siapa manusia Indonesia menemukan relevansinya di sini.
Parameter obyektif
Jika Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis telah merintis sebuah upaya pencarian eksistensial tentang sosok manusia Indonesia dari perspektif "subyektivitas budaya" pada konteks historisitasnya, maka Indonesia saat ini butuh sebuah rumusan yang jauh lebih kontekstual dan obyektif. Rumusan semacam inilah yang nantinya akan menjadi referensi sekaligus kompas eksistensial bagi manusia Indonesia ke depan, yang pada gilirannya dapat menyangga eksistensi kedirian bangsa ini dari terpaan krisis identitas kebangsaan.
Yang dimaksud parameter obyektif di sini adalah hasil-hasil pengukuran berkala tentang beberapa karakteristik bangsa- bangsa di dunia, seperti: (1) indeks pembangunan manusia; (2) indeks demokrasi; (3) indeks korupsi; (4) indeks kebebasan sipil; (5) indeks toleransi beragama, dan indeks lain yang menggambarkan keadaban dan tertib sipil. Indeks-indeks semacam inilah yang lebih mewakili realitas manusia Indonesia yang tak terbantahkan karena bersifat obyektif-empiris-kontekstual.
Memotret sosok manusia Indonesia dari perspektif parameter obyektif di atas, di samping dapat menghindarkan kita dari perdebatan subyektif tanpa ujung, juga dapat menghindarkan diri kita dari jebakan esensialisme kultural yang cenderung stereotipikal dan peyoratif.
Tentu sebagian kita akan meradang ketika kita disebut sebagai bangsa hipokrit, enggan bertanggung jawab, atau suka jalan pintas dan semacamnya. Penilaian semacam itu jelas sebuah penghakiman yang cenderung menggeneralisasi manusia Indonesia secara keseluruhan, padahal tidak ada sebuah kategori yang berlaku untuk semua. Selalu ada kekecualian pada sebuah kategori sosiologis.
Jika kita merujuk hasil riset berbagai lembaga internasional tentang kelima indeks di atas, posisi Indonesia untuk konteks saat ini jelas tak terlalu menggembirakan. Jangankan dibandingkan negara maju, alih-alih posisi kita secara umum masih di bawah sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Realitas semacam inilah yang seharusnya dijadikan sebagai bahan refleksi bagi lintas kementerian untuk merumuskan cetak biru kebijakan di tingkat hulu sampai hilir tentang bagaimana membangun "manusia Indonesia seutuhnya", sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Pada 17 Agustus 2015, negara Republik Indonesia berusia 70 tahun, melampaui dua generasi. Ini waktu yang tepat menuntaskan transformasi menjadi negara modern.
Salah satu agenda besar proyek kebangsaan kita adalah mewujudkan tatanan masyarakat dengan persamaan hak privat, publik, dan politik bagi warga negara pria dan wanita. Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan". Kesetaraan jender nan komprehensif telah diperjuangkan kaum wanita sejak awal revolusi kemerdekaan. Kaum wanita terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, baik individual maupun dalam organisasi pergerakan. Kaum wanita Indonesia telah berpartisipasi penuh pada pemilu pertama 1955.
Tak banyak negara yang menempatkan wanita dalam kedudukan terhormat di ruang publik dan politik segera setelah lahirnya negara seperti Indonesia. Wanita Amerika Serikat menempuh waktu lama untuk mengubah status inferiornya dalam masyarakat yang disebabkan doktrin keagamaan, hukum tertulis, dan kebiasaan sosial yang melekat dalam sistem negara kolonial model Eropa yang menempatkan wanita dalam posisi subordinat.
Lama setelah merdeka, pada 4 Juli 1776, wanita AS baru berhasil memperjuangkan hak pendidikan secara bertahap dan hak bekerja di beberapa bidang terbatas, seperti guru dan perawat, dengan gaji di bawah pria. Baru pada 26 Agustus 1920, atau 144 tahun setelah merdeka, melalui ratifikasi amendemen ke-19 Konstitusi AS, 17 juta wanita memperoleh hak berdemokrasi, hak memilih. Di Swiss, baru pada 1971 perempuan mendapat hak memilih.
Kemajuan penting
Sama seperti perjalanan menuju masyarakat adil dan makmur, perjalanan menuju kesetaraan jender pun berjalan berliku dan harus terus diperjuangkan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, struktur masyarakat Indonesia masih berciri tradisional, sedikit feodal. Dalam konteks ini, tak sedikit masyarakat dan pejabat negara berpoligami, beristri banyak. Presiden Soekarno beristri empat orang.
Di era Presiden Soeharto ada kemajuan penting dalam membangun kesetaraan jender yang komprehensif, sekaligus melindungi keluarga monogamis yang harmonis, keluarga kecil yang sejahtera, yang lebih sesuai dengan tuntutan modernisasi. Praktik poligami di kalangan pejabat negara dan PNS relatif dilarang. Soeharto berpandangan, jika tak mampu membangun keluarga harmonis, bagaimana mau menjadi pemimpin yang jadi panutan.
Sesuai dengan UU No 1/1974 tentang Perkawinan, PP No 9/1975, dan PP No 10/1983 jo PP No 45/1990, PNS diperbolehkan berpoligami dengan syarat berat, di antaranya persetujuan istri pertama melalui mekanisme pengadilan dan atasannya langsung, dengan kondisi istri pertama tak mampu memberi keturunan dan suami mampu berbuat adil dengan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Itu pun dengan catatan pelaku poligami sulit naik jabatan. Yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi, mulai dari penurunan pangkat dan golongan hingga pemecatan sebagai PNS.
Manakala ada komplain dari istri pertama, pemerintah berhak memberi sanksi kepada PNS yang berpoligami itu. Kebijakan di atas, yang mendorong bentuk keluarga monogamis, berdampak luas di masyarakat karena pejabat negara dan PNS adalah elite dan panutan masyarakat. Pada 1990, kebijakan itu diperkuat Pasal 4 Ayat (2) PP No 45/1990: PNS wanita dilarang menjadi istri poligami.
Setelah reformasi, semua presiden beristri satu dan ada satu presiden wanita (suaminya tak punya istri lain). Era reformasi menambah fondasi politik kukuhnya konsep keluarga monogamis yang harmonis berupa lahirnya UU No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menggantikan UU No 10/1992. Pasal 1 Ayat (10) menyebut, "Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Tak diragukan, monogami adalah bentuk keluarga yang diyakini negara paling sesuai dengan era Indonesia modern.
Di tengah kemajuan wanita Indonesia dalam dunia politik—yang pada Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan keterwakilan perempuan 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota—muncul fenomena yang tak sejalan dengan kesetaraan jender dan norma keluarga modern berupa berkembangnya praktik poligami. Praktik poligami juga dilakukan elite politik, pemimpin partai politik, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, dan anggota DPRD. Uniknya, ada kepala daerah yang status poligaminya terungkap setelah seorang wanita yang tadinya tak diketahui publik sebagai istri muda gubernur ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Masyarakat yang dipimpinnya terenyak dan merasa tertipu karena selama ini diketahui ia beristri satu.
Di banyak negara maju, tokoh publik di- tuntut jujur kepada publik. Ada pula kepa- la daerah melakukan perkawinan siri dengan wanita berusia 18 tahun yang setelah dikecam berbagai kalangan, Kementerian Dalam Negeri meminta kepala daerah yang melakukan nikah siri itu mundur dari jabatannya. Ada pula wali kota berusia 56 tahun menikahi gadis berusia 19 tahun yang baru lulus SMA. Bagi siswi SMA itu, perkawinan pada Juni 2011 itu merupakan perkawinannya pertama, tetapi bagi sang wali kota perkawinan keempat.
Per Desember 2012, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, 1 persen dari semua kepala daerah di Indonesia berpoligami. Meski jumlahnya sedikit, BKKBN meyakini, hal itu meresahkan masyarakat dan tak mendidik, ditambah kekhawatiran ada yang belum ketahuan. Dalam pandangan BKKBN, poligami akan berpengaruh terhadap ketahanan keluarga, ketahanan keluarga rapuh berpengaruh pada ketahanan masyarakat, lalu akan merapuhkan ketahanan nasional.
Fenomena poligami juga merambah PNS. Pada 2011, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan, ada 370 PNS yang berpoligami dan 200 PNS sudah mendapat sanksi: diturunkan pangkat, diberhentikan sementara, diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat. Pada 2013, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memecat 30 PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagian besar karena beristri lebih dari satu alias poligami tanpa izin.
Suara Sinta Wahid
Kegeraman pada poligami juga disuarakan gerakan publik, dengan motor mantan Ibu Negara Sinta Wahid, yang mengajak konsumen tak makan di Restoran Wong Solo milik Puspo Wardoyo yang beristri empat, ayah 15 anak, dan sponsor acara Poligamy Award. Ada pula organisasi politik yang elitenya terang-terangan berpoligami dengan banyak anak. Tentu secara sosiologis dapat dipertanyakan: bukankah hal itu asosial di tengah upaya negara mengendalikan pertambahan penduduk sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Di Mesir, sejak akhir 1950-an, Presiden Gamal Abdel Nasser—dilanjutkan Presiden Anwar Sadat dan Presiden Hosni Mubarak—menekan Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada 1928, yang berseberangan dengan kebijakan pemerintahannya. Ketika itu, organisasi Ikhwanul Muslimin masih sangat kecil. Pemimpin dan anggota organisasi ini ditengarai beristri banyak dan beranak banyak. Sesudah tumbangnya Presiden Mubarak, pada 2011, Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang memenangi pemilu parlemen 2012. Presiden Mursi dari FJP terpilih pada 2013 dan pada tahun sama digulingkan militer Mesir.
Banyak penulis menyatakan, Ikhwanul Muslimin menambah jumlah pengikutnya dengan metode pengikutnya beristri banyak dan beranak banyak. Jika itu benar, beristri banyak dan beranak banyak bisa menjadi motif politik berjangka panjang.
Fenomena poligami tidak hanya terjadi pada pemeluk Islam seperti dipahami banyak orang karena poligami adalah ciri umum masyarakat tradisional dan feodal. Di India, laporan dari National Family Health Survey 2006 menyebutkan, 2 persen wanita India melaporkan bahwa suaminya punya lebih dari satu istri. Survei lebih awal di India (1974) mengungkapkan, poligami dilakukan 5,7 persen komunitas Muslim, 5,8 persen komunitas Hindu, dan 15,25 persen komunitas suku terpencil.
Sepatutnya berbagai organisasi dan gerakan wanita tak diam dengan fenomena berkembang ini. Kemajuan pesat negara kita ke depan membutuhkan organisasi keluarga yang sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang produktif: keluarga monogamis. Di semua negara yang maju berkat sumber daya manusia yang tangguh, bentuk organisasi keluarganya adalah monogami. Begitulah sekarang RRT, Jepang, dan Korea yang elitenya dulu juga banyak mempraktikkan poligami.
Penduduk Indonesia saat ini diperkirakan 255,5 juta orang dengan laju pertumbuhan penduduk masih sangat tinggi, 1,49 persen per tahun, berkembang sangat cepat dari 118,4 juta jiwa pada 1971. Pertambahan penduduk Indonesia tertinggi mencapai 2,31 persen per tahun pada 1971-1980, lalu menurun drastis ke angka 1,45 persen pada 1990-2000 sebagai hasil kampanye Keluarga Berencana. Lalu, angka itu naik lagi ke 1,49 persen pada periode 2000-2010, menurun ke 1,38 persen pada periode 2010-2015, diharapkan menurun ke angka 1,19 pada periode 2015-2020, dan diproyeksikan menjadi 0,8 persen pada 2025-2030. Jika angka laju pertambahan penduduk sesuai target, pada 2035, penduduk Indonesia berjumlah 305,7 juta jiwa. Penurunan pertambahan penduduk akan efektif dengan pola keluarga monogami beranak sedikit yang sejahtera.
Sebagai suatu bangsa, kita mengejar kesejahteraan yang tinggi bagi setiap warga negara. Dengan pendapatan orangtua yang terbatas, keluarga kecil bahagia dan sejahtera lebih memberi makna positif pada negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang berarti jika pertumbuhan penduduk juga tinggi. Keluarga adalah fondasi stabilitas sebuah masyarakat. Anak-anak berhak hidup dan dibesarkan kedua orangtuanya. Tentu ada kondisi pengecualian, tetapi itu tak boleh jadi norma sosial kita.
SISWONO YUDO HUSODO,
KETUA YAYASAN PEMBINA UNIVERSITAS PANCASILA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Keluarga dan Indonesia Modern".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Pada 9 Agustus lalu, Singapura memperingati HUT ke-50 sebagai bangsa merdeka. Bangsa Singapura membanggakan diri sebagai salah satu masyarakat yang berhasil mencapai kemajuan paling menonjol di antara bangsa-bangsa di dunia.
Dalam 50 tahun itu, Singapura berhasil meningkatkan penghasilan dari 500 dollar AS per kapita pada 1965 ke 55.000 dollar AS pada 2015, peningkatan yang 110 kali lipat. Kemajuan lain adalah sangat menurunnya kematian anak balita dan berkembangnya pendidikan bermutu bagi seluruh bangsa. Juga pemilikan rumah semua penduduk amat tinggi. Semua itu menunjukkan prestasi spektakuler dan dirasakan merata seluruh bangsa.
Kishore Mahbubani telah menguraikan ihwal kemajuan itudan apa dasarnya. Katanya, sejak awal, para pemimpin Singapura mengajak bangsanya maju berlandaskan tiga dasar kehidupan, yakni meritokrasi, pragmatisme, dan kejujuran (MPK). Dengan berpegang teguh pada tiga nilai itu telah dapat diwujudkan kemajuan menonjol tersebut.
Namun, yang sangat menentukan ialah kepemimpinan kuat-konsisten yang ditunjukkan Lee Kuan Yew-Goh Keng Swee-Rajaratnam. Kepemimpinan itulah yang menjadikan MPK efektif dalam hidup bangsa dan membawa hasil spektakuler.
Bagaimana Indonesia
Pada 17 Agustus lalu, bangsa Indonesia merayakan HUT ke-70 kemerdekaannya. Selama itu, bangsa Indonesia juga mencipta- kan kemajuan berarti. Kalau pada 1945 penghasilan per kapita baru sekitar 80 dollar AS, kini sekitar 10.000 dollar AS, atau 125 kali lipat. Jumlah penduduk meningkat dari sekitar 60 juta ke 250 juta.
Jumlah orang yang memperoleh pendidikan sekolah amat meningkat, juga pencapaian tingkat pendidikan yang jauh lebih tinggi. Kalau dalam masa penjajahan jumlah insinyur listrik bangsa Indonesia tak melebihi 10 orang, sekarang jumlah itu sudah amat meningkat. Hal ini telah membawa mobilitas sosial ke tingkat atas. Buktinya, sekarang jumlah golongan menengah makin meningkat. Hal itu tak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi di seluruh kepulauan Indonesia.
Di pihak lain, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai kelemahan dan kerawanan sehingga kemajuan itu jauh di bawah potensi yang tersedia oleh alam dan bumi Indonesia. Bangsa Indonesia belum dapat mengembangkan manfaat optimal kemurahan Tuhan yang berlimpah sehingga kekayaan alam dan bumi Indonesia lebih dimanfaatkan bangsa asing yang beroperasi di Indonesia.
Dengan kekayaan alam dan luasnya, kondisi bumi dan perairan yang subur, jumlah manusia yang banyak disertai potensi kecerdasan yang tinggi, dan lokasi geostrategis sebagai Benua Maritim yang terletak di Posisi Silang Dunia, kemajuan yang sudah tercapai amat kurang memadai setelah merdeka 70 tahun. Ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia mengalami kesenjangan lebar kaya-miskin sehingga 10.000 dollar AS kurang menunjukkan kesejahteraan merata.
Juga kondisi pendidikan yang masih belum memadai, terutama dari segi kualitas, sehingga Indonesia masih amat kekurangan pakar teknologi dan kesehatan (dokter, ahli gizi, dll). Itu semua terutama karena kepemimpinan kurang bermutu pada tingkat nasional, daerah, ataupun profesi.
Jelas bahwa sekalipun bangsa Indonesia selama 70 tahun merdeka telah berhasil mewujudkan kemajuan, terwujudnya masyarakat maju-sejahtera yang adil dan merata masih jauh.
Dasar untuk maju
Mungkin ada yang mengatakan sebaiknya kita ikuti cara Si- ngapura dengan MPK-nya. Memang, untuk mencapai kemajuan, perlu ada sikap menghargai prestasi (meritokrasi), demikian pula kejujuran amat penting. Namun, terhadap pragmatisme, kita harus waspada karena buat Indonesia dapat sangat merugikan kalau dilakukan berlebihan. Maka, dengan mengakui bahwa MPK-nya Singapura telah amat berguna bagi bangsa itu, bagi Indonesia masih kurang memadai.
Jumlah penduduk yang banyak dengan sifat kemajemukan tinggi harus kita hadapi secara arif bijaksana. Itu sebabnya, bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah dasar negara yang tak dapat ditinggalkan dan harus diwujudkan. Perbedaan harus selalu dibarengi kesatuan, kebersamaan, sedangkan kesatuan juga selalu menyadari dan menghargai perbedaan. Hanya dengangotong royong bangsa Indonesia dapat mewujudkan kondisi masyarakat yang damai dan sejahtera.
Tak mungkin, umpamanya, ekonomi nasional dikembangkan dengan neoliberalismeyang bertentangan dengan gotong royong karena kurang memedulikan kesejahteraan bersama. Juga dalam kehidupan sosial harus ada toleransi tinggi dan tidak mengabaikan minoritas atau pihak lemah. Sebaliknya, semua golongan diajak bergerak bersama untuk kemajuan bersama. Maka, dasar kemajuan buat bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat gotong royong.
Masyarakat gotong royong itu harus mampu mengembangkankesejahteraan yang tinggi dengan memanfaatkan berbagai karunia Allah yang begitu berlimpah. Itu hanya mungkin kalau bangsa Indonesia makin mampu menguasai iptek modern. Sebab itu, dasar kemajuan kedua adalah penguasaan iptek modern.
Itu semua memerlukan manusia Indonesia yang pejuang, bukan manusia yang manja mental. Manusia yang selalu mengejar performa terbaik untuk mencapai hasil tertinggi, yang tidak mudah putus asa dan selalu berusaha melaksanakan yang sudah dimufakati sebagai hal baik. Bukan manusia yang suka berteori dan berwacana belaka tanpa perbuatan dan implementasi.
Juga manusia yang tak mudah lunak menghadapi bangsa lain yang sudah lebih dulu maju meskipun selalu menjunjung tinggi sopan santun dan toleransi. Manusia yang selalu siap memperjuangkan yang terbaik bagi kebersamaan, bagi bangsa Indonesia dan NKRI. Mungkin sekarang sudah banyak manusia Indonesia dengan sifat pejuang, tetapi masih amat kurang banyak dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta dan masih terus bertambah. Manusia Indonesia pejuang harus menjadi mayoritas bangsa Indonesia.
Maka, dasar kemajuan bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat gotong royong, modern, dan pejuang.
Seperti di Singapura, Indonesia amat membutuhkan mutu kepemimpinan yang tinggi di tingkat nasional atau pusat dan daerah, serta untuk semua organisasi produksi dan masyarakat. Kepemimpinan yang cakap dalam mengajak dan menginspirasi para anggotanya menjadi teladan bagi mereka, tetapi juga cakap mengelola organisasi yang dipimpinnya.
Hendaknya ini jadi kenyataan ketika bangsa Indonesia pada 2045 memperingati 100 tahun kemerdekaannya.
SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO,
MANTAN GUBERNUR LEMHANNAS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Dasar-dasar Kemajuan Bangsa".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.