Untuk mereka yang terbiasa dengan kebudayaan sebagai sistem gagasan dan lapisan ide-ide luhur, hal ini aneh. Mengapa pejabat kebudayaan justru melakukan hal-hal yang seakan jauh dari urusan kebudayaan?
Ketika negara mengurus kebudayaan, pusat perhatian terletak pada kekuasaan. Kebudayaan dianggap lekat pada keindahan dan kesempurnaan prestasi pikiran manusia yang dapat memperkuat kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, kebudayaan jadi produk normatif mengatur kehidupan ideal warga negara skala nasional. Esensinya mewarnai gambaran romantis tentang nasionalisme. Maka, wujudnya cantik, puitis, dan indah sesuai fungsi memupuk citra. Dalam hal ini kebudayaan dibayangkan sebagai kumpulan kebaikan yang dipadatkan untuk menjadi produk kebijakan yang mengatur warga agar berbuat baik, estetik, luhur, dan pada saat yang sama terlalu steril dari perdebatan.
Sementara kacamata akademisi memusatkan pada problem perdebatan dan argumen. Untuk memahami bagaimana kebudayaan bekerja, aspek romantis, eksotis, dan normatifnya justru kurang penting. Mereka melakukan analisis untuk memahami kebudayaan sebagai strategi-strategi aktif untuk bertahan hidup melalui pengalaman dan sejarah kolektif kelompok-kelompok masyarakat. Setelah kerudung eksotisnya dibuka, kebudayaan akan terlihat "berantakan" sekaligus "terorganisasi rapi".
Dalam kenyataan, kebudayaan hadir sebagai fragmen-fragmen gagasan milik berbagai kolektif yang saling bercampur, bersaing, dan berebut ruang. Wujudnya sesuai apa yang tersedia di sekitar. Sebagai pengetahuan bersifat cerdas dinamis, sebagai perkakas sangat adaptif, sebagai tindakan kolektif juga fungsional dan demokratis. Bahkan dalam kondisi paling anarkis, yaitu ketika mereka mengatur diri sendiri tanpa terlibat dalam hierarki negara, harmonisasi sosial terjaga.
Analisis kebudayaan tidak terlepas dari kehadiran negara. Hadir sebagai pengikat politik lewat sejarah sosial, arah ideologi, pengaruh pasar, dan ragam pengetahuan suci keagamaan. Namun, dalam praktiknya negara tak punya cukup alasan untuk mengendalikan kebudayaan. Sebab, pada tingkat lokal di sudut terpencil yang tak tersentuh aparat, warga sudah pandai berbudaya. Warga mengatur diri, mengembangkan organisasi, dan hidup rukun alami. Justru kehadiran negara yang terlalu dominan rawan menimbulkan konflik dan menghapuskan kemampuan kultural untuk rekonsiliasi.
Berita buruk
Berbagai kasus konflik pasca reformasi justru memperlihatkan aparat keamanan adalah berita buruk. Negara punya hasrat untuk mensterilkan ruang perdebatan akar rumput dan menggiring pada kepatuhan seakan- akan warga adalah tamu dalam rumah milik negara. Sebagai contoh, dalam kasus yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dan tanah, aparat negara sering jadi bagian dari problem dan bukan solusi.
Kapitalisme pun jadi konteks penting dalam analisis kebudayaan. Kapitalisme memberi pukulan ketika skema-skema kultural yang sudah adaptif dipaksa mengikuti logika-logika seragam yang mengancam kebertahanan orang banyak dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan. Maka, pertarungan makin berat, friksi-friksi akan semakin banyak, jurang sosial kian dalam.
Studi-studi antropologis 10 tahun belakangan mengenai Indonesia (dan negara berkembang lain) tak lagi bicara soal kearifan lokal dan keunggulan kebudayaan tersembunyi, tetapi lebih pada kaleidoskop persoalan yang saling beririsan antara negara dan pasar yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, hak-hak sosial politik, dan menurunnya kualitas lingkungan dan kemanusiaan.
Di sisi lain, negara senang mempromosikan kebudayaan secara optimistis dengan istilah mengkilap, seperti "soft-power" dan "creative economy". Namun, kita mengharapkan negara tidak lupa bahwa kebudayaan adalah hajat hidup orang banyak. Secara statistik warga negara kita mayoritas miskin dan belum terangkat oleh citra-citra itu.
Dirjen Kebudayaan kali ini adalah intelektual dan aktivis. Dia bukan birokrat. Maka, ia dapat membuka jalan bagi aktivisme kebudayaan. Dalam ranah ini, kebudayaan bukanlah sekadar obyek kajian ataupun obyek kekuasaan. Kebudayaan bagai bahan bakar yang digunakan sehari-hari dengan kesadaran penuh memperjuangkan hak dan melawan kekuasaan yang menindas. Diharapkan negara lebih terbuka terhadap kebudayaan wong cilikdaripada elite. Sebagai aktivisme, kebudayaan dan gerakan sosial kolektif dianggap sebangun untuk mencapai tujuan- tujuan memperjuangkan nasib bersama wong cilik, dan alangkah baiknya bila negara mempermudah gerakan-gerakan rakyat.
Keberhasilan perjuangan kebudayaan akan sangat ditentukan dari bagaimana warga negara menerjemahkan problem kebudayaan dan mengolahnya jadi strategi kolektif. Apa yang dimaksud problem kebudayaan adalah segala kemunduran yang diakibatkan tingkah polah kelompok elite politisi, aparat keamanan, dan pebisnis yang merasa paling berhak dan paham mengatur kebudayaan dan melahirkan ide-ide besar.
Padahal, ide-ide besar hanya mungkin hadir sesuai realitas konkret yang mendukungnya. Maka, jika kenyataan masih bersifat menindas, seperti pemiskinan, penggusuran, pelarangan beribadah, penyerbuan, pelarangan bicara, dan pelarangan terhadap penegakan HAM, selama itu pula ide-ide besar tak punya ruang untuk membahagiakan rakyat banyak. Kita semua berharap Bung Dirjen Kebudayaan melindungi hak-hak berbudaya dan berpihak adil pada rakyat banyak. Di tangannya Indonesia bukan negara polisi atau tentara, tetapi sebagai fasilitator ramah yang membuka katup dan sekat-sekat yang menindas perkembangan sehat kebudayaan Indonesia untuk semua. Selamat bekerja!
Iwan Meulia Pirous
Peneliti Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Direktorat Jenderal dan Aktivisme Kebudayaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar