Disebutkan juga, sumber penerimaan utama parpol adalah kalangan elite internal sehingga kurang peduli kepada anggota. Selain itu, disiplin parpol sangat rendah. Singkat kata, parpol di Indonesia umumnya belum mampu berperan sebagai penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis.
Guru besar ilmu politik ini tidak mengada-ada. Hal ini sekaligus jadi peringatan bagi parpol membenahi diri ke arah ideal yang bermuara pada menggerakkan demokrasi yang berkualitas di negeri ini. Parpol dalam negara demokrasi bak tulang punggung penting, tidak saja dalam mewarnai demokrasi, tetapi juga dalam hal pembangunan politik. Parpol yang kuat dan fungsional tentu mendorong terwujudnya pembangunan, dan bukan pemerosotan politik. Kalau diperas, inti pembangunan politik ialah stabilitas yang demokratis dengan dampak kemaslahatannya.
Parpol-parpol kita mengalami banyak situasi yang membuatnya terjebak pada wajahnya yang paradoksal. Hampir semua fungsi yang dilekatkan kepadanya, apakah pendidikan dan sosialisasi, akomodasi dan agregasi, rekrutmen dan pengaderan anggota, atau lainnya, nilainya cenderung masih tekor. Meminjam istilah Katz dan Mair (1993), tiga wajah partai: nilai mereka di ranah parlemen dan pemerintahan, di akar rumput, dan pengelolaan internal lembaga juga belum memuaskan.
Sering kali parpol bukan bagian dari solusi kehidupan nyata masyarakat dan bangsa, melainkan bagian dari kompleksitas masalah. Oligarki lebih banyak menambah buram wajah parpol kita sebagai entitas-entitas "kepemilikan personal" yang jauh dari kepentingan publik. Agenda tersembunyi memenangi kepentingan para aktor oligarki, konsep yang oleh Jeffrey Winters diperbarui dengan memperkenalkan fenomena pertahanan kekayaan, kini lazim bersifat terbuka. Pertarungan internal antarelite parpol pun semakin bercorak pragmatis-transaksional, tak lagi mencerminkan konflik ideologis.
Liberalisasi politik yang tergilas corak pragmatis-transaksional itulah yang tergambar dalam wajah kebanyakan parpol kita. Parpol jadi wahana politik yang ironisnya "tanpa politisi". Kualifikasi internal parpol terdegradasi oleh semata-mata kekuasaan formal yang dikendalikan aktor oligarki yang aneh.
Institusionalisasi
Perspektif yang banyak menjadi pisau bedah terkait masalah parpol ialah institusionalisasi. Ia banyak menyinggung konteks internal parpol, bagaimana ia tumbuh sebagai lembaga yang kuat. Institusionalisasi merupakan proses menjadikan organisasi dan prosedurnya memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington (2004) menyatakan pelembagaan politik dapat diukur dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensinya. Panebianco (1998) menekankan pentingnya otonomi dan kesisteman. Tingkat otonomi terkait sejauh mana organisasi tak bergantung pada kekuatan lingkungannya. Tingkat kesisteman adalah sejauh mana kesalingtergantungan antarsubsektor organisasi.
Randall dan Svasand (2002) menambahkan pendapat Kenneth H Janda tentang pentingnya partai yang tertanam dalam benak publik. Randall dan Svasand memperkenalkan konteks kesisteman, otonomi, nilai-nilai, dan kultur, citra yang otentik. Di atas itu semua, ada satu hal lagi yang tak kalah mendasarnya, dan ini penting sekali, yakni kepemimpinan. Kepemimpinan ialah ujian bagi para elite parpol, apakah mereka bisa memainkan diri sebagai politisi sejati, andal, ataukah medioker saja.
Dalam perspektif institusionalisasi diasumsikan parpol yang kuat kelembagaannya-dan tentu saja fungsional-akan berdampak positif pada peningkatan kualitas demokrasi. Dalam hal ini, parpol merupakan bagian dari elemen penting sistem politik secara keseluruhan. Ia terkait dengan, terutama, sistem kepartaian nasional dan sistem pemilu. Parpol pastilah dihadapkan pada realitas kompetisi; apabila ia kuat secara lembaga, pastilah akan terus eksis dalam sistem dan cuaca politik apa pun.
Bagaimana tingkat institusionalisasi parpol di Indonesia dewasa ini? Tampaknya rata-rata tingkat institusionalisasi mereka masih rendah. Nilai parpol yang terlanda konflik atau perpecahan internal akut tekor. Dalam kemandirian parpol, memang tidak dapat serta-merta jeroan parpol yang disalahkan, tetapi sistem kepartaian kita masih belum antisipatif dalam pendanaan. Ini masih jadi dilema: di satu sisi parpol gagal memobilisasi dana yang cukup dari dalam, tetapi dana dari negara sangat terbatas. Akibatnya, pemenuhan pendanaan parpol oleh para elite tidaklah mudah dan berpotensi pada perilaku korupsi para kader di jabatan publik.
Lantas, bagaimana menolong parpol? Kita tahu parpol merupakan pilar penting dari masyarakat politik sebagaimana masyarakat ekonomi, masyarakat sipil, dan penegakan hukum yang kuat adalah prasyarat penting dalam konsolidasi demokrasi. Semua pihak perlu bertanggung jawab memperkuat parpol sebagai penggerak demokrasi. Dari sisi luar parpol, masyarakat sipil pun perlu menekan dan mendesak para elite parpol agar menjadi politisi yang benar, bukan memperkuat posisi sebagai oligarki yang membajak parpol sendiri.
Sesungguhnya yang paling penting adalah tekanan dari dalam, supaya parpol bergerak ke arah penguatan institusinya. Jadi, harus ada transformasi dari dalam yang hadir sebagai respons terhadap tekanan dari luar yang menghendaki agar parpol terlembaga secara demokratis. Ini bisa terjadi manakala pola pikir yang ada tak eksklusif. Para elite partai yang inklusif, sebaliknya, sadar bahwa yang dilakukan parpol tidak dapat dilepaskan dari publik. Parpol bukan milik elitenya, melainkan milik publik. Pengelola parpol jangan melembagakan sikap menutup diri.
Regulasi
Dari sisi sistem, pada akhirnya diperlukan regulasi yang orientasinya pada penguatan institusi parpol. Sistem kepartaian dan pemilu dewasa ini kelihatannya belum berorientasi ke sana, sehingga sering parpol bak gelandangan di rumah sendiri dan mengalami disorientasi. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan berdasarkan suara terbanyak sekadar membuat parpol jadi kendaraan politik yang tak mampu memastikan para kader terbaiknya terpilih. Mereka kalah dengan yang, meminjam istilah Nurcholish Madjid, "gizinya" banyak. Bila demikian, pengaderan seolah-olah tak berguna dan memicu alasan elite parpol enggan melakukan pengaderan yang baik dalam bingkai penguatan institusi parpol.
Meski demikian, parpol dewa- sa ini tak boleh manja dan berharap dimanja negara. Mereka harus lebih dulu mampu memperbaiki wajahnya, menunjukkan kepada publik perubahan signifikan dalam menggerakkan demokrasi dengan kian tingginya persentase identifikasi partai sehingga peningkatan dana oleh negara tidak menuai protes luas.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Menolong Partai Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar