Isi surat edaran itu antara lain agar para guru tak mengikuti perayaan hari guru dan ulang tahun yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 13 Desember 2015 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kehadiran guru dianggap mengurangi citra guru sebagai pendidik profesional. Organisasi publik (baca: PGRI) diminta tak mengorganisasikan dan memanfaatkan guru untuk berbagai kepentingan politik, tetapi fokus pada peningkatan mutu pendidikan, termasuk peningkatan profesionalisme guru.
Banyak kalangan menilai kedua surat itu ironis dan berlebihan. Kementerian berlabel reformasi birokrasi dan pendidikan-kebudayaan yang mestinya motivator revolusi mental malah spiritnya mengajak kembali ke alam prareformasi dan tak relevan dengan substansi profesionalisme guru. Dengan profesionalisme guru, pemerintah seyogianya mengubah pola pikir, sikap, dan perilakunya terhadap guru serta institusinya. Dengan demikian, guru termotivasi berubah, mengembangkan diri dan kompetensinya.
Menurut Tilaar (2012), profesionalisme meniscayakan perubahan perilaku etik dan politik guru karena status guru akan terdemitologisasi. Mitos guru sebagai manusia sempurna yang tak boleh salah, atau pekerja sosial yang ikhlas dan tak pantas mengharap balas, serta guru yang dianggap tabu berpolitik akan mengalami, bahkan harus, dirasionalisasi.
Perilaku moral guru profesional akan dituntun dan dibatasi etika profesi yang diawasi dewan kehormatan guru. Terkait pembayaran, bukanlah aib bagi para guru mengharap imbalan karena profesionalisme per definisi mengandaikan tingkat pembayaran dan kecakapan tertentu.
Sejak profesionalisme dijalankan, pemerintah (pusat dan daerah) mesti membuat perencanaan mengatasi kekurangan guru dan membenahi distribusinya berdasarkan profesionalitas, bukan justru memolitikkan. Format darurat pengadaan dan pemenuhan formasi guru seyogianya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya batas waktu sertifikasi guru dalam jabatan, yaitu tahun 2015.
Alih-alih memprioritaskan penyelesaian sekitar 1,2 juta guru yang belum tersertifikasi, dewasa ini pemerintah malah menggalakkan penugasan dan atau pengangkatan guru yang belum memenuhi prinsip profesionalitas melalui program Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal (SM3T). Kegiatan SM3T kiranya lebih proporsional jika diposisikan seperti (dulu) dokter PTT bagi yang baru lulus uji kompetensi dokter Indonesia.
Segala kebijakan terkait dengan guru hendaknya tak lagi hanya memilih cara gampang tanpa berpijak pada aturan dan berorientasi perbaikan kinerja. Substansi profesionalisme guru adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu dan martabat guru.
Karakteristik mental profesional adalah bekerja sebaik mungkin dengan melakukan perbaikan diri secara sinambung. Menghidupkan roh dan kesadaran guru tentang karakter profesional merupakan hal utama yang perlu digarap melalui berbagai program intervensi kualitatif. Selama ini yang terjadi lebih pada kegiatan kuantitatif yang nyaris tak signifikan terhadap mutu guru. Belakangan, Kemdikbud sibuk menguji guru setiap tahun.
Wadah politik guru
Beragam fakta tadi menggambarkan program profesionalisme guru bukan semata urusan penguasaan materi ajar, pendekatan, metode, dan teknik mengajar di kelas/sekolah. Persoalan guru dan praktik kelas tak pernah lepas dari politik pendidikan nasional: bagaimana kekuasaan diperlakukan terhadap dunia pendidikan, termasuk guru. Hingga dewasa ini, program profesionalisme kebanyakan sebatas politisasi guru. Guru kerap diperlakukan bak dakocan yang diberi warna-warni membelanjakan anggaran, melestarikan kekuasaan, dan mencitrakan diri pejabat.
Agar tak terus-menerus menjadi obyek politisasi, para guru perlu disadarkan tentang statusnya sebagai sebuah entitas politik yang dapat berkontribusi terhadap berbagai kebijakan. Bahkan, menurut Oakes dan Lipton (Teaching to Change the World, 2003: 430), menjadi guru di abad ke-21, selain alasan tradisional-seperti hasrat menolong-(perlu dimovitasi) untuk keadilan sosial dan mengubah dunia ke arah lebih baik.
Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian guru mengemukakan berbagai gagasan terkait kebijakan yang akan diambil. Tak zamannya lagi pemerintah terlampau represif dan curiga terhadap guru dan insti- tusinya karena dapat berakibat pada kejumudan, pemiskinan kreativitas, dan inovasi dalam pembelajaran. Untuk itulah, UU Guru dan Dosen menetapkan organisasi profesi guru penting.
Organisasi "profesi" guru perlu diberi definisi lebih luas dari sekadar tempat belajar bersama dan bertukar pengalaman mengajar untuk meningkatkan kompetensi. Organisasi guru perlu dijadikan wadah politik atau kelompok kepentingan guru dalam memperjuangkan hak dan kewajiban, perlindungan profesi, dan kemajuan pendidikan pada umumnya.
Problem profesi keguruan yang senantiasa berkelindan dengan politik pendidikan hampir tak mungkin diselesaikan guru secara individu. Sementara itu, posisi guru sangat lemah sehingga dengan mudah menjadi bulan-bulanan dan korban kesewenang-wenangan birokrasi, politisi, murid, orangtua, dan masyarakat. Kasus mudahnya pemberhentian sepihak seorang kepala sekolah di DKI Jakarta beberapa waktu lalu lantaran sekadar memberikan keterangan pers tentang ujian nasional adalah gambaran tak berdayanya guru di hadapan arogansi kekuasaan.
Menjadikan organisasi guru sebagai entitas politik dan wadah perlindungan profesi kian penting seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat tentang HAM, termasuk hak dan perlindungan anak dewasa ini. Tuntutan masyarakat terhadap pendidikan yang bebas dari kekerasan meniscayakan guru mengubah paradigma dan kebiasaannya. Beberapa kasus yang ditangani lembaga konsultasi dan bantuan hukum PGRI menunjukkan betapa upaya edukasi dengan kekerasan fisik dan verbal (termasuk jentikan, jeweran, dan kekasaran kata) harus ditinggalkan. Organisasi guru perlu proaktif merespons perkembangan ini sebagai momentum mengubah pola pikir guru terhadap tugasnya.
Pemilu dan guru
Politisasi guru makin marak dengan berbagai pemilu di Tanah Air. Pada Orde Baru, para guru-di bawah kendali organisasi guru-menyokong dan menyalurkan aspirasi politiknya pada organisasi politik penguasa. Imbalannya, satu dua orang pegiat pendidikan dijadikan (calon) anggota DPR/DPRD lewat organisasi itu. Beberapa fungsionaris organisasi guru atau pegiat pendidikan lain ditunjuk/diangkat menjadi utusan golongan di MPR. Di bawah komando Orba, organisasi guru relatif solid dan jarang mengkritik kebijakan pendidikan pemerintah.
Di era reformasi, terbuka peluang bagi guru untuk berpartisipasi lebih besar dalam menentukan arah politik pendidikan. Pertama, dalam berbagai pemilu (legislatif, presiden, dan kepala daerah) guru bebas dan berposisi tawar menyalurkan hak pilih sesuai aspirasinya. Organisasi guru dapat bersepakat dan mengarahkan anggotanya memilih calon tertentu yang mengusung visi atau berkomitmen pada kemajuan pendidikan. Kedua, organisasi guru dapat berperan sebagai kelompok pendesak terhadap pemerintah agar berbagai kebijakan, termasuk peraturan daerah, berpihak pada guru dan kemajuan pendidikan. Ketiga, melakukan kontrol atas penggunaan isu pendidikan yang berpotensi menyesatkan publik, terutama dalam masa kampanye. Organisasi guru dapat melindungi guru dan kepala sekolah dari politisasi dan kriminalisasi, seperti pemindahan atau pemberhentian sepihak dari jabatan terkait dukungan politik yang berseberangan dengan kekuasaan. Politik guru dapat dijalankan dengan baik hanya jika organisasi guru solid.
MOHAMMAD ABDUHZEN
KETUA LITBANG PB-PGRI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Politik Guru".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar