Namun, bicara pahitnya, tak banyak indikator positif berpihak kepada mereka. Struktur kesempatan otonomi, yang terbuka lebar 15 tahun terakhir, mulai cenderung menyempit. Relasi pusat-daerah memasuki babak baru: sosok rezim sanksi kian terasa, lewat instrumen fiskal ataupun administrasi. Pada batas tertentu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menghadirkan lingkungan persoalan baru ketimbang struktur kesempatan untuk berunjuk kinerja.
Tantangan makro kepemerintahan ini akan menjadi lapisan masalah pelik jika dari internal (kepala daerah, lingkaran kekuasaan, dan birokrasi lokal) juga tak berhenti memproduksi segala faktor negatif, seperti inefisiensi dan korupsi.
Sedini mungkin
Menyadari semua itu, segala ikhtiar mesti mulai didorong sedari awal. Kita bisa langsung mulai dari perkara waktu pelantikan. Jika horizon berpikirnya sebatas pilkada, kata "serentak" pasti dirujuk. Sebagaimana pelaksanaan pilkada ditempuh serentak, pelantikan juga serentak, serta serentak pula akhir masa jabatan lima tahun kelak. Bulan Juni dinilai pas, menimbang penyelesaian perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi dan menghitung proses persiapan pelantikan.
Hal ini janggal. Kata "serentak" seolah begitu substantif dalam konteks pelantikan yang sejatinya prosedural, bahkan sebagian seremonial, tanpa mengurangi arti legalnya bagi mulainya seseorang bekerja dalam jabatan publik. Bagi mayoritas pilkada nirsengketa, dilantik lebih cepat justru bernilai substantif: efektivitas pemerintahan!
Pejabat sementara tak kelamaan berada dalam tekanan: baik tekanan bersumber dari otoritas transisional yang lemah maupun tekanan psikologis lantaran kepala daerah terpilih biasanya mulai "masuk" dalam pemerintahan, minimal diperhitungkan betul pandangannya dan manuver tim suksesnya.
Pelantikan cepat (Februari) juga pas dari siklus perencanaan-penganggaran. Kalender daerah menunjukkan semester perencanaan itu berlangsung Januari-Juni: Januari-Maret diisi musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kecamatan, Maret sudah mulai pembahasan di kabupaten/kota.
Sembari menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah berbasis program kepala daerah terpilih, perencanaan tahunan (penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah) masih terbuka lebar mewadahi masuknya program jangka pendek kepala daerah baru. Anggaran, sejak Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara hingga Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga otomatis meresonansi program dan perencanaan tersebut.
Bahkan, untuk tahun fiskal berjalan, kepala daerah yang baru memiliki cukup waktu untuk melakukan penyesuaian dalam kerangka APBD Perubahan yang bisa mulai digarap segera setelah pelantikan hingga September (tenggat akhir).
Konsolidasi politik
Dimensi lain, latihan berpemerintahan. Hasil Pilkada 2015 menunjukkan kemenangan wajah-wajah baru (nonpetahana), sebagian lagi tokoh berusia muda. Ini sinyal hadirnya energi baru ke depan. Namun, minim pengalaman kerap menjadi soal krusial awal berkuasa. Sesudah pilkada, efektivitas pemerintahan nyaris tak lagi terkait legitimasi elektoral (perolehan suara), tetapi fungsi akumulatif dari keberhasilan kepala daerah melakukan konsolidasi politik (dukungan DPRD), menggerakkan mesin birokrasi, menggelar aneka terobosan, serta menghadirkan pemerintahan bekerja.
Untuk itu, lebih dari sekadar pembekalan normatif selama ini, fasilitasi penguatan kapasitas dan transfer pengetahuan amat krusial dilakukan jauh-jauh hari. Bila perlu, tak mesti menunggu pelantikan, mulai saat ini sudah digelar putaran awal bersekolah dan latihan bekerja, termasuk menghadirkan pengajar para kepala daerah inovatif.
Pada tingkat lanjut, arah berubah dari otonomi hari ini menjadi batu uji serius para kepala daerah, terutama para bupati/wali kota. Merujuk tenggat bulan Maret, di masa awal mereka sudah direpotkan dengan transisi sejumlah urusan (kehutanan, pertambangan, kelautan/perikanan, dan pendidikan) ke provinsi. Perpindahan urusan-termasuk implikasinya bagi personalia, pembiayaan, peralatan, dan dokumen-selalu membawa komplikasi teknis nan rumit.
Secara substantif, perpindahan itu berarti berkurangnya otoritas dan sumber daya penting di kabupaten. Dalam sektor publik, urusan itu adalah perkara paling krusial. Tak banyak yang bisa dilakukan jika bukan urusannya. Para bupati/wali kota, yang telah menempuh proses berat saat pilkada, dalam realitas keseharian nanti hanya menemukan isi pekerjaan yang jauh menciut. Praktis, mereka hanya berurusan dengan tugas layanan, sementara pembangunan (sumber daya ekonomi) domain provinsi. Janji-janji kemakmuran dan gagasan kemajuan selama kampanye hanya menjadi isapan jempol jika pimpinan kepala daerah tersebut tak kreatif mencari jalan lain.
Pada dimensi lain, pola relasi dengan pranata supradaerah (provinsi dan pusat) menampilkan corak baru. Sebelumnya, fasilitasi lebih dominan ketimbang sanksi, ke depan berbagai instrumen fiskal, kendali politik, dan tata administrasi akan menjadi instrumen penertiban daerah.
Sayangnya, desain rezim sanksi ini lebih berorientasi kepada akuntabilitas prosedural ketimbang akuntabilitas subtantif terkait capaian kerja. Selain itu, karakter rezim itu juga berpotensi meminggirkan partisipasi publik: demi mengejar batas waktu penyerahan APBD ke supradaerah pemda mengorbankan ruang warga untuk terlibat intensif.
Tak perlu dijelaskan, pilkada adalah bagian integral desentralisasi. Hasil relatif bagus yang diperoleh dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 akan menemui medan uji otentiknya dalam keseharian berpemerintahan nanti. Sesudah pilkada, segala ikhtiar didorong untuk memastikan para kepala daerah terpilih siap sedini mungkin, terlatih, dan bersiap diri. Tak banyak waktu untuk belajar, apalagi dalam konteks otonomi yang berubah hari ini. Semoga.
ROBERT ENDI JAWENG
Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Persiapan Kerja Kepala Daerah Terpilih".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar