Dua respons ini menurut saya tidak bermanfaat. Menunjukkan keberanian untuk mementahkan tujuan terorisme memang bagus dan bermanfaat. Namun, menertawakan dan meremehkan terorisme kemarin adalah tindakan yang gegabah dan keliru. Mengapa?
Secara umum, tujuan dari bom bunuh diri adalah pencapaian sebanyak-banyaknya korban sehingga dengan itu muncul efek penggentar. Dengan bom bunuh diri, teroris bermaksud membentuk suatu wilayah mental tertentu di kalangan publik, yakni panik, ketakutan, dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem serta pranata-pranata dasar masyarakat. Dilihat dari jumlah korbannya yang lebih sedikit ketimbang jumlah pelaku yang tewas, serangan teroris di Jalan MH Thamrin memang tidak menghasilkan suatu efek penggentar yang dramatis -sebagaimana yang terjadi di Paris tempo lalu. Meskipun demikian, ini tidak berarti terorisme bisa direlativisir, apalagi diremehkan.
Dengan bunuh diri, sebenarnya terorisme secara tidak langsung memisahkan diri dengan tujuan-tujuan kekerasan yang umum yang bisa dilakukan juga oleh negara. Bunuh diri membuat teroris menjadi "khas" dan "istimewa". Dia memasuki ekstremitas yang nihilistik karena penciptaan ketakutan dan teror itu diunjukkan sekaligus melalui pembunuhan atas dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh prajurit terbaik dari suatu rezim politik paling brutal sekalipun.
Bom bunuh diri bersifat unik. Bom bunuh diri merupakan pernyataan dedikasi yang total dan paripurna para pelaku terhadap kelompoknya. Dedikasi paripurna ini menambahkan tingkat legitimasi pelaku dan organisasinya sehingga, dengan itu, mereka bisa mengklaim tindakan itu dan menjadikannya contoh atau teladan untuk orang luar ataupun kelompok teror lain. Dengan bom bunuh diri, suatu kelompok memang kehilangan anggota, tetapi dengan "teladan" totalitas di dalamnya, mereka bisa menggunakan tindakan bunuh diri sebagai cara untuk merekrut dan menambah para pelaku lain.
Teater politik
Mia Bloom menambahkan, bom bunuh diri juga memiliki nilai tambah, yakni bahwa dengan mengorbankan diri dalam tindakan yang dibuatnya sendiri, akan menempatkan lawan dalam aib moral. Ide di belakang bom bunuh diri adalah si pembunuh, melalui tindakan dramatis, menghasilkan dirinya sebagai korban paripurna sehingga dengan itu ia akan dilupakan sebagai pembunuh dan diposisikan sebagai orang dalam kesempurnaan moral (Mia Bloom dalam Pedahzur 2006, hal 26). Dengan demikian, dalam setiap bom bunuh diri selalu ada pembalikan moral, di mana pelaku dalam tindakan ekstrem paripurna yang membunuh dirinya sendiri berubah dari penjahat menjadi martir- setidaknya bagi kelompok dan simpatisannya. Bloom pada akhirnya menekankan bahwa bunuh diri teroris pada dasarnya adalah sebuah bentuk teater politik, di mana reaksi dari penonton merupakan hal yang sama pentingnya dengan tindakan bunuh diri itu sendiri.
Dalam meneliti lebih jauh motif-motif dalam bom bunuh diri, Bloom menemukan alasan-alasan teroris yang sifatnya praktis, yakni motif individual, motif organisasional, dan motif persaingan antar- organisasi teroris. Bloom sama seperti kebanyakan teoretisi lain memandang terorisme sebagai perwujudan tindakan dengan motif politik yang negatif, yakni kekerasan yang ekstrem. Motif politik dianggap sebagai satu-satunya hal yang mendorong atau membentuk tindakan.
Merumuskan suatu tipologi umum mengenai bunuh diri dalam terorisme merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Meski demikian, Ellen Townsend, dengan merujuk temuan dari berbagai peneliti, berpendapat bahwa dalam kasus bom bunuh diri, peran penggunaan doktrin merupakan hal yang sentral (Ellen Townsend 2007, hal 7). Pandangan Townsend ini kita temukan kebenarannya apabila kita bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh terhukum kasus teroris, Imam Samudra, bahwa: Sungguh, "membinasakan" (baca: mengorbankan) diri demi kemuliaan dienullah, dan demi melemahkan orang kafir, adalah satu prestasi yang cemerlang. Ia memiliki strata yang agung nan mulia. (Imam Samudra 2004, hal 185).
Pandangan Imam Samudra ini menegaskan bahwa salah satu unsur penting dalam tindakan bom bunuh diri pertama- tama adalah adanya doktrin mengenai "kemuliaan" tindakan. Kemuliaan tindakan itu sendiri bersifat abstrak dan hanya bisa dicapai apabila seluruh tindakan itu paripurna. Dengan itu ada dimensi pelampauan dalam setiap tindakan bom bunuh diri. Dengan tindakan itu ia berharap ia akan diintegrasikan ke dalam suatu kesatuan yang lebih besar yang belum ia saksikan, tetapi cukup ia yakini.
Dari sini jelas, ada sesuatu yang lebih abstrak dan subtil dari sekadar motif dan politik. Bunuh diri dilakukan karena tindakan itu sendiri telah terlebih dulu dihapus sebagai bunuh diri dan dimaknai sebagai jalan menuju kesempurnaan. Tindakan itu telah dideterminasi dengan suatu sistem pemaknaan yang baku dan tertutup. Akibatnya, tindakan pada dasarnya hanya artikulasi dari satu sistem keyakinan politik yang subtil. Tanpa doktrin, tanpa ketersediaan sistem abstrak yang memberikan makna terhadap tindakan itu, tak ada tindakan bunuh diri. Artinya, setiap bom bunuh diri adalah tindakan fondasional. Ia perlu rujukan sebelum diaktualisasikan ke dalam tindakan.
Dengan demikian, dalam setiap tindakan bom bunuh diri bukan motif pribadi, kelompok, atau tujuan politik praktisnya yang pertama-tama dituju, melainkan pemenuhan diri dalam tindakan dan doktrin. Ada dimensi teleologis yang terbentuk secara ringkas di mana di dalam tindakan itu si pelaku merasa bukan hanya melaksanakan tugas secara paripurna, lebih jauh dari itu ia sendiri mencapai situasi yang sempurna dalam tindakannya.
Namun, meski pada tahap akhir keputusan individual itu menentukan, tidak dapat dikatakan bahwa pelaku bom bunuh diri dilakukan oleh individu yang terisolasi -sehingga dengan demikian seakan-akan tindakan itu pada akhirnya merupakan keputusan eksistensial. Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Townsend menemukan fakta bahwa keputusan untuk melakukan bom bunuh diri tidak tiba sebagai hasil keputusan yang terisolasi, apalagi otonom. Para peneliti menemukan bahwa pelaku bom bunuh diri biasanya telah disiapkan, dilatih.
Jangan remehkan
Townsend mengatakan: "No instances of religious or political suicide terrorism stem from lone actions of cowering or unstable bombers. It seems that the decision to send out a suicide terrorist is almost always made by others"(Townsend, hal 16). Tidak ada bunuh diri teroristik yang digerakkan oleh tindakan perseorangan, keputusan untuk mengirim para peledak bom bunuh diri selalu dibuat orang berbeda.
Yang juga unik pada kasus-kasus bom bunuh diri adalah teroris berhenti pada momen atau kejadian itu, di mana ia mati bersama para korbannya. Namun, justru dengan kematiannya itu, tujuan-tujuannya yang sejati justru baru dimulai. Di sini, bom bunuh diri bukanlah suatu keputusan eksistensial, melainkan hasil dari determinasi organisasional.
Dengan memahami struktur dan tujuan-tujuan bom bunuh diri ini, jelaslah bahwa barangkali mereka gagal membentuk efek ketakutan massal. Meski demikian, sebagai tindakan teroristik, tindakan itu telah dipenuhi. Artinya, sejauh bunuh diri terjadi sebagai bunuh diri, maka tak ada bom bunuh diri yang sepenuhnya gagal. Yang kedua, sebagaimana dikatakan Bloom, bom bunuh diri dimaksudkan sebagai suatu teater yang terorganisasi. Kegagalan pada satu "pertunjukan" tidak berarti telah memusnahkan organisasi di belakangnya.
Artinya, di masa depan potensi ancaman yang sama masih terus terbuka di depan kita. Keberanian sipil, dan segala kampanye mengenai daya tahan terhadap teror, jangan sampai membuat kita gegabah hingga meremehkan terorisme.
ROBERTUS ROBET
Sosiolog UNJ; Peneliti di Centre for Terrorism and Social Conflict Studies Fakultas Psikologi UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Struktur Bunuh Diri Teroris".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar