Tampaknya dalam dinamika kehidupan politik mulai tumbuh pemikiran perlunya perubahan sistem ketatanegaraan kita. Hal ini berarti ada pemikiran bahwa konstitusi kita perlu kiranya untuk diamandemen lagi. Konstitusi 1945 telah mengalami empat kali amendemen. Jika akan dilakukan amendemen lagi, asalkan semua kekuatan rakyat setuju, tak jadi masalah.
Seperti Perancis, konstitusi mereka yang ditetapkan tahun 1793 mengalami beberapa kali amendemen. Setelah amendemen melahirkan republik keempat, Perancis di bawah kepemimpinan Charles de Gaule tahun 1958 melahirkan konstitusi republik kelima. Dan, sejak itu hingga sekarang konstitusi Perancis telah mengalami lebih dari 18 kali amendemen. Jadi, kalau di negara kita akan ada amendemen konstitusi-sekali lagi, asalkan sesuai tuntutan perkembangan zaman dan rakyatnya setuju-tidak ada masalah.
Akhir-akhir ini kita lihat bahwa sebagian rakyat atau parpol ada yang menginginkan fungsi MPR dikembalikan seperti aslinya: bisa memilih presiden dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Atau hanya menetapkan GBHN, presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Sebagian ada yang menginginkan amendemen karena pasal-pasal dari konstitusi kita sudah tidak sesuai dengan preambulnya.
Demikian juga ada yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai tak produktif, bahkan menimbulkan konflik kepentingan atau kewenangan yang berada di DPR dengan DPD. Lalu, ada pandangan agar DPD dikembalikan saja sebagai salah satu komponen MPR mewakili realitas kelompok-kelompok politik yang hidup dalam masyarakat, yaitu unsur daerah dan golongan.
Ada pula yang menyatakan bahwa konsep negara kesatuan yang berlandaskan UUD 1945 merupakan cita-cita Indonesia di masa depan. Indonesia dalam menjalankan roda kenegaraan ini diatur tata kerja dan prosedur lembaga-lembaga negara. Lembaga negara tertinggi dilakukan oleh MPR yang menetapkan GBHN dan memberhentikan presiden. Lembaga negara pemegang kekuasaan pembuat UU dijalankan oleh DPR, lembaga negara pemegang kekuasaan melaksanakan pemerintahan dipegang oleh presiden, dan lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan di bawahnya. Kelihatannya, pemikiran para pendahulu kita sangat sederhana, tetapi sangat kuat dalam menjaga dan mewariskan kesatuan dan persatuan bangsa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan demokratis
Sistem pemerintahan yang demokratis telah telanjur disepakati pada awal reformasi tahun 1999. Sistem pemerintahan seperti ini menetapkan bahwa keabsahan atau legalitas suatu pemerintahan itu ditentukan oleh kedaulatan pilihan rakyat. Oleh karena itu, konstitusi suatu negara harus dikembalikan kepada keabsahan pilihan rakyat ini. Kita sekarang telah berada pada kondisi seperti itu. Oleh karena itu pula, jika konstitusi dikehendaki diubah haruslah bukan karena kemauan satu dan lain partai politik, melainkan oleh seluruh kekuatan rakyat Indonesia.
Menurut kalkulasi konstitusi, kesepakatan bersama itu haruslah mencerminkan dua-pertiga suara di MPR. Sekarang ini tampaknya keinginan melakukan amendemen konstitusi baru dari satu-dua partai politik dan belum ada kesepakatan bagaimana dan apanya yang harus diubah. Oleh karena itu, perubahan konstitusi jangan didasarkan atas selera satu-dua partai politik yang masih samar-samar.
Ketika konstitusi kita telah sepadan dan selaras dengan sistem pemerintahan demokratis seperti sekarang ini, keinginan untuk mengubah konstitusi kembali ke pemerintahan setengah demokrasi atau demokrasi terpimpin atau demokrasi otoriter, hal semacam itu janganlah diikuti. Contoh keinginan melakukan pemilihan kepala daerah ke DPRD, mengganti pemilihan langsung oleh rakyat, merupakan cara setengah demokrasi. Atau menetapkan GBHN oleh MPR tetapi presiden dipilih langsung dan yang mempunyai diskresi untuk menetapkan atau membuat kebijakan politik sesuai dengan situasi politik yang dihadapinya lima tahunan merupakan sistem ketatanegaraan yang kurang stabil.
Terkait keberadaan DPD, sejak awal kehadirannya memang sudah banyak menimbulkan pertanyaan. Sebagai lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, maka akan terjadi duplikasi atau kekembaran fungsi dengan lembaga perwakilan rakyat yang genuineseperti DPR.
Lembaga perwakilan rakyat pemegang kekuasaan perundang-undangan ini punya tiga fungsi, yakni fungsi perundang-undangan, pengawasan, danbudget APBN. Lalu, apa fungsi DPD kalau tiga fungsi itu telah habis dilakukan oleh DPR?
Akhirnya dicarikan solusinya: semula DPD ini diberi wewenang membidangi inisiatif perundangan pada persoalan-persoalan daerah, seperti otonomi daerah, serta pemekaran dan penghapusan suatu daerah. Wewenang seperti ini oleh DPD terasa tak seimbang sebagai lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, kemudian diberi wewenang lebih luas lagi di bidang anggaran. Alhasil, terkesan ada dua kamar (bikameral) di lembaga perwakilan kita, tetapi derajat kamarnya tidak jelas.
Ketika terjadi dua kamar seperti itu, pertanyaannya apakah di masyarakat kita punya sejarah terciptanya dua kamar tersebut? Amat berbeda dengan negara-negara seperti Perancis, Inggris, atau Amerika Serikat yang struktur lembaga perwakilannya memang mempresentasikan realitas masyarakat yang berbeda strukturnya. Di Perancis ada Majelis Tinggi (Chambre Haute) yang disebut Senat dan wakilnya disebut Senator karena mewakili dari struktur masyarakat bangsawan. Adapun Majelis Rendah (Chambre Basse) sebagai majelis nasional DPR mewakili struktur masyarakat kebanyakan. Di AS yang konstitusinya banyak diikuti dan dicontoh negara-negara lain, juga terdapat dua kamar: majelis tinggi (Senat) mewakili dari negara-negara (bagian) yang berdaulat dan majelis rendahnya sebagai DPR mewakili struktur rakyat kebanyakan. Struktur masyarakat AS terdiri atas masyarakat negara yang mempunyai kedaulatan dan masyarakat nasional atau rakyat kebanyakan. Di Inggris pun demikian, terdiri dua kamar, mewakili para bangsawan dan masyarakat kebanyakan.
Di lihat dari perspektif historis struktur masyarakatnya, Dewan Perwakilan Daerah alias DPD yang akhir-akhir ini juga sering disebut "Senat" dan orangnya disebut "Senator" tampaknya kurang tepat dan kurang urgensinya kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris, yang lembaga negara dalam sistem ketatanegaraannya mencerminkan struktur masyarakatnya.
Pemerintah daerah
Susunan dan struktur pemerintah daerah di Indonesia merupakan bentuk suatu pemerintahan yang berada di dalam sistem suatu negara kesatuan. Bukan berada di negara federalistik seperti di AS dan Kanada. Adanya pemerintahan daerah di negara kita diawali dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh wakil rakyat: Soekarno-Hatta. Dahulu, Ketua Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno awalnya membagi pemerintahan daerah itu atas pemerintah daerah provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Adapun pemerintah daerah kabupaten dan kota belum terbentuk. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Irian masing-masing satu provinsi. Adapun Jawa terdiri atas Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sebagai pemerintah daerah di suatu negara kesatuan, semua kewenangan mengatur kekuasaan negara berada di tangan pemerintah pusat. Adapun kewenangan yang berada di pemerintah daerah merupakan sebagian dari kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan atau didesentralisasikan ke daerah. Cara pelimpahannya pun sangat bergantung kemurahan pemerintah pusat (by the pleasure of central government). Oleh karena itu, di dalam sistem negara kesatuan adakalanya sistem pemerintahannya bersifat sentralistik (seperti Pemerintah Orde Baru), ada kalanya seperti sekarang ini. Dari perspektif ini kehadiran pemerintah daerah di Indonesia awalnya ditentukan oleh keputusan pemerintah pusat, bukan tumbuh berdaulat terlebih dahulu seperti di pemerintahan federalistik Amerika Serikat.
Dengan demikian, eksistensi DPD sebagai wakil pemerintah daerah dalam lembaga perwakilan kurang tepat jika dibandingkan dengan wakil rakyat yang tersebar di seluruh penjuru wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, eksistensinya perlu dipertimbangkan kembali. DPD tidak mencerminkan mewakili struktur masyarakat yang ada dan berdaulat di Indonesia, dan juga tidak mewakili kondisi struktur dan hakikat kedudukan kewenangan pemerintah daerah di negara kesatuan. Oleh karena itu, DPD sebaiknya dikembalikan sebagai unsur atau komponen MPR yang mewakili unsur golongan dan daerah seperti semula.
MIFTAH THOHA
Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "DPD dan Urgensinya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar