Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 28 Februari 2016

Mencegah Penularan Difteri (Kompas Minggu)

Sebagai seorang ibu yang mempunyai anak usia sekolah, saya amat khawatir dengan berita penyakit difteri di sejumlah kota di Indonesia. Saya mempunyai dua anak, yang pertama berusia 12 tahun, kelas I SMP, yang kedua berusia 9 tahun, kelas IV SD. Sepanjang yang saya ketahui, penyakit difteri mudah menular dari seorang anak ke anak lain. Namun, saya kurang paham kenapa sekarang penyakit difteri meningkat, padahal anak-anak di Indonesia sudah mendapat imunisasi lengkap, termasuk DPT.

Anak saya mendapat imunisasi DPT sesuai anjuran puskesmas, selain imunisasi lain. Saya membawa anak saya untuk diimunisasi sesuai dengan jadwal yang dianjurkan oleh puskesmas.

Saya ingin mengetahui lebih lanjut mengenai penularan penyakit difteri, apakah difteri hanya menyerang anak atau juga dapat mengenai orang tua seperti saya. Apa yang dilakukan pemerintah untuk memutus rantai penularan difteri? Apakah jika ada siswa yang terkena difteri teman-teman sekolahnya harus diperiksa semua agar dapat diketahui lebih dini jika terjangkit? Apa yang menyebabkan seorang anak mudah terserang difteri? Bagaimana cara penularan dan cara mencegah difteri? Apa gejala awal penyakit difteri dan apa yang harus dilakukan seorang ibu jika curiga anaknya terkena difteri? Apakah anak yang imunisasinya tidak lengkap lebih mudah terkena difteri? Bagaimana jika ada anak yang imunisasinya bolong-bolong, dapatkah dilanjutkan? Apakah dapat dilakukan imunisasi susulan untuk mengejar kekurangan imunisasi yang tak diberikan?

Kakak saya yang paling tua lulusan salah satu universitas di Indonesia. Namun, yang mengherankan saya, dia tak mau membawa anaknya untuk imunisasi. Dia banyak membaca internet. Menurut informasi yang dia peroleh, imunisasi lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya. Dia hanya memberi anak-anaknya obat herbal sebagai pengganti imunisasi. Apakah obat herbal dapat menggantikan imunisasi? Terima kasih atas penjelasan dokter.

A di J

Kekhawatiran ibu terhadap penyakit difteri amatlah wajar. Difteri merupakan penyakit akut yang mudah menular. Penyakit ini disebabkan kumanCorynebacterium Diphteriae. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, tetapi berhasil ditekan secara tajam dengan imunisasi. Sekitar 80 persen kasus difteri terjadi pada anak berusia di bawah 18 tahun, tetapi penyakit ini juga dapat menyerang orang dewasa.

Penularan kuman difteri terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau pembawa kuman difteri. Penularan amat mudah karena dapat terjadi melalui batuk, bersin, atau bicara. Penularan tak langsung dapat terjadi melalui baju, buku, atau mainan yang tercemar kuman.

Masa mulai dari masuknya kuman ke tubuh penderita sampai terjadinya gejala (masa inkubasi) sekitar 2 sampai 5 hari. Gejala berupa demam, sakit tenggorokan, suara parau, sakit kepala, dan biasanya terdapat sembap atau pembengkakan daerah sekitar leher. Kuman akan menghasilkan semacam selaput yang dapat menutup saluran napas sehingga pasien menjadi sesak napas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, dan pada pemeriksaan selaput terdapat tanda kemerahan. Istilah kedokteran untuk selaput ini adalah pseudomembran.

Jika diagnosis terlambat serta pengobatan tak adekuat, penyakit dapat menjadi berat, bahkan dapat menimbulkan kematian. Jika ibu yang mencurigai anaknya sakit tenggorokan tak seperti biasanya, agar segera berkonsultasi dengan dokter. Terapi difteri meliputi terapi antibiotik, antitoksin, serta pengobatan penyulit yang mungkin timbul. Selain menyerang saluran napas, kuman difteri dapat menimbulkan penyakit pada sistem susunan saraf (neuropati toksik) atau jantung (kardiomiopati toksik).

Bagaimana cara mencegah difteri? Kenapa difteri mulai muncul kembali? Kejadian luar biasa timbul di daerah-daerah yang cakupan imunisasinya kurang. Untuk mencegah penularan suatu penyakit diperlukan cakupan imunisasi di atas 80 persen. Jika cakupan imunisasi difteri menurun, berarti cukup banyak anak yang belum mempunyai kekebalan terhadap kuman difteri. Jadi, jika dia terpajan kuman tersebut, anak yang tak punya kekebalan ini mempunyai risiko untuk tertular dan sakit.

Kementerian Kesehatan sudah mempunyai panduan untuk mencegah penularan lebih lanjut penyakit difteri ini. Di daerah-daerah yang sedang mengalami peningkatan kasus, pengamatan diperketat. Upaya pencegahan penularan ditingkatkan. Salah satunya dengan meliburkan sekolah. Namun, upaya yang cukup penting adalah dengan melakukan imunisasi difteri tambahan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjadikan ukuran keberhasilan cakupan imunisasi salah satunya dengan pemantauan kejadian difteri. Semakin tinggi cakupan imunisasi, semakin turun penyakit infeksi, termasuk difteri. Di beberapa negara sudah sulit ditemukan difteri karena cakupan imunisasinya baik.

Agar kesehatan anak kita terjaga, di samping berbagai upaya yang kita lakukan seperti memberikan ASI dan menjaga kebersihan lingkungan, perlu juga dilakukan imunisasi sesuai jadwal. Imunisasi telah diakui di seluruh dunia sebagai upaya pencegahan primer yang efektif. Jika ada jadwal imunisasi yang terlewatkan lebih dari satu bulan, dapat dilakukan kejar imunisasi. Dokter yang menangani anak dapat merancang kejar imunisasi sehingga anak yang beberapa imunisasinya terlewatkan dapat dilengkapi imunisasinya. Patut kita ingat bahwa tak ada kata terlambat dalam imunisasi.

Informasi mengenai imunisasi di media sosial dapat beragam. Mereka yang mengikuti media sosial harus pandai memilih informasi yang dapat dipercaya. Banyak sumber yang tak kompeten memberikan informasi yang kurang tepat, bahkan menyesatkan mengenai imunisasi.

Untuk informasi tepercaya mengenai imunisasi, Anda dapat mengikuti informasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Kementerian Kesehatan, maupun lembaga kesehatan dunia seperti WHO dan Unicef. Adapun mengenai pandangan agama tentang imunisasi, Anda dapat mengikuti pandangan agama Islam dari Majelis Ulama Indonesia serta agama lain dari lembaga keagamaan mereka. Obat herbal baik dan harus kita kembangkan terus. Namun, sampai saat ini obat herbal belum dapat menggantikan imunisasi. Jadi, meski minum obat herbal, tetap harus menjalani imunisasi dengan baik agar kesehatan anak kita terjaga baik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2016, di halaman 11 dengan judul "Mencegah Penularan Difteri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger