Kristalyn Salters-Pedneault (2016) mengatakan bahwa stigma (noda, cacat) adalah suatu ide atau stereotip yang telah terbentuk di dalam pikiran dan ditampilkan keluar berupa ucapan ataupun perbuatan, yang membuat seseorang mendevaluasi atau memandang rendah orang yang diberi stigma. Orang cenderung menjauhkan diri dari individu yang diberi stigma, menyalahkan untuk berbagai tindakan negatif dan mendiskriminasinya.
Psikolog sosial Susan Fiske (1993) mengemukakan, stereotip mengontrol orang lain. Kelompok berkuasa melakukan stereotip kepada kelompok yang kurang berkuasa. Umumnya, orang yang kurang berkuasa lebih memperhatikan orang berkuasa daripada sebaliknya. Oleh karena itu, orang yang kurang berkuasa memiliki informasi lebih banyak tentang orang yang berkuasa dan cenderung kurang melakukan stereotip.
Goffman (1963) mengidentifikasi tiga jenis stigma, yaitu stigma pada ciri-ciri karakter, stigma fisik, dan stigma identitas kelompok. Stigma ciri-ciri karakter menunjukkan adanya cacat karakter individu yang dianggap lemah keinginannya, mendominasi, adanya nafsu yang tidak wajar, keyakinannya berbahaya dan kaku, atau tidak jujur. Tercatat di sini adalah kelompok dengan gangguan mental, atau yang berada di lembaga pemasyarakatan, mengalami adiksi zat, alkoholisme, homoseksualitas, pengangguran, melakukan percobaan bunuh diri, dan perilaku politik yang radikal.
Stigma fisik mengacu kelainan fisik tubuh, seperti pada penyandang tunanetra atau penyandang lepra. Adapun stigma identitas kelompok adalah stigma yang berasal dari menjadi ras, bangsa, agama tertentu, dan lainnya. Stigma ini ditularkan melalui garis keturunan dan mencemari seluruh anggota keluarga.
Menurut survei World Psychiatry, karena penggambaran tentang suatu masalah mental tertentu di media komunikasi, seseorang dapat menstigma mereka dalam tiga cara. Pertama, rasa takut, yakni percaya bahwa orang yang diberi stigma merupakan bahaya bagi orang-orang sekitar dan rentan terhadap episode kekerasan.
Kedua, tidak bertanggung jawab, yaitu percaya bahwa orang yang diberi stigma manja, malas, dan bisa menularkan masalahnya. Ketiga, tidak berdaya, yakni percaya orang yang diberi stigma seperti anak kecil dan membutuhkan bantuan, tidak mampu membuat pilihan sendiri.
Goffman membahas sejumlah respons tersebut. Misalnya, penerima stigma berusaha menjalani operasi plastik, tetapi tetap masih berisiko terkena stigma. Mereka juga dapat berupaya khusus mengimbangi stigma mereka, seperti menarik perhatian ke area lain dari tubuh, misalnya seorang penyandang polio belajar berenang dengan sangat baik.
Mereka juga acap kali menggunakan stigma sebagai alasan berkurangnya keberhasilan, mereka pun dapat berespons dengan mengkritik orang-orang yang dipandang "normal". Bersembunyi acap kali terjadi yang dapat menyebabkan isolasi lebih lanjut, depresi, dan kecemasan.
Individu juga dapat beralih ke orang lain yang juga mendapat stigma atau pada mereka yang bersimpati untuk memperoleh dukungan dan penanganan. Mereka dapat membentuk atau bergabung dalam kelompok swadaya (self-help), klub, asosiasi nasional untuk memperoleh adanya rasa saling memiliki.
Dampak stigma
Stigma bisa mempersulit untuk menjalani penanganan, menemukan pekerjaan yang stabil, tempat tinggal yang aman dan hidup secara normal. Mereka selalu dicurigai telah melakukan kesalahan, kecerobohan, atau marah dan mengalami kesulitan menjalankan rutinitas hidup.
Karena beban berat dari stigma, banyak orang dengan kesulitan kejiwaan berusaha menyembunyikan kondisi mereka, menolak untuk mengakui pada orang lain, atau bahkan pada diri mereka sendiri bahwa ada sesuatu yang perlu dibantu. Orang lain akan mengabaikan penanganan pada mereka, atau mereka menjadi tidak konsisten menjalani terapi dan minum obat-obatan. Hal ini menyebabkan kesulitan besar dan keterlambatan dalam terapi mereka sehingga justru menimbulkan kemunduran yang signifikan.
Meskipun kita mungkin tidak dapat mengubah cara orang lain memandang, kita dapat mengubah cara berpikir tentang diri dan cara bereaksi terhadap cara orang lain memperlakukan kita. Deborah Leader (2014) mengusulkan beberapa hal untuk membantu seseorang mengatasi stigma sosial yang mengenai dirinya, di antaranya:
1. Temukan pribadi Anda.
Jika Anda pernah menjadi pelari maraton, tetapi sekarang merasa sulit untuk berjalan di sekitar ruangan, penting untuk menemukan kembali diri Anda sesuai dengan perubahan keadaan. Jika Anda tidak lagi dapat berjalan jauh, gunakan treadmill di rumah atau berjalan di sekitar kompleks rumah selama sepuluh menit. Semakin aktif dan terlibat dalam kehidupan, kian baik Anda akan merasa tentang diri Anda.
2. Bersiap membuka diri
Berada di depan umum dapat membingungkan, misalnya ketika gejala fisik memburuk karena masalah HIV/AIDS yang disandang. Jika ada hal-hal yang membuat Anda tidak nyaman, persiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya, misal bekerja di pagi hari ketika Anda memiliki energi paling kuat. Membuka diri kepada seseorang yang dapat berempati dan Anda percayai akan sangat meringankan. Ada seseorang yang tahu dan paham dengan kondisi Anda. Tak perlu terburu-buru, tetapi persiapkan diri untuk memberi tahu mengenai kesulitan Anda.
3. Jangan biarkan perlakuan buruk orang lain.
Anda perlu bersiap untuk memaafkan diri sendiri. Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jangan biarkan orang lain mengkritik atau membuat Anda merasa buruk tentang diri Anda. Hal terpenting ialah apa yang dapat Anda lakukan sekarang untuk merawat diri lebih baik. Pelajari cara baru untuk menghadapi berbagai komentar yang tidak sensitif sehingga Anda dapat bertahan ketika memperoleh serangan verbal.
4. Kelompok dukungan.
Seiring dengan terjadinya isolasi sosial pada mereka yang terkena stigma juga muncul kesepian dan perasaan terpisah dari Tuhan. Anda tidak harus melakukan hal ini sendirian. Tidak ada yang lebih memahami masalah Anda kecuali mereka yang telah memahami sudut pandang Anda. Temuilah teman-teman baru yang telah sejalan dengan bergabung dalam suatu kelompok pendukung.
Dari uraian di atas, semoga dapat diterima bahwa memberikan stigma kepada siapa pun yang berbeda dari kita bukanlah perbuatan terpuji yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Lebih baik kita saling menghargai sebagai sesama manusia. Salam damai.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2016, di halaman 11 dengan judul "Psikologi: Seputar Stigma".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar