Menunda pembahasan revisi UU KPK tidaklah menimbulkan kegentingan apa pun. KPK masih tetap bisa bekerja dengan UU yang ada sekarang ini. Penangkapan tersangka korupsi masih bisa dilakukan. Komitmen itu sudah dinyatakan Ketua KPK Agus Rahardjo.
Rapat Paripurna DPR kemarin tidak jadi mengambil keputusan soal revisi UU KPK untuk menjadi hak inisiatif DPR. Kita hargai kesepakatan pemerintah dan DPR yang mau mendengar aspirasi publik. Publik bereaksi keras atas prakarsa anggota DPR yang merancang revisi UU KPK.
Dalam draf revisi UU KPK tertanggal 10 Februari 2016 nyata-nyata revisi UU KPK itu telah melemahkan KPK. Bisa dimengerti jika Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan akan mundur jika draf revisi UU KPK dibahas dan disahkan. Jika draf itu disahkan dengan substansi yang ada, hal itu akan menempatkan KPK dalam kontrol kekuasaan. KPK akan kehilangan independensinya.
Kegaduhan publik soal draf revisi UU KPK tidak bisa dilepaskan dari banyaknya kepentingan yang menunggangi revisi UU KPK. Keinginan Presiden Joko Widodo memperkuat KPK dengan merevisi UU KPK dibaca publik sebagai pelemahan KPK. Dukungan publik terhadap KPK bukanlah dukungan buta yang menempatkan KPK sebagai lembaga yang tidak pernah salah. Publik mengakui bahwa pimpinan KPK dan karyawan KPK adalah manusia biasa yang bisa salah. Namun, kelemahan KPK itu tidak harus diamputasi dengan merevisi UU KPK. Komite Etik harus terus diberdayakan untuk mengawasi kemungkinan penyimpangan yang dilakukan pimpinan atau karyawan KPK, termasuk kelambatan penanganan perkara di KPK.
Proses konsultasi publik dalam revisi UU KPK jarang dilakukan. Memang ada ahli hukum yang diundang untuk membahas revisi UU KPK. Namun, mereka yang diundang adalah pihak yang selama ini mendukung revisi UU KPK. Kita berharap—jika niat merevisi masih tetap hidup– konsultasi publik perlu dibuka seluas mungkin. Kelompok kritis masyarakat perlu dilibatkan agar publik tahu secara persis apa yang mau diubah dan bagaimana pasal setelah perubahan. Saatnya naskah akademis dibuka ke publik agar publik bisa membaca semangat kebatinan dari revisi tersebut.
Kita juga memandang kurang tepat jika penundaan pembahasan RUU KPK itu berdampak pada tersendatnya pembahasan RUU Amnesti Pajak. Upaya menjadikan kedua UU itu sebagai sandera menunjukkan betapa politik kita lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Apresiasi DPR-Pemerintah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar