Pada tataran lain, di luar ranah politik, yang terjadi justru adalah diskusi sangat sehat. Mengapa? Publik disajikan bukan hanya soal dukungan asal-asalan, melainkan mereka juga disuguhkan diskusi dengan argumen yang memadai. Hal ini tecermin dari pro-kontra isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender) yang muncul belakangan ini. Yang pro dan anti isu ini ada yang menyajikan data dan gugusan argumen yang runut dan dapat dipertanggungjawabkan.
Manakala kontestasi seperti di atas berlangsung terus-menerus dengan mengelola kewarasan nalar kita, kepandiran publik yang sering diukur hanya dengan like di Facebook, misalnya, tak perlu dirisaukan. Sama seperti omongan Donald Trump dan dukungan kaum konservatif di belakangnya, Amerika tak akan ceroboh mengikuti tren politik yang primitif ini. Demikian halnya kita, Indonesia, tak akan kita biarkan bangkrut gara-gara sebagian kecil yang berisik yang selalu memerintahkan perbaikan moralitas tanpa mau introspeksi diri.
Karena itu, pesimisme adalah pilihan paling terakhir dari pikiran kita. Atas perbedaan pendapat yang terjadi, justru kita menemukan diri semakin bijak. Tak ada pro-kontra yang benar-benar hitam-putih. Seperti dalam persoalan homoseksualitas belakangan ini. Pada kelompok Islam yang seperti kehilangan kelenturannya, ada nada semacam negosiasi publik yang diharapkan sehat, dan meminimalisasi intimidasi serta diskriminasi sosial; penyakit yang sangat tidak ideal dari keindonesiaan kita.
Umat Muslim harus sadar bahwa homoseksualitas merupakan invensi Barat. Sebelum modernitas Barat, Islam tidak mengenal politik dan konsep homoseksualitas yang kaku. Sosiolog Jerman, Georg Klauda, dalam bukunya,Die Vertreibung aus dem Serail: Europa und die Heteronormalisierung der islamischen Welt (2008), membantah Islam yang keras atas fenomena homoseksualitas. Ia bersikukuh bahwa penyokong fundamentalisme yang membuat opini publik bahwa homofobia dan persekusi atas homoseksualitas dibenarkan kebudayaan Islam merupakan cerita yang salah tentang peradaban Islam. Justru kolonialisme Baratlah, menurut dia, yang menularkan gejala homofobia-sebagaimana fasisme modern-ke dunia Muslim.
Mereka yang menutup mata pada jenis penelitian akademis ini tidak masalah selagi mereka masih mengukur permasalahan sosial kita melalui kacamata kewarganegaraan dan kemanusiaan. Kadang kala ada kegelisahan psikologis yang menghantui para orangtua (dan mereka bukanlah kaum beragama yang ekstrem) yang enggan generasi penerusnya diteror oleh homoseksualitas yang dianggap sebagai penyakit sosial. Di balik kegelisahan itu, mereka tetap menyajikan pilihan-pilihan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengelola perbedaan
Langgam keberagaman pendapat seperti ini, dengan meminimalisasi potensi kekerasan dan intimidasi, yang memungkinkan fungsi kehidupan demokratis berjalan dengan baik. Filsuf Jerman-Brasil, Carlos Fraenkel, dalam salah satu esainya tentang Indonesia di buku Teaching Plato in Palestine: Philosophy in a Divided World (2015), menyebut "kebudayaan untuk berdiskusi/ debat" sebagai keharusan agar demokrasi deliberatif berjalan. Di sini, soal perbedaan adalah sesuatu yang harus dikelola bersama.
Bahkan, Carlos menulis bahwa demokrasi di Barat pun tak berlandaskan pada deliberasi filosofis yang memadai. Baginya, deliberasi Barat itu teori belaka. Pengandaiannya tentang Indonesia menarik: "Jika Indonesia ingin meraih ini (demokrasi dengan deliberasi filosofis di ruang publik), ia mungkin akan menjadi unggul secara signifikan lebih daripada kehidupan demokrasi di Barat" (hal 33).
Namun, tidak serta merta adanya diskusi publik yang semakin sehat itu sudah menjamin eksistensi demokrasi. Justru ia membutuhkan penguatan. Mungkin terinspirasi dari pengalaman Perancis dan Brasil, Carlos mengatakan, "Jika saya Mendikbud di Indonesia, saya akan mewajibkan kelas pengantar filsafat untuk tingkat sekolah menengah umum dan universitas" (hal 32). Alur berpikir pengkaji filsafat Islam klasik dan Barat ini mengikuti Plato dalam Politeia: tanpa memahami kemaslahatan umum (common good), seseorang tak akan mampu mewujudkannya.
Optimisme Carlos tentang "kemaslahatan publik" itu beralasan. Ia mengandaikan Islam di Indonesia untuk menggali kembali tradisi intelektual Islam yang sangat kaya, khususnya kemampuan untuk mengembangkan falsafah atau seperti dalam Pancasila hikmah-kebijaksanaan. Ditambah lagi, Indonesia berkomitmen sejak lama untuk berdemokrasi, pluralisme budaya yang luar biasa, dan landasan kehidupan berbangsa yang modern. Kemampuan untuk mengelola ketegangan dan kontestasi publik yang sehat itulah yang justru menumbuhkan cara berpikir yang kreatif, bukan kejumudan.
Harapan dunia internasional atas masa depan Indonesia tidaklah main-main. Demokrasi dengan budaya Muslim yang maju sangat diharapkan tumbuh pesat. Isu-isu semacam LGBT, hak asasi manusia, sektarianisme (Sunni- Syiah, misalnya), dan seterusnya tak selalu harus dihadapi kaum Muslim dengan prasangka atau ketakutan yang besar-besaran. Sebaiknya, di samping tetap memperkaya diskusi kita yang sudah cukup kaya, kita mempersiapkan diri meracik kembali senyawa kehidupan politik melalui pemikiran kreatif.
Menolak homoseksualitas melalui fobia, misalnya, malah akan memaksa langkah kita mundur. Solusi yang sama-sama melindungi hak warga negara, setidaknya melalui pranata kemasyarakatan dan negara, perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.
ZACKY KHAIRUL UMAM
Kandidat Doktor Sejarah Intelektual Islam di Freie Universitaet Berlin; Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Jerman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Senyawa Islam dan Demokrasi Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar