Perhatian dunia pada pilpres di Amerika Serikat besar sekali karena siapa pun yang terpilih akan berpengaruh bukan hanya terhadap masa depan negara itu, melainkan juga wilayah-wilayah dunia lain. Pilpres kali ini menampilkan agenda dan kebijakan para capres yang bertolak belakang satu sama lain. Hillary Clinton pada posisi melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya, Barack Obama. Sementara Donald Trump menjanjikan perombakan total. Kampanye kedua kandidat saling membongkar keburukan satu sama lain dengan berbagai skandal yang menjatuhkan kredibilitas pribadi mereka sehingga siapa pun yang menang merupakan figur yang cacat di mata publik. Seorang penulis menyebut proses pilpres di AS kali ini sebagai democracy disrupts itself.
Kampanye Trump penuh nuansa rasial dan etnis, dan ia sangat didukung warga kulit putih. Trump berjanji membatasi masuknya imigran, antara lain dengan membuat tembok di perbatasan Meksiko, serta memperketat masuknya pendatang beragama Islam yang dicurigai sebagai sumber teroris. Untuk menggerakkan ekonomi, Trump akan memangkas pajak, terutama pajak progresif, terhadap pembayar pajak besar. Trump akan meninjau kembali semua perjanjian perdagangan, tidak akan masuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), menarik modal AS di luar negeri, dan mengenakan penalti kepada perusahaan AS yang memberi pekerjaan kepada bangsa lain. Semangatnya adalah kembali ke proteksionisme dengan slogan America first. Trump tak percaya perubahan iklim (climate change), disebutnya akal-akalan Tiongkok untuk membuat produk AS bertambah mahal dan tak mampu bersaing. Tiongkok disebutnya manipulator mata uang.
Inti kampanye Trump adalah sistem pemerintahan AS sudah bobrok (broken) dan hanya bisa diperbaiki oleh orang yang tak pernah terlibat di dalamnya. Trump menyebut dirinya orang luar itu, berjuang untuk rakyat tertinggal, yang kehilangan pekerjaan dan dirugikan kebijakan pemerintah pusat (Washington DC). Tema- tema di atas membawanya pada kemenangan, meski bagaimana pelaksanaannya setelah menang, masih tanda tanya.
Kalau kita melihat perkembangan akhir-akhir ini, gerakan populis dan anti kemapananseperti itu telah menjalar ke mana-mana. Ada pengamat menamakan gejala ini sebagai great reaction.
Brexit dan Duterte
Fenomena itu sudah muncul sebelumnya di Inggris dengan Brexit. Berbagai sebab membuat mayoritas orang Inggris ingin keluar dari Uni Eropa; defisit demokrasi di Brussels (ibu kota UE) atau lemahnya ekonomi sebagian negara di zona euro.Namun, isu yang utama adalah arus pendatang dari negara-negara UE yang menjadi pesaing dalam lapangan kerja, serta masuknya gelombang besar imigran Islam melalui pintu negara Eropa lain akibat konflik di Timur Tengah.
Gejala great reaction bukan hanya di Inggris dan AS, melainkan juga menjalar di negara Eropa lain. Di Italia, Austria, dan Jerman, partai yang menyerukan semboyan populis kian kuat dapat dukungan. Di Perancis, pemimpin partai populis haluan kanan menguasai pollingopini publik menghadapi pilpres Mei 2017. Di negara Balkan, seperti Kroasia dan Bosnia-Herzegovina, partai populis telah mengambil kekuasaan, demikian pula di Bulgaria.
Di wilayah kita sendiri, di Filipina telah tampil sebagai Presiden RodrigoDuterte.Duterte dapat sorotan internasional karena sikapnya terhadap AS di luar garis kebiasaan. Hubungan kedua negara terganggu karena kritik AS terhadap kebijakan Duterte memerangi narkoba di luar jalur hukum (extrajudicial killing) yang dianggap Duterte campur tangan urusan dalam negeri. Duterte menyatakan berpisah dengan AS; meski bukan berarti pemutusan hubungan, tetapi kebijakan luar negeri Filipina tak akan lagi terikat dengan Washington DC. Duterte membatalkan latihan militer bersama AS-Filipina dan mempertimbangkan mengakhiri perjanjian pertahanan kedua negara. Ia juga mengesampingkan sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok dan mengisyaratkan mencari penyelesaian damai.
Duterte sebelumnya Wali Kota Davao, ibu kota Provinsi Mindanao, wilayah yang politik dan demografinya sangat pelik dan penuh konflik. Sejak muda, Duterte, yang neneknya dari Mindanao dan beragama Islam, punya pandangan yang kental anti AS serta sistem politik yang dikuasai kelompok bisnis dan dinasti politik di Manila. Sistem ini dijanjikan Duterte untuk dirobohkan.Duterte mengingatkan kita pada Bung Karno. Bung Karno mencanangkan go to hell with your aid terhadap AS dan menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Romantisisme yang sama tatkala Duterte menyatakan three of us against the world— China, Philippines, and Russia.
Refleksi bagi kita
Perkembangan di atas patut jadi refleksi bagi kita. Pertama, pilpres 2016 di AS menunjukkan wajah buruk proses demokrasi yang menampilkan orang-orang bermasalah menjadi calon pemimpin. Di kita pun telah berkembang persepsi hasil pemilu legislatif dan pilkada tak menghasilkan pemimpin mumpuni. Proses perekrutan yang tertutup, dikuasai mereka yang memiliki modal atau didukung oleh yang memiliki modal, menghasilkan politisi yang jauh di bawah standar, baik moral, kapasitas, maupun kompetensinya.
Kekecewaan terhadap demokrasi yang kita adopsi dengan reformasi itu telah menimbulkan keinginan untuk kembali ke UUD 1945 asli. Namun, untuk itu perlu ada konsensus nasional yang baru, yang tidak mudah dapat terbentuk. Saya jadi teringat akan ucapan Winston Churchill,democracy is the worst system devised by wit of man, except for all the others.
Maka, menurut pendapat saya, yang penting harus kita lakukan adalah memperbaiki cara kita berdemokrasi, menghilangkan "hambatan masuk" agar rakyat dapat memilih putra-putri terbaik untuk menjadi pemimpin. Namun, perbaikannya harus dimulai dari ujung tombak demokrasi itu sendiri, yaitu partai politik.
Emansipasi teknologi
Kalau kondisi ini terus berlarut, bisa saja sentimen anti demokrasi seperti yang sekarang sedang kita terapkan makin meluas. Suasana anti kemapanan (baca: elite yang berkuasa) makin menguat, mendorong berkembangnya gerakan populis. Sesungguhnya, menurut pandangan saya, gerakan populis telah terjadi tatkala seorang wali kota dari kota yang relatif kecil, Solo, dalam waktu yang singkat menjadi presiden. Kurang lebih seperti Duterte. Memang Joko Widodo melewati tahap Gubernur DKI, tetapi itu sebagai transit untuk menjadikan figur lokal menjadi figur nasional.
Dapatkah proses serupa itu terjadi lagi? Menurut hemat saya bisa saja kalau ada figur dan tema yang tepat.Pasalnya telah berkembang norma politik baru bahwa upaya memengaruhi atau memperoleh dukungan konstituen sudah bergeser dari dimensi fisik ke media elektronik dan media sosial. Hal ini sejalan dengan emansipasi teknologi di masyarakat dan makin lekatnya kelas menengah dengan telepon pintar sebagai sumber informasi dan pernyataan sikap. Sekarang lebih mudah untuk mengumpulkan dan membangun opini massa serta mengembangkan isu; seperti big bangdari kosong atau hanya setitik sekejap meledak memenuhi ruang.
Terhimpunnya dalam waktu singkat sekitar 500.000 orang dalam demonstrasi 4 November 2016 menunjukkan fenomena itu. Saya tak ingin terseret isi polemiknya. Saya hanya ingin coba membaca gelagat yang sedang terjadi.
Demo atas dasar platform agama sering terjadi, tetapi tidak pernah sebesar ini. Banyak spekulasi: sebagai revival umat Islam, anti sekularisme (sering dibaca anti NKRI), ingin menjadikan Indonesia negara Islam, dipengaruhi konflik di Timur Tengah dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)-nya. Saya tidak sependapat dengan sudut pandang ini. Saya yakin tak ada ancaman terhadap NKRI apalagi Pancasila, dan kita tak boleh terperangkap isu itu. Upaya mengubah dasar negara sudah berkali-kali dilakukan sepanjang sejarah kita, baik dengan cara konstitusional maupun kekerasan, tak ada yang bisa berhasil. Tidak ada alasan kenapa sekarang, dalam keadaan bangsa kita lebih maju dan lebih "kosmopolitan", usaha ini akan berhasil.
Pasca demo 4 November merebak berbagai teori konspirasi sampai pada makar menggulingkan Presiden Jokowi. Kita memang harus waspada, jangan lengah, tetapi jangan merespons ke arah yang keliru. Sejarah kontemporer kita menunjukkan bahwa perubahan rezim di Indonesia, baik pada 1966 maupun 1998, seperti juga di banyak wilayah dunia lain, tak terjadi hanya karena isu politik. Isu politik bisa saja menjadi sekamnya, tetapi api yang memicunya adalah masalah ekonomi.
Potret kondisi sosial-ekonomi
Maka, marilah kita melihatnya dari sisi lain. Apakah di bawah permukaan demo besar ini ada isu-isu sosial atau ekonomi yang laten dan tidak terungkap? Apakah tidak mencerminkan juga rasa frustrasi masyarakat Indonesia, dalam hal ini yang diwakili masyarakat beragama Islam yang memang mayoritas? Saya coba membacanya sebagai ungkapan kerisauan, yang memudahkan orang bersimpati terhadap gerakan populis dan anti kemapanan atau disebut di atasgreat reaction.
Ketimpangan yang melebar, globalisasi yang menguatkan penguasaan ekonomi oleh segelintir kelompok bisnis, kesempitan lapangan pekerjaan, penurunan kemiskinan yang melambat, masuknya pekerja asing, produksi dalam negeri yang terdesak oleh impor, utang yang terus membubung, keseimbangan fiskal yang rentan adalah sekadar potret dari kondisi sosial- ekonomi yang banyak dikeluhkan masyarakat dari tingkat bawah sampai atas. Rasanya iniyang harus menjadi perhatian pemangku kepentingan politik di negara kita.
Tentu masalah-masalah itu tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang baru berjalan dua tahun, banyak masalah yang diwariskan oleh masa lalu. Namun, harapan dan frustrasi tak bisa dilemparkan ke masa lalu. Pemerintah sekarang yang harus memikul bebannya. Apalagi dalam kampanye pilpres Jokowi-Kalla yang saya ikuti, sebagai sukarelawan karena partai saya mendukung pasangan lawannya, banyak janji yang tidak begitu saja hilang dari ingatan orang. Untuk itu, kita perlu memberi kesempatan kepada pemerintah agar dapat bekerja dengan tenang dan fokus.
GINANDJAR KARTASASMITA
GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar