Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Kunjungan Paus Fransiskus ke Mesir memiliki arti sangat pen- ting dalam usaha membangun persaudaraan antara umat Kristiani dan Muslim.
Sejak masih di Vatikan, pemimpin umat Katolik sedunia itu sudah menegaskan bahwa kedatangannya ke Kairo sebagai "saudara", "utusan perdamaian", dan sebagai "peziarah" yang mengunjungi negeri yang lebih dari dua ribu tahun silam "memberikan perlindungan" dan menerima "dengan penuh keramahan" Keluarga Kudus yang dikejar-kejar seorang tiran, Raja Herodes.
Kunjungan Paus itu berlangsung di bulan yang sama dengan serangan bom bunuh diri terhadap dua Gereja Koptik di Tanta dan Alexandria, Minggu Palma lalu. Serangan bom bunuh diri itu menewaskan 47 orang dan melukai lusinan orang lainnya. Desember 2016, terjadi serangan bom di dekat Gereja Petrus dan Paulus di Kairo, yang menewaskan 24 orang dan melukai 45 orang.
Keamanan Mesir, memang, menjadi masalah besar sejak disingkirkannya Presiden Muhammad Mursi, 2013. Aksi teror dan serangan teroris terjadi berulang kali di banyak tempat. Mesir, setelah Revolusi Musim Semi, justru memasuki babak konflik berbau sektarian.
Meskipun terjadi pula konflik sosial karena lebarnya jurang kaya dan miskin, konflik militer dan sipil, konflik daerah perkotaan dan pedesaan, konflik bernada sektarian itu begitu mencolok. Hal itu terjadi juga antara lain karena imbas dari konflik yang terjadi di Suriah dan Irak; juga karena semakin meningkatnya gerakan kelompok radikal, kelompok garis keras, kelompok fundamentalis yang terjadi di kawasan Timur Tengah.
Karena itu, ajakan Paus di Kairo agar umat Kristiani dan Muslim bergandeng tangan, bahu-membahu, merapatkan barisan, meningkatkan kerja sama untuk bersama-sama menghadapi dan melawan kekerasan, terorisme, radikalisme untuk membangun dunia yang lebih damai sangatlah penting. Paus mengingatkan bahwa seluruh "anak-anak Abraham" untuk membangun rekonsiliasi dan persaudaraan. Untuk itu, dialog antar-iman, dialog antar-agama harus terus dilakukan, ditingkatkan.
Diharapkan bahwa kunjungan Paus ke Mesir dalam rangka menanggapi undangan Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, dan juga bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmad el-Tayeb, akan menggemakan semangat persaudaraan dan perdamaian, bukan hanya di Mesir, melainkan juga di seluruh kawasan Timur Tengah. Terciptanya perdamaian dan persaudaraan antar-"anak-anak Abraham" di Timur Tengah akan memberikan pengaruh positif bagi kawasan dunia lainnya, termasuk Indonesia yang sekarang ini semangat persaudaraannya mulai terusik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Paus: Kita Ini Bersaudara".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Kendati fondasi ekonomi domestik kuat, Indonesia diingatkan oleh Dana Moneter Internasional untuk mewaspadai tantangan dan risiko global.
Tantangan dan risiko global dimaksud terkait pertumbuhan ekonomi global yang berpotensi lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya akibat konsolidasi ekonomi negara-negara besar yang tak sesuai harapan (Kompas, 28/4).
Kita melihat, meski situasi global relatif kondusif dan momentum pemulihan ekonomi dunia menunjukkan penguatan, ekonomi global masih dihadapkan pada ketidakpastian. Arah kebijakan AS serta perlambatan ekonomi China masih menjadi faktor dominan penyumbang ketidakpastian, selain faktor seperti kondisi geopolitik global.
Dalam kesempatan terpisah, Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebagai ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga mengingatkan risiko eksternal dan internal yang menghadang perekonomian Indonesia saat ini. Risiko eksternal dikaitkan dengan kebijakan perdagangan AS yang cenderung proteksionis dan kebijakan pajak AS yang berdampak pada iklim investasi global. Faktor geopolitik terkait ketegangan dengan Korea Utara juga perlu diwaspadai.
Dari sisi internal, risiko bersumber dari tekanan meningkatnya kredit bermasalah sektor perbankan/lembaga keuangan nonbank, arus investasi asing, tekanan inflasi yang bersumber dari harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered prices), serta risiko fiskal.
Kehati-hatian jadi pesan penting di sini, mengingat secara umum perekonomian domestik sendiri masih menunjukkan sinyal mixed. Neraca perdagangan relatif sehat dengan kecenderungan surplus di tengah membaiknya ekspor komoditas. Inflasi juga terkendali, rupiah relatif stabil.
Di sisi lain, meski reformasi struktural fiskal sejauh ini sukses berperan penting menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah melambatnya ekonomi global, risiko fiskal tetap menjadi tantangan pemerintah ke depan. Terutama masih rendahnya penerimaan pajak, berakhirnya program amnesti, dan tingginya kebutuhan pembiayaan pembangunan, khususnya infrastruktur.
Jangan sampai ambisi ekonomi yang terlalu ekspansif memunculkan tekanan baru pada fiskal, khususnya utang.
Permintaan domestik juga belum sepenuhnya pulih. Konsolidasi perbankan dan korporasi relatif juga berjalan lambat. Di sektor riil, selain membaiknya ekspor, meningkatnya jumlah pelaku usaha adalah sinyal positif.
Di tengah situasi global dan domestik seperti ini, memperkuat orkestrasi kebijakan dan sinergi semua pihak, termasuk fiskal dan moneter/keuangan oleh pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan, dalam rangka menjaga stabilitas, daya tahan, dan momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi penting. Memperbaiki iklim investasi dan kualitas pertumbuhan juga masih jadi tantangan besar pemerintah. Kuncinya, reformasi struktural.
Semua ini juga perlu ditopang oleh situasi kondusif dari sisi politik, hukum, keamanan, dan sosial.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Risiko Ekonomi Global".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Dalam empat dekade terakhir terjadi penurunan anggota serikat buruh di seluruh dunia. Pengecualian hanya terjadi di beberapa negara; Spanyol, Irlandia, Luksemburg, Cile, Meksiko, dan China. Di negara ini jumlah anggota serikat buruh meningkat dibandingkan dengan dekade sebelumnya.
Penurunan anggota serikat buruh (SB) otomatis menurunkan kekuatan gerakan buruh itu sendiri, dan bagi negara-negara industri, berujung pada melebarnya ketimpangan ekonomi. Fenomena penurunan anggota SB (de-unionization) secara umum memiliki penyebab yang sama walaupun berbeda dalam hal urutan penyebabnya. Penurunan anggota SB Indonesia menjadi unik karena menurun sebelum memasuki puncaknya. Penurunan juga bukan akibat relokasi industri atau akibat lahirnya UU yang membatasi SB, tetapi ditengarai akibat menurunnya citra SB di mata buruh dan publik.
Di AS, penyebab utama kemunduran SB adalah relokasi besar-besaran industri sektor manufaktur ke negara-negara Selatan untuk alasan biaya produksi yang lebih murah dan peralihan fokus bisnis ke sektor jasa. Penyebab lain, komputerisasi dan robotisasi yang menggantikan tenaga kerja manusia. Selain itu, lahirnya UU yang mempersulit SB merekrut anggota baru. Terakhir, menurunnya reputasi SB di mata publik karena dianggap tidak efisien, terkuaknya skandal pemimpin buruh, kedekatan politik ke "Partai Demokrat".
Sementara itu, di Eropa Barat, gerakan buruh juga menurun secara bervariasi, tetapi tak seburuk seperti di AS. Apabila di AS jumlah pekerja yang berserikat hanya 13 persen, di Eropa Barat masih berkisar 20-35 persen. Bahkan, di wilayah negara Skandinavia masih di atas 65 persen. Di kawasan ini penurunan anggota SB terutama disebabkan oleh faktor relokasi industri dan komputerisasi.
Di Indonesia penurunan keanggotaan SB terjadi sebelum memasuki masa puncak kejayaannya. Pada awal reformasi tingkat partisipasi buruh bergabung ke SB sempat mencapai delapan juta orang. Sesuai data Kemenaker tahun 2010, keanggotaan SB menurun menjadi 3,5 juta, dan pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2015 menjadi 2,7 juta orang. Sekalipun ada beberapa gugatan SB atas metodologi verifikasi yang dilakukan Kemenaker, fakta atas menurunnya keanggotaan SB telah mencengangkan banyak pengamat gerakan buruh. Mengapa di tengah atmosfer demokrasi dan keterbukaan yang meningkat, anggota SB justru menurun?
Perlunya menjaga reputasi
Apakah gerakan buruh Indonesia bagian dari masalah atau bagian dari solusi? Inilah pertanyaan yang perlu direnungkan gerakan buruh Indonesia dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei tahun ini. Sebelum semuanya menjadi terlambat, gerakan buruh perlu melakukan reposisi. Sebab, sehebat apa pun demo buruh yang pernah digelar, dan seberapa banyak pejuang buruh martir yang siap berkorban, pada akhirnya parameter utama mengukur kehebatan sebuah SB adalah berapa banyak buruh yang bergabung dalam anggota SB.
Penulis tidak memungkiri dampak UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 terhadap penurunan keanggotaan SB Indonesia, tetapi saya berkesimpulan, faktor UU itu tak terlalu kuat. Sebab, pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2010, dengan UU yang sama, jumlah anggota SB jauh lebih besar. Banyaknya penolakan SB atas rencana revisi UU No 13/2003 juga menandakan bahwa UU tersebut tak menjadi masalah bagi SB. Mungkin ada yang menjadikan tindakan pemberangusan SB (union busting) sebagai faktor penghambat gerakan buruh, tapi alasan ini kurang kuat karena kebebasan berserikat di Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kekerasan dan pembunuhan yang dialami pemimpin buruh di Filipina, Kamboja, Kolombia, Belarus, dan negara lainnya.
Jadi, kalau bukan karena masalah UU atau karena faktor relokasi industri, apakah faktor utama yang menurunkan keanggotaan SB Indonesia? Premis awal penulis adalah gerakan buruh Indonesia sedang mengalami penurunan reputasi di mata buruh dan masyarakat secara umum. Muncul persepsi negatif publik atas arah gerakan dan motif aksi gerakan buruh.
Ada sejumlah alasan atas munculnya persepsi negatif ini. Pertama, SB banyak menghabiskan energi untuk menyuarakan keberpihakan politik yang tak selalu sinkron dengan aspirasi buruh. Ditambah lagi adanya perbedaan haluan politik masing-masing SB, akibat fragmentasi gerakan buruh, membuat buruh dan publik bingung memahami motif sebenarnya di balik aksi itu. Kedua, banyak pihak menganggap SB menjadi kurang relevan karena tak efisien. Misalnya, lebih sering menuntut ketimbang mencari opsi dan solusi untuk kemenangan bersama. Pekerja kelas menengah umumnya tak nyaman menjadi anggota SB yang sering menggelar demo.
Dulu, taktik konvensional gerakan buruh di negara maju memang harus kelihatan garang dan militan. Itu sebabnya SB selalu ditempatkan dalam kelompok "kiri". Pola itu juga sekaligus strategi untuk menarik simpati buruh untuk mendapat anggota baru. Namun, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan menguatnya peran perusahaan multinasional, strategi perjuangan berubah serius, dengan diperkenalkannya konsep social-dialogue. Berunding mencari solusi bersama, meminimalisasi korban, menurunkan biaya demo, mencegah relokasi. Demo tetap terjadi secara periodik, tetapi umumnya untuk isu nasional, manifestasi publik. Pelanggaran atas hukum ketenagakerjaan menurun dengan terus membaiknya dialog sosial di tingkat pabrik.
Beradaptasi secara baru
Gerakan buruh harus beradaptasi terhadap tempat kerja abad ke-21. Artinya, harus mengganti taktik perjuangan lama dengan model umum (one-size-fits-all). Perundingan bersama dengan fokus pada penciptaan nilai tambah bagi pekerja dan pengusaha. Apabila buruh kehilangan kerja akibat perjuangan militan, kesenjangan pendapatan memburuk, pengangguran tinggi, pekerjaan langka, serikat buruh menjadi tidak relevan. Karena seperti apa kata ekonom Joseph Stiglitz: "SB yang kuat akan menolong penurunan ketimpangan. SB lemah akan memudahkan pengusaha membuat aturan yang merugikan buruh." Jangan pernah berpikir bahwa korporasi akan tiba-tiba menjadi simpatik ke buruh dan rela mengurangi keuntungannya kecuali ada tekanan SB.
Selanjutnya, Stiglitz mengatakan, masalah melemahnya SB sesungguhnya akan menjadi masalah semuanya. Ketiadaan SB yang kuat akan meningkatkan pemusatan kekayaan ke beberapa orang, meningkatkan dominasi korporasi terhadap buruh dan pemerintah. Jadi, SB yang kuat dengan kombinasi dialog sosial bukan hanya baik untuk kepentingan buruh, melainkan juga ekonomi secara umum. Upah layak menaikkan daya beli, mendorong konsumsi, menghidupkan bisnis, dan mengurangi ketimpangan.
Perjuangan SB tak hanya menaikkan upah dan menaikkan perlindungan sosial, tetapi juga menjaga anggotanya tetap bekerja. Strategi SB Inggris, Unison, salah satu contoh bagaimana beroperasi pasar kerja abad ke-21. Unison mengizinkan buruh mendaftar via online, menciptakan aplikasi internet yang menarik untuk pekerja muda. Mereka juga memberikan konsultasi hukum gratis ke calon anggota potensial ketimbang menarik simpati lewat demo. Merekrut anggota menggunakan tenaga khusus perekrutan, menggunakan iklan media cetak, televisi.
Dengan menurunnya keanggotaan SB, menurun pula kemampuan finansial SB. Strategi penting yang harus dimulai perlu beradaptasi dengan pasar kerja modern saat ini. Apalagi dengan cepatnya pergeseran industri Indonesia ke sektor jasa (deindustrialisasi), di mana keberadaan SB secara tradisional sangat lemah di sektor jasa ini. Masa depan keanggotaan SB nantinya akan didominasi pekerja kontrak, perempuan, pekerja muda, pekerja paruh waktu, pekerja mandiri, yang kesemuanya memiliki minat lemah bergabung ke SB.
Perlu memulai cara perekrutan anggota baru, misalnya dengan menawarkan pelatihan kerja dengan bekerja sama dengan pemerintah lokal atau pengusaha; menyediakan sarana konsultasi untuk korban pemutusan hubungan kerja (PHK); jejaring info kerja; dan sebagainya. Jadi, penting segera memperbaiki reputasi karena tidak ada institusi yang bisa bertumbuh tanpa dukungan lingkungan eksternalnya. Menuju ke arah sana, SB seharusnya fokus dulu ke buruh. Meminjam istilah Antonio Gramsci, membangun relasi erat dengan "historic bloc". Itulah kunci untuk tetap relevan di mata buruh dan publik. Selamat Hari Buruh!
REKSON SILABAN, ANALIS INDONESIA LABOR INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Reputasi Gerakan Buruh".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Harapan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi agar semua desa di Indonesia memiliki badan usaha milik desa belum terealisasi.
Dari 74.250 desa di Indonesia, sampai akhir 2016 hanya sekitar 29 persen yang telah merintis berdirinya badan usaha milik desa (BUMDes). Dan, dari 29 persen desa yang telah merintis pembentukan BUMDes, hanya 39 persen yang BUMDes-nya aktif dalam kegiatan ekonomi produktif. Mayoritas masih BUMDes normatif, sekadar memiliki legalitas AD/ART dan baru terbatas ditopang alokasi penyertaan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang jumlahnya pun tidak signifikan.
Lambatnya progres pembentukan BUMDes disebabkan berbagai faktor, di antaranya kepala desa—representasi pemerintah desa—enggan mendirikan BUMDes karena dianggap jadi beban anggaran dan tidak memberikan keuntungan cepat dan praktis bagi pendapatan asli desa. Kepala desa yang pragmatis bahkan menolak merintis pendirian BUMDes karena dianggap belum cukup landasan yuridis. Mereka beralasan Permendesa tentang BUMDes kontradiksi dengan Permendagri. Sementara jajaran pemerintah desa yang konservatif juga tak serius membentuk BUMDes karena tidak dianggapsebagai bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan publik. Banyak pula desa yang gagal merintis pembentukan BUMDes karena keterbatasan SDM yang cakap dan paham hakikat fungsi ekonomi dan bisnis pedesaan.
Pembentukan BUMDes mengacu pada Permendesa No 4/2015. BUMDes didirikan dengan tujuan meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan ekonomi desa, dan meningkatkan pendapatan asli desa. Pertimbangan pembentukan BUMDes didasari oleh kemampuan potensi ekonomi desa, kapasitas sumber daya alam dan SDM di desa, dan inisiatif kreatif pemerintah desa. Sumber anggaran pembentukan BUMDes berasal dari penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola dan dikembangkan.
Sementara jenis usaha yang diberi hak dan peluang untuk dikembangkan meliputi (1) bisnis sosial sederhana yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat; (2) penyewaan barang; (3) usaha perantara yang memberikan jasa pelayanan kepada warga; (4) bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang barang-barang tertentu; (5) bisnis keuangan yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro; dan (6) usaha bersama sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat desa.
Perlu strategi jitu
Beberapa desa yang kini berhasil mengembangkan BUMDessecara profesional memiliki strategi yang tepat dan dapat dukungan para pemangku kepentingan yang bergiat di ekonomi pedesaan. BUMDes Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Klaten, misalnya, berhasil memajukan sektor pariwisata desa dengan mengelola sumber daya air dan juga aktivitas produktif di sektor pertanian dan perikanan. Pengelolaan sumber daya air, yakni Umbul Ponggok, setiap tahun menyumbang pendapatan asli desa hingga Rp 5 miliar.
Strategi pengembangan BUMDes yang berhasil adalah, pertama, ketepatan dalam memilih unit usaha ekonomi kreatif. Unit usaha ekonomi kreatif yang dikembangkan BUMDes harus berdasarkan indikator ketersediaan sumber daya alam, embrio kegiatan ekonomi berbasis komunitas, dan juga program visioner dari pengelola. Banyak desa yang memiliki basis industri/ekonomi kreatif tak berkembang karena ketidakmampuan BUMDes melakukan perubahan manajemen usaha dan penguatan dari sisi aspek promotif.
Kedua, kemampuan menginvestasikan penyertaan modalyang bersumber dari APBDes. Investasi yang sesuai program ekonomi pedesaan menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Desa yang kreatif mengembangkan BUMDes juga mampu merintis jejaring kemitraan dengan dunia usaha dan kantong ekonomi kreatif pedesaan.
Ketiga, penyelarasan program-program BUMDes dengan program pemberdayaan masyarakat desa. Program BUMDes seharusnya mendukung platform program pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat desa. Logikanya, jika pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat desa berhasil, maka akan menopang kemajuan unit usaha BUMDes.
TRISNO YULIANTO, KOORDINATOR FORUM KAJIAN DAN TRANSPARANSI ANGGARAN (FORKATA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 6 dengan judul "BUMDes dan Ekonomi Kreatif".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Akhir 2016, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)— yang melaksanakan penilaian tiga tahunan atas budaya literasi 72 negara melalui Program for International Students Assessment—melansir indeks budaya literasi siswa antarbangsa.
Indeks literasi sains dan matematika siswa Indonesia naik cukup bermakna masing-masing 21 dan 11 poin: 382 poin pada 2012 menjadi 403 tahun 2015, serta 375 tahun 2012 dan 386 pada 2015. Indeks literasi membaca hanya naik satu poin: 396 pada 2012 dan 397 pada 2015.
Bukan teks tunggal
Apa sebab penaikan indeks literasi membaca lamban ketimbang sains dan matematika; juga ketimbang kemajuan membaca siswa bangsa lain peserta uji Program for International Students Assessment (PISA)?
Pertama, teks bacaan dalam uji PISA adalah multiteks dan berbasis komputer. Sajiannya begitu canggih. Isi dan struktur teksnya dalam tampilan beragam genre wacana dengan memadukan kata, kalimat, grafik, peta, dan ragaan yang dibentuk dalam tautan lintas-teks dengan siasat rujuk silang (cross-reference).
Untuk menukik ke kedalaman makna multiteks seperti ini, sedikitnya dibutuhkan dua kecakapan penting: (1) terampil menangkap makna yang tersaji dalam paragraf; dan (2) kecepatan mengemas tautan makna antarteks, antarteks dengan grafik, antarteks dan simbol, serta relasi makna antargrafik. Yang pertama berkaitan keluasan dan kedalaman penguasaan kosa kata, yang kedua berkelindan dengan keterampilan menggerakkan pandangan dan kecekatan jari.
Dengan tetap menjaga ingatan tentang temuan makna anaforik dalam ke-"sedang"-an jelajah teks, siswa harus mempersiapkan prediksi atas kemungkinan makna kataforik yang akan dijumpai pada informasi dan teks tertaut. Artinya, pergerakan mata bukan pergerakan fisik semata, melainkan juga kekuatan ingatan pada bagian teks yang dilewati. Tentu saja, di atas dua kecakapan kinestetik ini, dipersyaratkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kedua, jika hanya terbiasa berhadapan dengan teks tunggal di sekolah, yaitu teks hanya rangkaian paragraf, siswa kita akan kesulitan luar biasa menghadapi teks ragam genre dalam kemasan multimedia. Siswa yang hanya terbiasa membaca sebagai "cara menyandikan kembali lambanglambang ortografi secara diam atau nyaring" akan "kewalahan" menghadapi teks kompleks yang disodorkan uji PISA.
Apabila siswa kita tak menjadikan membaca sebagai aktivitas harian, di sekolah ataupun di rumah, kepayahan akan menghadang saat menghadapi rumitnya struktur fisik dan kedalaman makna multiteks dalam kemasan multimedia. Apalagi jika siswa membaca hanya kalau ada tugas sekolah. Belum lagi pembelajaran di kelas yang tidak mendorong strategi membaca yang variatif dan eksploratif serta inovasi model membaca yang mengenalkan keragaman genre teks.
Kalau benar siswa yang jadi sasaran uji PISA tak terbiasa mengenali dan membaca teks kompleks, maka gagal paham atas "rimba" semantik multiteks sebenarnya bersumber dari persoalan yang sederhana tapi mendasar dalam belajar, yaitu ihwal "kebiasaan" dan "kebisaan".
Kalau saja belajar didefinsikan secara sederhana sebagai aktivitas psikokognitif siswa "membiasakan" tindakan pemerolehan pengetahuan-kecakapan-keterampilan, maka kepandaian dan kesuksesan menukik ke kedalaman teks-teks multigenre-multimedia dan menangkap spektrum maknanya hanya akan bisa dibentuk melalui "pembiasaan" mengenali dan membaca teks-teks tersebut. Jika kelas di sekolah hanya bisa dan biasa membelajarkan membaca teks-teks tunggal dan sederhana yang nir-inovasi, siswa hanya akan bisa mencapai kepandaian setingkat itu: kemampuan baca paling dasar.
Ada tiga hal penting terkait daya baca, yaitu kemampuan menukik ke kedalaman teks, ketahanan menjaga fokus, dan pemeliharaan nalar untuk terus mengikuti bangun-struktur teks, terus mengenali keragaman tipologi dan kompleksitas teks. Tiga-tiganya memberi kontribusi pada efisiensi pemanfaatan waktu uji dan keberhasilan menukik ke kedalaman teks kemudian menangkap makna bacaan.
Kalau saja benar bahwa gagal paham atas multiteks karena soal ketaksabaran, ketidakcermatan, dan dangkalnya pengalaman membaca siswa, maka upaya pengecekan terhadap sebab-sebab ketumpulan (bu-)daya literasi membaca itu harus dikembalikan ke sekolah. Terkait ini, pertanyaan penting perlu diajukan. Seberapa sering siswa menyelesaikan tugas sekolah dengan membiasakan diri membaca? Seberapa luas pengalaman mereka mengenali ragam teks, teks sederhana hingga yang kompleks? Seberapa sering guru mendorong pembiasaan membaca. Lalu, bagaimana guru memberi model membaca, mengenalkan genre dan "rimba" teks?
Ada dua cara penting untuk meningkatkan budaya literasi membaca. Tentu tak sekadar untuk kepentingan penilaian PISA, tetapi yang paling penting adalah memastikan pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar dibangun untuk membentuk daya baca. Pertama, menemu-kenali sebab-sebab terdalam mengapa siswa kurang sabar dan kurang cermat saat berhadapan dengan teks yang panjang dan dalam uji PISA. Kedua, kita merumus- ulang paradigma pembelajaran membaca, tidak banyak melalui mata pelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris), tetapi menyusun model pembelajaran membaca bagi seluruh mata pelajaran.
Semua guru mata pelajaran di sekolah dilatih model dan strategi membaca melalui model pembelajaran andragogi, dengan tiga siasat penting: (1) pencanggihan cara membaca; (2) peragaman jenis-jenis teks, dari teks tertulis—berbasis kertas (paper base)—yang sederhana hingga teks kompleks; dan (3) pengenalan teks-teks multimedia berbasis komputer—nirkertas (paperless).
Bukan sekadar PISA
Dua langkah penting untuk memastikan daya baca siswa jadi lebih baik. Pertama, merancang gerakan satu semester satu novel sebagai langkah awal pentradisian membaca. Langkah membaca teks-teks naratif adalah tahap mula dari pembiasaan membaca. Kedua, penciptaan model membaca produktif melalui peragaman teks bacaan untuk beragam jenis teks dan pengenalan teks-teks bacaan yang multimedia, buku-buku elektronik, serta pembiasaan mengenali tipologi dan kompleksitas teks-teks di media daring.
Di atas segalanya, pembiasaan menjadi bangsa pembaca bukan hanya perkara menghitung nilai pencapaian setiap akhir belajar. Pembiasaan untuk keluar dari ketidaksabaran dan ketidakcermatan dalam membaca adalah proyek kebudayaan membaca; dan proyek kebudayaan membaca tidak bisa dikerjakan secara instan, kecuali kalau kita hanya ingin meningkatkan indeks dan peringkat literasi membaca kita.
Memang, PISA adalah salah satu alat ukur seberapa jauh hasil belajar telah dicapai. Akan tetapi, jika cara-cara menumbuhkan budaya literasi membaca yang hanya untuk menaikkan peringkat, sesungguhnya kita sedang mendorong belajar bukan untuk mencapai kepandaian, melainkan belajar sekadar mendapatkan nilai rapor dan peringkat.
GUFRAN A IBRAHIM, KETUA POKJA LITERASI MEMBACA MENULIS, GERAKAN LITERASI NASIONAL, KEMDIKBUD
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 7 dengan judul "PISA dan Daya Baca Bangsa".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Minggu terakhir bulan April setiap tahun, tahun ini pada 24-30 April 2017, didedikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi Pekan Imunisasi Sedunia.
Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan permintaan imunisasi, juga memperbaiki layanan vaksinasi sehingga setiap orang di mana pun, dapat dilindungi dari penyakit yang mematikan. Apa yang perlu kita lakukan?
Pada tahun 2016, tema global adalah "Tutup Kesenjangan Imunisasi" dengan berfokus pada imunisasi untuk semua orang dalam sepanjang kehidupannya. Tema tahun 2017 adalah "Manfaat Vaksin (#Vaccines Work)". Hal ini untuk mengingatkan tentang kekuatan kerja vaksin yang masih belum dimanfaatkan sepenuhnya (the power of vaccines still not fully utilized), padahal vaksin terbukti mampu mencegah banyak kematian.
Jangkau semua orang
Rencana global atau The Global Vaccine Action Plan yang ambisius adalah menjangkau semua orang dengan vaksin pada tahun 2020. Semua pemimpin dalam bidang kesehatan ditantang untuk mewujudkan imunisasi sebagai salah satu kisah sukses terbesar dalam bidang kedokteran modern.
Tidak ada intervensi dalam bidang kesehatan preventif tunggal yang lebih hemat biaya dibandingkan imunisasi. Setiap tahun, imunisasi mampu mencegah 2-3 juta kematian anak akibat difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), dan campak. Meski demikian, saat ini masih ada 19,4 juta anak di seluruh dunia yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tetapi kurang lengkap.
Setidaknya 10 juta kematian telah dapat dicegah sepanjang tahun 2010-2015 berkat vaksinasi di seluruh dunia. Jutaan nyawa terlindungi dari penderitaan dan kecacatan karena penyakit infeksi seperti pneumonia, diare, batuk rejan, campak, dan polio.
Program imunisasi yang berhasil memungkinkan program prioritas nasional, seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi, terus bertahan. Kesuksesan tersebut dibangun berdasarkan sejarah panjang penelitian dan inovasi yang menghasilkan terobosan produk baru dan cara untuk mencapai cakupan vaksin universal.
Program imunisasi yang diperluas atauThe Expanded Programme on Immunization dibentuk saat terjadinya optimisme yang luar biasa tentang potensi kerja vaksin. Program ini dibentuk tahun 1974 saat dunia bergerak hampir mendekati pemberantasan penyakit cacar.
Eradikasi
Saat itu terjadi rasa percaya diri yang tinggi bahwa, dengan komitmen dan kerja sama internasional, penyakit lainnya yang juga dapat dicegah dengan vaksin, pasti dapat dikalahkan. Sertifikasi pemberantasan penyakit cacar yang diperoleh 1979 merupakan bukti kekuatan vaksin dalam memberantas penyakit infeksi secara permanen.
Dalam beberapa dekade sejak itu, program imunisasi tetap berjalan dan termasuk program kesehatan masyarakat yang paling berhasil. Sejak awal, program imunisasi telah dirancang untuk mencapai cakupan universal.
Pada tahun 1974, hanya 5 persen anak di dunia dilindungi dari enam penyakit penyebab kematian yang ditargetkan oleh program imunisasi tersebut. Saat ini angka cakupan imunisasi tersebut mencapai 86 persen dengan beberapa negara berkembang mencapai lebih dari 95 persen.
Di Indonesia, menurut Profil Kesehatan Indonesia 2015, cakupan imunisasi campak telah mencapai 92,3 persen. Sebaliknya capaian indikator imunisasi dasar lengkap baru 86,54 persen pada tahun 2015. Padahal, target rencana strategis adalah 91 persen pada tahun yang sama. Capaian rendah ini karena berbagai faktor: geografi, pandangan keagamaan, ketidakpercayaan kepada pihak pelaksana imunisasi, dan adanya metode tradisional yang diyakini lebih menyehatkan.
Akibatnya, masih banyak bayi di Indonesia yang belum memiliki kekebalan atau imunitas karena adanya"missing out", tinggi "drop out", dan penggunaan vaksin palsu yang sudah beroperasi 13 tahun dan baru terbongkar pada 2016.
Meski demikian, jika dilihat secara global, ada 116 juta bayi di seluruh dunia telah menerima 3 dosis vaksin DPT (Difteri-Tetanus-Pertusis) tahun 2015. Vaksinasi ini yang mampu melindungi mereka dari penyakit menular yang dapat menyebabkan penyakit berat, kecacatan, dan kematian.
Selain itu, 85 persen anak di seluruh dunia telah menerima satu dosis vaksin campak sebelum hari ulang tahun pertama melalui layanan kesehatan rutin, yang meningkat dari 73 persen di tahun 2000. Kasus polio menurun lebih dari 99 persen sejak 1988. Saat ini tinggal tiga negara yaitu Afganistan, Nigeria dan Pakistan, yang masih menjadi daerah endemik polio, turun dari lebih dari 125 negara pada 1988.
Imunisasi atau vaksinasi mampu mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, termasuk kanker serviks, difteri, hepatitis B, campak, gondok, pertusis (batuk rejan), pneumonia, polio, diare rotavirus, rubella, dan tetanus.
Cakupan bertahan
Cakupan vaksinasi global umumnya bertahan stabil dan tidak menunjukkan peningkatan lagi. Selain itu, penggunaan vaksin baru dan vaksin yang kurang dimanfaatkan justru meningkat. Padahal, imunisasi saat ini terbukti mampu mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun.
Tambahan 1,5 juta kematian dapat dihindari jika cakupan vaksinasi global terus meningkat karena diperkirakan 19,4 juta bayi di seluruh dunia masih belum mendapatkan vaksinasi dasar (missing out on basic vaccines). Memperluas akses terhadap imunisasi sangat penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Mengingat efisien dan efektifnya vaksinasi terhadap kesehatan, momentum Pekan Imunisasi Sedunia kali itu juga harus dimanfaatkan untuk menyadarkan tentang potensi kerja vaksin yang luar biasa. Dalam hal ini, kerja keras sungguh diperlukan, Dalam hal ini pelibatan para tokoh agama dan pakar budaya kesehatan masyarakat menjadi kuncinya.
FX WIKAN INDRARTO
Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta; Dokter Spesialis Anak di RS Panti Rapih Yogyakarta; Alumnus S-3 Universitas Gadjah Mada
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Pekan Imunisasi 2017".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa "tiada hari tanpa olahraga". Hal ini cocok bagi masyarakat yang mengutamakan kesehatan sekaligus mencetak atlet untuk meraih prestasi. Mengingat dampaknya yang positif bagi kesehatan masyarakat, fasilitas olahraga seharusnya tersedia merata di seluruh wilayah Indonesia.
Kenyataannya, di Kabupaten Samosir yang telah berusia 13 tahun, ketersediaan fasilitas olahraga sampai saat ini masih sangat minim. Yang ada hanya lapangan sepak bola di beberapa sekolah dan kecamatan. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh faktor keterbatasan APBD.
Oleh karena itu, saya mengimbau kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mengakomodasi kebutuhan ini dengan menyediakan fasilitas olahraga di Kabupaten Samosir. Harapannya, tidak hanya masyarakat menjadi sehat, tetapi dari kabupaten kami juga lahir atlet-atlet berprestasi, baik tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai prioritas, menurut saya, perlu dipertimbangkan pembangunan stadion olahraga, kolam renang, jalur joging, dan fasilitas olahraga wisata seperti tangga seribu ke puncak Gunung Pucuk Buhit. Semoga.
JAUBAT HARIANJA
Jl Dr Hadrianus Sinaga
Pintusona, Kecamatan Pangururan, Samosir
Uang Tiket Belum Kembali
Sehubungan dengan perusahaan Batavia Air yang sudah pailit, kami mengajukan klaim pengembalian uang tiket kami. Uang tiket kami untuk lima orang dengan tujuan Jakarta-Tanjung Pandan PP pada tanggal 10 Maret 2013 sejumlah Rp 3.869.000.
Klaim kami ajukan ke kurator Batavia Air. Namun, sampai hari ini pengembalian uang tiket tersebut belum kami terima.
Kepada kurator Batavia Air, kami mohon uang tiket kami segera dikembalikan. Kepada pihak yang berwajib, termasuk OJK, mohon bantuannya untuk menyelesaikan masalah ini.
BONA SIANTURI
Jl Cempaka V, Cakung Timur, Cakung, Jakarta Timur
Asumsi Asuransi
Saya pelanggan AJB Bumiputera 1912 sejak tahun 1984. Mulai tanggal 5 April 2012, saya memegang dua polis Mitra Permata, salah satu produk dari AJB-BP 1912.
Polis tersebut jatuh tempo setelah lima tahun pada tanggal 5 April 2017 dengan nomor polis 212100824221 dan 212100824235. Saya klaim di Kantor Cabang Jakarta Kalibata, dengan Sdr Noor Salim.
Total premi yang saya setor per polis Rp 40.000.000, dengan asumsi hasil investasi riil 12 persen per tahun sehingga waktu jatuh tempo akan menerima Rp 62.732.315, sesuai tabel.
Kenyataannya, pada 12 April 2017 saya hanya menerima Rp 46.004.380. Jika dihitung-hitung, bunganya hanya 15,11 persen selama lima tahun atau 3,02 persen per tahun.
Apakah ini bukan penipuan kepada para pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912? Mohon penyelesaian dan penjelasan pihak AJB BP 1912.
DONY DARMAYANTO
Jl Paus, Pondok Jurangmangu Indah, Tangerang Selatan
Tanggapan Bukalapak
Harian Kompas tanggal 13 April 2017 memuat surat pembaca dari Bapak Apriadi Heru perihal transaksi di Bukalapak dengan judul "Barang Tak Sampai". Terkait dengan hal itu, izinkanlah kami memberikan tanggapan.
Ihwal masalah yang dikeluhkan Bapak Apriadi, kami telah mencoba menghubungi Bapak Apriadi secara langsung melalui telepon, tetapi belum berhasil. Kami ingin menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.
Kami telah mengecek, tetapi kami juga tidak menemukan bukti berupa surel (e-mail) keluar dari Bapak Apriadi untuk konfirmasi ke pelapak.
Kami khawatir Bapak Apriadi menggunakan media lain atau surel berbeda dengan surel untuk akun Bukalapak milik Bapak Apriadi. Oleh karena itu, kami sangat berharap dapat memberikan penjelasan secara langsung, minimal melalui telepon, mengenai alur sistem pengiriman barang di Bukalapak.
Bukalapak akan selalu bekerja sama dengan para pelapak dan pembeli kami demi kenyamanan mereka selama bertransaksi, baik dari segi penjual maupun konsumen yang berbelanja.
Kami percaya bahwa transparansi penting untuk memastikan kepercayaan konsumen kami di Bukalapak. Demikian surat tanggapan ini kami buat.
Kami berterima kasih kepada Kompasatas kerja samanya memuat tanggapan ini.
EVI ANDARINI
Public Relations Manager Bukalapak
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Mengingat keberagaman di Indonesia adalah berkah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri, maka menjaga dan merawat persatuan bangsa Indonesia yang beragam ini merupakan keniscayaan.
Menimbang bahwa kehidupan masyarakat yang stabil serta terwujudnya kedamaian dan kerukunan umat beragama adalah prasyarat keberlangsungan kehidupan bersama dan keberlangsungan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera dan bermartabat. Dalam pemenuhan prasayarat dimaksud, penceramah agama dan rumah ibadah memegang peranan sangat penting.
Dalam rangka menjaga persatuan dan meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan umat beragama, dan memelihara kesucian tempat ibadah, Menteri Agama menyampaikan seruan agar ceramah agama di rumah ibadah hendaknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia.
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Demikian seruan ini agar diperhatikan, dimengerti, dan diindahkan oleh para penceramah agama, pengelola rumah ibadah, dan segenap masyarakat umat beragama di Indonesia.
Jakarta, 28 April 2017
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
ttd
LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tampaknya sebuah konsensus baru telah muncul di antara para pemimpin dan elite pengambil kebijakan dunia mengenai bagaimana mengatasi serangan balik kubu anti globalisasi, sebuah isu yang dieksploitasi dengan baik oleh kalangan populis seperti Donald Trump.
Hilang sudah keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi tidak hanya menghasilkan "pemenang" (mereka yang diuntungkan globalisasi), tetapi juga "pecundang" (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa orang yang dirugikan mendapat kompensasi.
Konsensus baru ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi "dapat diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja". "Hanya dengan menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan."
Argumen ini terdengar sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan kue ekonomi negara tersebut membesar.
Oleh karena itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik dalam sudut pandang politik.
Negara kesejahteraan
Sebelum munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam perdagangan, khususnya di bidang pertanian.
Munculnya negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini, negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar, AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, "Mengabaikan kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang disengaja." Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip Mishel, "Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja, mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya." Dan hal ini bisa dilakukan "sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara dengan buruh murah".
Membalik haluan?
Dapatkah AS mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun 2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan perlunya "sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi" di AS, orang mungkin akan mengaitkan "kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi pendapatan yang substansial". Di AS, menurut mereka, hal itu berarti memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif.
Slaughter adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial.
Konsensus, terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi, setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok yang dirugikan oleh globalisasi.
Trump telah menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom disebut dengan "inkonsistensi waktu". Sebelum sebuah kebijakan baru diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang ada.
DANI RODRIK
Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard, dan Penulis "Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science"