Memasuki tahun emas, tantangan yang dihadapi ASEAN sudah tentu jauh berbeda, dan lebih berkembang, dibandingkan dengan saat organisasi ini didirikan pada 8 Agustus 1967. Saat itu, Perang Vietnam tengah mencapai puncaknya dan ada kekhawatiran bersama pada lima negara pendiri akan penyebaran komunisme.
Setelah Perang Vietnam berakhir, ASEAN berkembang seiring pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. ASEAN mulai satu suara menyikapi invasi Vietnam ke Kamboja, dan dengan dimotori Indonesia, membantu penyelesaian konflik di Kamboja. Seusai Perang Dingin, ASEAN semakin independen secara politik. Sebelum pergantian abad, Kamboja menggenapkan jumlah 10 negara di Asia Tenggara bergabung dalam perhimpunan ini.
Lima puluh tahun berlalu, kawasan Asia Timur dan Tenggara telah menjadi primadona yang memukau dunia. Negara besar, seperti China, India, Jepang, Amerika Serikat, Rusia, bahkan Uni Eropa, bersaing merebut pengaruh. ASEAN yang memiliki populasi lebih dari 600 juta dan rerata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen dalam satu dekade terakhir berada di tengah pusaran tersebut.
Tak bisa dihindari, pertentangan kepentingan pasti terjadi. Jika setengah abad lalu ideologi dan politik menentukan posisi berdiri, kini ekonomi yang berbicara. Dan, ketergantungan kepada salah satu kekuatan ekonomi tertentu bisa membuat ASEAN gagal mencapai kesepakatan, seperti yang pernah terjadi di Kamboja pada 2012.
Meski berhasil memelihara perdamaian kawasan dan tak ada lagi konflik bersenjata yang terjadi, bukan berarti tantangan ASEAN berakhir. Adu klaim di wilayah Laut China Selatan yang melibatkan empat anggota ASEAN, isu buruh migran, dan masa depan Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sejumlah isu yang perlu diselesaikan.
Tantangan-tantangan ini membutuhkan ASEAN yang bersatu dan kuat untuk menghadapinya. Dalam sengketa di Laut China Selatan, misalnya, ASEAN perlu satu suara serta punya sikap bersama untuk menjamin kebebasan maritim dan hak negara pengklaim atas wilayah kedaulatan mereka. Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbesar dan populasi terbanyak di kawasan, diharapkan bisa memperlihatkan sikap kepemimpinan yang diperlukan untuk membawa ASEAN mengatasi tantangan itu.
ASEAN juga perlu belajar dari Uni Eropa, organisasi kawasan yang 20 tahun lebih tua, tetapi justru terancam retak saat memasuki usia ke-70. Inggris telah memutuskan untuk keluar dan kelompok sayap kanan di sejumlah negara menyuarakan hal serupa. Persatuan ASEAN akan menjamin keberlangsungan perhimpunan ini untuk 50 tahun berikutnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Saatnya ASEAN Perkuat Persatuan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar