Serial televisi atau sinetron di stasiun televisi pada awalnya banyak yang berkualitas, seperti "Si Doel Anak Betawi", "Keluarga Cemara", atau "Panji Milenium", yang mampu menarik minat masyarakat karena terkait kehidupan sehari-hari.
Namun, yang sekarang "wajib" dalam setiap sinetron Indonesia adalah kekerasan, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Kita tahu, adegan kekerasan dengan mudah akan ditiru anak-anak. Misalnya, pertandingansmack down yang ditayangkan stasiun televisi beberapa waktu lalu, dengan jam tayang yang dapat diakses anak-anak. Banyak anak yang kemudian meniru adegan kekerasan dalam pertandingan tersebut.
Teman-teman saya pada masa itu juga tanpa ragu menonton dan menirukan di sekolah. Meski sekadar bercanda, kenyataannya beberapa berakhir fatal antara lain gigi patah dan gusi berdarah. Banyak orang kemudian mengirim petisi meminta tayangan dihentikan atau paling tidak diganti jam tayangnya.
Namun, seolah tidak belajar dari kekhawatiran masyarakat terhadap adegan kekerasan, adegan kekerasan tetap diselipkan dalam sejumlah sinetron. Puncaknya pada 2013, sinetronSi Biang Kerok Cilik menjadi sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai digelar acara diskusi terbatas. Menurut KPAI, dari hasil pengamatan 7 episode, ditemukan 45 adegan kekerasan fisik dan 89 kekerasan verbal.
Akhir-akhir ini, serial Roman Picisan yang diminati anak-anak dan remaja juga bermuatan sama. Contohnya pada episode 40, setidaknya ada tiga adegan kekerasan fisik, yaitu mendorong, adu mulut, dan berkelahi; satu adegan pengambilan barang dengan tujuan menyembunyikan; dan beberapa kalimat kekerasan non-verbal sebagai penyelesaian solusi dan gurauan.
Kekerasan sebagai pola penyelesaian masalah dalam sinetron tersebut bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia yang mengusung musyawarah untuk mencapai mufakat.
ADINA I IZDIHAR, JALAN JELAMBAR BARU V, JAKARTA BARAT
Membodohkan Bangsa
Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kewajiban dan komitmen setiap lembaga penyiaran di Indonesia. Namun, kenyataannya banyak lembaga penyiaran justru berlomba menyajikan program-program yang membodohkan masyarakat.
Proses seleksi terhadap program acara oleh lembaga penyiaran berubah menjadi proses pertimbangan keuntungan yang didapat. Dampak moralitas yang tersebar ke setiap lapisan masyarakat diabaikan, hanya dampak finansial yang dipikirkan.
Alhasil program-program acara yang dihasilkan di beberapa lembaga penyiaran tidak mengandung unsur edukasi, pesan moral, ataupun nilai-nilai yang positif. Jika lembaga penyiaran tidak sanggup menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, apakah lembaga penyiaran masih layak ada?
Sudah sepatutnya masyarakat Indonesia berhenti menikmati program-program yang membodohkan agar lembaga penyiaran menjadi pintar dan mau berubah.
RUTH M D INDRIANI, SAGAN KIDUL GK-V, GONDOKUSUMAN, YOGYAKARTA
Gaya Hidup Negatif
Melalui televisi, anak-anak, remaja, dan dewasa dapat belajar perilaku anti-kekerasan, empati, toleransi, dan menghormati orang lain. Namun, dengan perkembangan zaman, televisi malah memberikan konten di luar itu sehingga berpotensi memberikan dampak negatif, terutama kepada anak-anak dan remaja.
Dampak negatif, seperti berperilaku agresif dan gaya hidup konsumtif, yang banyak disiarkan televisi seperti menghasut penonton untuk terbawa ke dalamnya. Beberapa contoh adalah penayangan program sinetron dan program reality show. Yang muncul adalah mewahnya gaya hidup anak SMA di Ibu Kota. Misalnya, ke sekolah membawa mobil, berdandan menor yang tidak selayaknya remaja pada umumnya.
Hal lain adalah tidak menghargai keberadaan orang yang lebih tua usianya dan kurang toleransi kepada etnis berbeda. Remaja yang menonton secara intens bisa terpengaruh dan meniru hal serupa tanpa melihat keberadaan, sosial, dan keluarga mereka.
Bahkan, anak SD yang masih di bawah umur pun mulai mengerti tentang pacaran dan merokok. Mereka bangga dan senang melakukan hal tersebut tanpa memikirkan dampaknya bagi kesehatan diri ataupun lingkungan.
Peran serta orangtua dibutuhkan dalam memantau apa yang layak tonton sesuai klasifikasi tayangan.
ANGGIE N WULANDARI, SIRANDU, PAGERKUKUH, WONOSOBO
Remaja Zaman Sekarang
Perkembangan dunia penyiaran, khususnya di Indonesia, tidak lepas dari perkembangan program-program sinetron. Contoh sinetron yang baru muncul di televisi adalah Anak Langit, kelanjutan sinetron Anak Jalanan yang sudah tamat. Tema cerita sinetron baru ini hampir mirip sebelumnya, yaitu tentang anak remaja, balapan liar, kisah cinta, dan kekerasan.
Melihat sinetron itu cukup banyak hal yang tidak seharusnya terjadi. Sinetron ini bertemakan anak remaja gangster. Apakah dengan memberikan contoh seperti ini anak remaja akan semakin menjadi lebih baik?
Adegan kekerasan banyak terjadi dalam sinetron tersebut. Contohnya tayangan 5 April 2017 episode 81-82, berisi adegan perkelahian/pertarungan antara Andra dan Rimba di ring. Apakah ini film bioskop? Seharusnya sebelum ditayangkan harus diketahui, apakah manfaatnya bagi masyarakat.
SETIAWAN, JALAN CUT MUTIA, SUNGAI PINANG LUAR, SAMARINDA
Generasi Materialistis
Berbagai pencitraan yang diciptakan media televisi, khususnya sinetron, mengaburkan batas-batas antara kenyataan dan khayalan. Banyak sinetron yang menayangkan betapa enak hidup remaja dengan rumah besar, kolam renang di halaman belakang rumah, mengendarai mobil mewah, bahkan untuk pergi ke sekolah. Tayangan seperti itu hanya memperlihatkan sisi enaknya tanpa memperlihatkan kerja keras untuk mencapainya.
Anak-anak dan remaja bisa menjadikan apa yang ada di sinetron sebagai standar dalam kehidupan mereka, dan mungkin juga termotivasi terlibat dalam perilaku yang tidak sesuai, seperti mencoba memperoleh kekayaan secara cepat tidak peduli caranya. Pengaruh sinetron dapat membentuk nilai-nilai materialistis pada usia dini, apalagi banyak jam tayang sinetron yang memungkinkan anak menonton.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibuat Komisi Penyiaran Indonesia disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.
Indonesia membutuhkan generasi muda yang teguh moral dan prinsip. Oleh sebab itu, sinetron Indonesia harus mengedepankan norma-norma dalam tayangan yang mendidik dan bermoral.
ANINDYA N, GANG MANGGIS II, TEBET, JAKARTA SELATAN
Dialog Dalam Sinetron
Dalam tayangan sinetron, televisi seharusnya mempertimbangkan setiap adegan dan dialog. Televisi adalah media jaringan komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah.
Salah satu sinetron berjudul Anak Langit, ditayangkan pada 5 April 2017 pukul 18.30 yang merupakan saat prime timesehingga bisa ditonton berbagai kalangan. Tayangan ini, menurut saya, meresahkan karena ada beberapa adegan dan dialog yang kurang etis. Misalnya, adegan segerombolan orang yang menghina seorang kakek dengan sebutan "tua bangka". Padahal, kakek itu sedang menonton cucunya yang mengikuti perlombaan tinju.
ZULIAN R, KENDUNG REJO GANG UTAMA, BENOWO, SURABAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar