Kebijakan lima hari sekolah merupakan salah satu implementasi penguatan pendidikan karakter (PPK), yang merupakan amanat Nawacita dan termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Kebijakan PPK menjadi instrumen kebijakan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merealisasikan revolusi mental dalam lembaga pendidikan selaras dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Dalam dokumen Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter, Kemdikbud mendefinisikan PPK sebagai "gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi, transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olahraga (kinestetik) sesuai dengan falsafah hidup Pancasila". Sebagai sebuah gerakan, PPK memerlukan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Jika dicermati isi Konsep dan Pedoman PPK, kita akan menemukan bahwa tri pusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ingin dikembalikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Tri sentra ini adalah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sebagai salah satu implementasi PPK, kebijakan hari sekolah perlu dilihat dalam kerangka partisipasi orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka.
Jika dilihat dari perspektif ini, Permendikbud No 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, yaitu lima hari sekolah, memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan enam hari sekolah.
Lima manfaat
Manfaat itu adalah, pertama, sekolah lima hari akan memberi waktu lebih banyak pada orangtua untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan anak. Jika sekolah dilakukan selama enam hari, hak orangtua akan terenggut oleh sekolah. Padahal, orangtua juga perlu waktu untuk perjumpaan dengan anak-anaknya.
Kedua, dengan kebijakan sekolah lima hari, anak memiliki waktu untuk mengembangkan hal-hal lain yang tidak mereka peroleh di sekolah. Belajar enam hari berturut-turut bisa menimbulkan kejenuhan dalam diri peserta didik. Mereka bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan keluarga, saudara, atau teman-teman. Kalau secara jujur disuruh memilih, menurut intuisi saya, anak-anak pasti lebih senang sekolah lima hari ketimbang enam hari.
Kedua, kebijakan lima hari sekolah juga merupakan sebuah ruang agar para guru yang kesulitan memperoleh jam tatap muka 24 jam dapat memperolehnya dengan memanfaatkan berbagai macam kegiatan pendidikan di sekolah yang dapat dikonversi sebagai jam tatap muka, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam kebijakan tentang sertifikasi guru. Karena itu, sekolah lima hari memiliki dampak pada kesejahteraan guru.
Ketiga, kita juga harus ingat bahwa guru adalah orangtua. Adalah manusiawi meminta mereka bekerja dengan penuh totalitas dan komitmen bagi pendidikan anak-anak orang lain selama lima hari dan bekerja delapan jam. Guru sebagai orangtua juga perlu istirahat dan berjumpa dengan keluarga, terutama anak-anak mereka. Keluarga juga bertanggung jawab pada pendidikan anak-anak mereka.
Keempat, dengan belajar lima hari, secara psikologis tidak akan membebani peserta didik melulu melakukan kegiatan sekolah. Ia memiliki waktu luang dan senggang pada hari Sabtu dan Minggu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mereka sukai, pengembangan bakat, atau bermain agar tubuh mereka tetap sehat.
Kelima, kebijakan hari sekolah akan memutar roda perekonomian bangsa melalui kegiatan-kegiatan wisata, kuliner, kunjungan museum, rekreasi di alam terbuka. Selama dalam pengasuhan orangtua, proses pembentukan karakter itu tetap terjadi. Kalau bukan bangsa sendiri yang mengapresiasi museum, kegiatan seni, budaya bangsa, siapa lagi yang akan melatihkannya? Olahraga, olah rasa, olah hati, olah pikir dapat dilakukan lebih efektif melalui sekolah lima hari.
Polemik jam belajar
Yang dipersoalkan ke publik sebenarnya bukan kebijakan lima harinya, melainkan konsekuensi delapan jam belajar terus-menerus di sekolah. Apa yang terbayang secara langsung di benak publik adalah siswa berada di sekolah selama delapan jam berturut-turut, dalam pengajaran di kelas, maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler. Apalagi jika delapan jam belajar ini diwajibkan di semua jenjang, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Di sinilah pangkal keberatan publik.
Pemahaman bahwa siswa delapan jam terus-menerus dan berlaku untuk semua jenjang pendidikan kiranya perlu diklarifikasi. Tidak mungkin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat sebuah kebijakan yang, menurut saya, tidak manusiawi bila memaksa peserta didik SD, terutama kelas kecil untuk tetap berada di sekolah sampai pukul 15.00 sore.
Permendikbud No 23 Tahun 2017 ternyata tidak secara jelas merinci apa yang dimaksud dengan delapan jam berada di sekolah, baik bagi pendidik, peserta didik, maupun tenaga kependidikan. Ini sangat penting dijelaskan karena konsep jam kerja dan jam pelajaran siswa itu berbeda.
Jam kerja adalah alokasi waktu yang digunakan untuk menghitung lamanya seseorang bekerja, dalam hal ini, satu jam kerja ekuivalen dengan 60 menit. Sementara jam pelajaran merupakan alokasi waktu yang dipergunakan oleh peserta didik dalam menyelesaikan suatu isi kurikulum. Jam pelajaran ini berbeda-beda, tergantung dari tingkatannya. Dalam struktur kurikulum kita, jam pelajaran terdiri dari 35 menit (SD), 40 menit (SMP) dan 45 menit (SMA).
Polemik terjadi karena tiga hal. Pertama, pencampuradukan antara jam bekerja seorang pendidik yang menjadi tuntutan pekerjaan dengan jam pelajaran peserta didik yang menjadi tuntutan kurikulum. Mencampuradukkan dua jenis jam ini bisa menggiring opini publik bahwa guru dan siswa harus berada di sekolah selama delapan jam. Akibatnya, muncul penolakan publik karena kebijakan ini tidak manusiawi dan justru akan menghalangi tumbuh kembang peserta didik.
Kedua, ketidakpahaman publik tentang konsep PPK yang ingin mengembalikan dinamika tri pusat Ki Hajar Dewantara yang merupakan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Inti Penguatan PPK adalah perluasan makna pemelajaran nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial dalam konteks masyarakat dan dunia.
Ketiga, pasal-pasal di dalam Permendikbud No 23/2017 kontradiktif dalam beberapa pasal dan tidak jelas mendefinisikan apa yang dimaksud dengan jam kerja pendidik, jam pelajaran peserta didik, dan implementasi pemanfaatan hari sekolah. Pasal-pasal masih menyamaratakan makna delapan jam sebagai jam kerja guru.
Fokus ke substansi
Polemik lima hari delapan jam di sekolah sebenarnya bukan isu utama. Lamanya waktu sekolah dan belajar adalah sarana yang bisa dipilih sekolah. Isu utamanya adalah bagaimana memperkuat pendidikan karakter dalam semua kegiatan pendidikan kita dengan mengembalikan lagi roh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Faktanya, selama ini sudah banyak sekolah yang melaksanakan sekolah lima hari dan tidak ada masalah.
Keberatan Nahdlatul Ulama (NU) terjadi karena kurangnya pemahaman tentang makna belajar delapan jam. Kalau semua peserta didik belajar mulai pukul 07.00 dan berada di sekolah delapan jam, artinya mereka akan berada di sekolah sampai pukul 15.00. Jika ini terjadi, peserta didik sudah lelah dan madrasah diniyah (madin) terancam gulung tikar. Namun, masalah ini tidak perlu terjadi jika pihak NU memahami bahwa jam belajar peserta didik sekolah dasar dalam kebijakan lima hari sekolah sesuai tuntutan Kurikulum 2013 paling lama berakhir pada pukul 13.30 karena satu jam pelajaran untuk jenjang sekolah dasar adalah 35 menit.
Konsep PPK justru mengikat hubungan madin dengan sekolah lebih kuat karena kegiatan di luar sekolah ini diakui sekolah sebagai bagian dari perluasan makna belajar, bahkan bisa diintegrasikan dalam sistem penilaian peserta didik. Kearifan lokal dan partisipasi masyarakat sangat diakui dalam konteks penguatan pendidikan karakter.
Keberatan lain adalah ada daerah yang belum siap dari sisi sarana dan prasarana. Permendikbud No 23/2017 memberikan fleksibilitas melalui Pasal 10 yang memungkinkan sekolah mengambil kebijakan berbeda. Berbagai alasan tentang ketidaksiapan sekolah tak relevan di sini. Namun, sekolah lima hari tetap perlu menjadi orientasi sebab pada masa depan lebih banyak manfaatnya. Manfaat ini tak bisa ditemukan dalam sekolah enam hari.
Fokus polemik seharusnya bukan pada kulitnya, yaitu apakah lima hari atau enam hari, apakah delapan jam kerja atau delapan jam pelajaran, melainkan pada substansinya, apakah sekolah lima/enam hari atau belajar delapan jam sungguh-sungguh dikelola dalam rangka pembentukan karakter peserta didik melalui implementasi penguatan pendidikan karakter.
Debat dan polemik yang terjadi memang menjadi hal yang lumrah. Namun, polemik tentang hal substansial akan lebih bermanfaat daripada berkutat pada pilihan sarana jumlah hari sekolah dan jam belajar. Komunikasi dan dialog yang jujur dan terbuka dibutuhkan agar tidak terjadi berbagai macam perpecahan yang tidak diperlukan. Kekuatan dan kelemahan lima hari sekolah perlu ditelaah secara obyektif dan rasional demi peningkatan kualitas pendidikan nasional.
DONI KOESOEMA A
Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Polemik Lima Hari Sekolah"
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.