Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 26 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: ”Quo Vadis” RRI dan TVRI (FREDERIK NDOLU)

Di tengah gempuran ratusan stasiun televisi komersial, dua ribuan radio penyiaran komersial, dan jutaan media sosial era digital, quo vadis Radio Republik Indonesia yang genap 72 tahun mengudara 11 September 2017 dan Televisi Republik Indonesia ke-53 pada 24 Agustus 2017?

RRI dan TVRI adalah lembaga milik negara yang telah dinobatkan sebagai corong publik. Sebelumnya kedua lembaga itu merupakan lembaga pemerintah yang berubah sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Hal ini ditegaskan melalui seperangkat aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 12 dan 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI, di mana pemimpinnya adalah presiden.

LPP adalah alasan (raison d'etre)pelayanan publik dalam arti luas, yakni pekerjaan yang dilakukan terus-menerus, memiliki tujuan bermakna filosofis, ideologis, dan kultural. David Sarnoff (1921) menulis bahwa pekerjaan mendidik, menghibur, dan menginformasikan adalah pekerjaan pelayanan penyiaran publik.

David Hendy (2013) mencatat lima dasar yang sangat menginspirasi pelayanan penyiaran publik, yakni pencerahan (enlightenment), kebebasan (democracy), beretika (culture), pelayanan (service), pilihan (choice), dan dapat dipercaya (trust).

Mencerdaskan bangsa

LPP memang bukan lembaga propaganda. Tugasnya mencerdaskan bangsa pada berbagai aspek, pendidikan, informasi, berita, dan hiburan. Inilah yang membedakan pelayanan penyiaran publik dengan penyiaran komersial dan penyiaran pemerintah untuk propaganda.

Pembiayaannya, apabila siaran komersial membutuhkan kapital sangat besar, audiens yang banyak, dan kemasan bagus untuk mendapatkan profit, sesungguhnya pelayanan publik hanya membutuhkan pembiayaan "secukupnya" karena dalam melayani tidak diukur berapa banyak pendengar/pemirsa. Cukup "satu" pendengar tercerdaskan dan terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik, niscaya sudah merupakan benefit.

Sebagaimana diungkap George Garbner (1998), "Giant media has nothing to tell, only plenty to sell". Pelayanan penyiaran publik adalah pekerjaan khusus yang dikenal dengan lex specialis. Ini membutuhkan perhatian dan pengelolaan khusus pula, di mana hambatanya adalah lex generale. Dalam konteks RRI dan TVRI adalah bagaimana agar praktisi kedua lembaga itu mampu meyakinkan pemerintah dan publik tentang tugas khusus ini, sementara banyak aturan umum yang mengancam kekhususan pelayanan penyiaran publik.

Artinya, sebelum sampai pada kemandirian kebijakan editorial, prasyaratnya harus jelas agar pembiayaan dapat dikelola secara mandiri dengan sistem akuntabilitas yang dapat dipercaya.

Kenyataannya, LPP malah semakin tidak menentu. Di satu sisi, RRI dan TVRI sudah menjadi LPP. Di sisi lain, ada upaya menarik kedua lembaga ini kembali ke rezim tertutup dengan menghadirkan aturan baru, seperti UU Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Aparatur Sipil Negara. Sementara revisi UU No 32 dan RUU Radio Televisi Republik Indonesia yang bisa memberi kejelasan mandat belum terwujud.

Mantan Ketua British Broadcasting Corporation (BBC Trust) Sir Lord Patten (2015) mengatakan, public service broadcasting (PSB) di era sekarang berada di simpang jalan sehingga perlu mencari jalan lain. Dewan Penyiaran Eropa (2009) mengidentifikasi empat perubahan struktural yang berdampak pada organisasi public service media(PSM), yakni digitalisasi, perubahan kebiasaan pemirsa, tekanan ekonomi-politik, dan persaingan bisnis.

Peneliti senior UNESCO, Toby Mandel (2011), dalam surveinya terhadap PSB di delapan negara menemukan sejumlah ancaman terhadap keberhasilan PSB, yaitu penerapan kontrol atas lembaga penyiaran publik oleh otoritas pemerintah; rongrongan pada independensi, kualitas program berita, dan kebijakan editorial; penerapan kontrol ekstensif agar masyarakat tidak mendapat informasi dari sumber yang independen; serta pemerintah kurang percaya kepada LPP dalam mengendalikan informasi sehingga berupaya hadir dengan penekanan (pressure).

Selain itu, ada juga sejumlah ancaman yang menghambat pelayanan penyiaran publik, antara lain pemotongan anggaran yang berakibat kurangnya pendanaan sehingga PSB berusaha mencari alternatif pendanaan yang bisa menghambat profesionalisme dan mandat utama PSB serta mekanisme pengelolaan SDM LPP yang tidak jelas sejak reformasi 1998-2017.

RRI dan TVRI belum berkesempatan mengelola SDM secara profesional sesuai sistem renumerasi dan karier sebagai media pelayanan penyiaran publik lex specialis. Masalah tumpang tindih kebijakan akan berdampak pada karier SDM RRI dan TVRI ataupun harapan pemenuhan kebutuhan publik akan informasi yang mencerdaskan.

Faktor pembiayaan

Dengan demikian, pembiayaan penyiaran publik bukanlah utama, melainkan yang terpenting sebagai alat pembiayaan terstruktur. Pendanaan menjadi salah satu variabel penting dalam menjaga independensi pelayanan penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI. Kedua lembaga milik negara ini tampak masih sangat bergantung pada APBN.

Sebagai contoh, anggaran RRI terbesar dari APBN, 98 persen. Hanya 2 persen sisanya dari penarikan pajak siaran dan nonsiaran atau PNBP. Padahal, anggaran senilai Rp 900 miliar itu sebagian besar (Rp 650 miliar) untuk membiayai 6.500 karyawan PNS dan pegawai bukan PNS,

Negara hanya menyiapkan sekitar Rp 90 miliar untuk membiayai lima program siaran, yakni pro 1 (ibu kota), pro 2 (anak muda), pro 3 (berita dan informasi), serta pro 4 (budaya). Biaya tersebut untuk program dan konten penyiaran 24 jam non-stop mencakup 92 stasiun penyiaran RRI di 92 kota provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, The Voice of Indonesia (pelayanan penyiaran dalam sembilan bahasa asing ke luar negeri), serta sisanya sekitar Rp 165 miliar untuk pengembangan teknologi penyiaran, pemeliharaan, dan pengelolaan perkantoran. Ilustrasi ini dapat memberikan gambaran bagaimana kedua LPP dibentuk dari UU Penyiaran yang jauh dari harapan pelayanan penyiaran publik yang independen dan profesional.

Dari perspektif pembiayaan tersebut, RRI dan TVRI sulit melepaskan diri dari citrastatus quo sebagai lembaga pemerintah atau corong pemerintah sehingga memberi kesan jauh dari independen dan profesional. Model tunggal pendanaan anggaran negara dapat membuat pertumbuhan RRI-TVRI bergantung pada pemerintah yang berkuasa dan sulit meraih citra sebagai media pelayanan penyiaran publik.

Inilah barangkali yang membuat RRI dan TVRI belum masuk PSB dalam survei terbaru UNESCO (2009). Thailand menjadi satu-satunya anggota negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang terpilih sebagai PSB karena PSB Thailand walau dibawa kontrol junta militer, tetapi dapat menunjukkan model pembiayaan subsidi negara dari pajak tembakau dan minuman keras.

British Broadcasting Corporation (BBC) dipilih sebagai model PSB asli selama hampir satu abad karena dibiayai dari iuran rakyat Inggris (public lessens fee), sedangkan South African Broadcasting Corporation (SABC) bisa bertahan dengan bersandar pada penjualan iklan. Sekitar 76 persen dari total pendapatan SABC pada 2009 berasal dari iklan.

Walaupun cara tradisional model penarikan dana langsung dari publik sudah tidak lagi populer, media publik di sejumlah negara berusaha menutupi kekurangan biaya dengan cara smart, yakni membuka kanal penjualan, memfungsikan aset, dan mendapat subsidi terbatas dari pemerintah terkait tanggung jawab sosial dan tetap independen dalam kebijakan editorial.

BBC merupakan contoh paling tepat terhadap kerja media pelayanan penyiaran dalam pencerdasan publik (educate, inform, and entertain) dan mampu memfungsikan asetnya yang dirawat sejak 1922. Mungkinkah RRI dan TVRI diberikan kemampuan mengelola sumber daya secara independen yang dikuasai sejak 1945 sebagai modal dasar LPP?

Tampaknya PSB di setiap negara memiliki masalah pendanaan untuk bisa memberikan pelayanan maksimal. Pertanyaannya kemudian, dalam menyongsong digitalisasi penyiaran, model pembiayaan seperti apakah yang paling pas, yang menjamin independensi editorial dan memastikan PSB dapat melayani publik sesusai mandatnya?

Mampukah DPR, pemerintah, bersama praktisi penyiaran publik menghasilkan mandat bagi kedua lembaga sehingga segera menemukan jalan yang disarankan Sir Lord Patten agar mandiri dan profesional sehingga menghapus citra corong pemerintah di masa lalu?

RRI dan TVRI sedang menghadapi tantangan. Adakah jalan untuk kesinambungan kedua lembaga ini mengingat sejarah berdirinya sangat melekat dengan perjalanan bangsa dan negara Indonesia?

FREDERIK NDOLU, PENELITI PUBLIC SERVICE BROADCASTING; ANGGOTA DEWAN PENGAWAS LPP RRI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul ""Quo Vadis" RRI dan TVRI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger