Saya pribadi mengucapkan selamat atas keberhasilan pesawat N219 mengudara. Saya sangat senang membaca topik "Teknologi Dirgantara, Jalan Berliku Pesawat N219" di Kompas edisi 18 Agustus halaman 1 dan 15.
Melalui surat ini, saya ingin mengusulkan beberapa hal kepada Bapak Joko Widodo selaku presiden Republik Indonesia untuk masa depan pesawat kita: N219.
Pesawat N219 membutuhkan panjang landasan terbang hanya sekitar 500 meter. Becermin dari keberhasilan penerbangan perintis di Papua, hal ini merupakan modal bagi pemerintah pusat membuat kebijaksanaan dengan membangun infrastruktur lapangan terbang perintis bagi setiap kabupaten di Indonesia. Bayangkan, pesawat N219 cuma membutuhkan jalan 500 meter danwindsock (kantong angin) belaka. Infrastruktur yang murah, bukan? Cukup untuk kelas pesawat berukuran N219 dulu. Tidak perlu muluk-muluk dan idealis. Hanya perlu dua hal tersebut.
Bangsa Indonesia punya sekitar 17.000 pulau, menurut sebuah iklan. Jika di 15.000 pulau saja dibangun lapangan terbang perintis dengan landasan cuma jalan sepanjang sekitar 500 meter dan ditancapkan sebuah kantong angin, saya percaya kebutuhan pesawat N219 akan meningkat pesat seiring dengan pergerakan ekonomi masyarakat pulau tersebut. Bisa menggerakkan pariwisata Nusantara, bisnis perikanan, dan seterusnya.
Pembangunan lapangan terbang perintis di pulau-pulau tadi dapat melibatkan TNI dan Polri untuk nantinya TNI dan Polri juga dilibatkan sebagai pionir permukiman manusia di pulau yang belum berpenghuni. TNI dan Polri, kan, bertugas menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Jadi, pulau-pulau yang belum berpenghuni dapat digunakan sebagai markas atau pos pemantau kedaulatan dan keamanan negara RI. TNI dan Polri juga dapat didayagunakan sebagai operator penyelenggara operasional lapangan terbang perintis tersebut.
Semoga dengan banyaknya lapangan terbang perintis, bisnis penerbangan kita semakin bergairah, khususnya untuk masa depan pesawat N219 karya anak bangsa.
DJOKO MADURIANTO SUNARTO, JALAN PUGERAN BARAT NO 5, YOGYAKARTA
Akses Stasiun Palmerah
Saya penumpang kereta rel listrik setiap hari. Saya usul untuk mengaktifkan kembali tombol penyeberangan menuju Pasar Palmerah. Alasan saya: akses menuju stasiun hanya satu, baik yang di sebelah Kehutanan maupun yang di Pasar Palmerah. Akibat dari akses yang hanya satu, berdasarkan pengamatan saya, (1) jika dua kereta datang bersamaan, penumpang benar-benar berebutan; (2) sangat tidak bersahabat untuk ibu hamil, orangtua, orang yang membawa anak kecil, orang sakit, dan orang cacat. Orang yang di belakangnya mau tak mau harus menunggu mereka berjalan. Semua ini sudah saya alami.
Di sebelah yang menuju pasar, ada tangga. Bagus, cuma tidak berfungsi maksimal karena akses ke sana sebaiknya dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Dulu ada tombol itu, tetapi mengapa sekarang dicabut?
Di dekat tangga tersebut ada pintu dengan tulisan "Pintu Khusus Difabel" dengan gambar orang duduk di kursi roda. Terus terang saya selalu tersenyum membaca tulisan itu. Bagaimana mereka tahu bahwa pintu tersebut dikhususkan untuk mereka, sedangkan akses di sekitarnya tidak ada. Dari segi keselamatan juga, menurut saya, kurang menunjang kalau hanya ada satu akses.
Tolong, PT KAI, usul kami diwujudkan. Pasang lagi tombol penyeberangan.
YULILY ELFIRA, BENDA BARU, PAMULANG, TANGERANG SELATAN, BANTEN
Tanggapan Bank OCBC NISP
Sebagai tanggapan terhadap surat Bapak Hidayat Ruslim Gunawan di Kompas(11/8), "Catatan Tagihan Tidak Datang", kami, Bank OCBC NISP, telah menghubungi Bapak Hidayat Ruslim Gunawan.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan, Bapak Hidayat Ruslim Gunawan telah menerima dengan baik penjelasan dan solusi yang kami sampaikan.
Bank OCBC NISP terbuka atas setiap masukan dan akan selalu menjaga kepercayaan Bapak Hidayat Ruslim Gunawan dan segenap nasabah sesuai dengan komitmen kami.
ALETA HANAFI, KEPALA DIVISI KOMUNIKASI PERUSAHAAN OCBC NISP
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar