Inti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) itu adalah program jaminan sosial buruh migran diintegrasikan ke Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan menyerahkan pengelolaannya ke BPJS Ketenagakerjaan berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Selama ini program jaminan sosial buruh migran dikelola konsorsium asuransi swasta, mengacu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No 1 Tahun 2012.
Pengintegrasian jaminan sosial buruh migran ke BPJS Ketenagakerjaan sudah tepat. Alasannya, pertama, UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan sosial adalah hak seluruh rakyat Indonesia yang oleh UU No 40/2004 tentang SJSN diamanatkan tentang kepesertaan wajib. Jadi, buruh migran pun sebagai warga negara Indonesia wajib diikutsertakan.
Kedua, dengan diintegrasikannya jaminan sosial buruh migran ke BPJS Ketenagakerjaan, aspek kegotong-royongannya akan semakin signifikan. Dengan jumlah peserta yang semakin banyak, ketahanan dana jaminan sosial akan semakin kuat dan potensi peningkatan perlindungan semakin terbuka lebar.
Ketiga, selama ini pelayanan konsorsium asuransi swasta sangat rendah. Buruh migran kerap kali tidak mendapatkan hak-haknya dengan berbagai alasan, seperti persoalan administratif dokumen-dokumen. Dengan diserahkannya penyelenggaraan jaminan sosial ke BPJS Ketenagakerjaan, pengelolaan akan lebih transparan dan akuntabel sesuai prinsip-prinsip SJSN.
Sejumlah masalah
Semangat baik mengintegrasikan jaminan sosial buruh migran ke SJSN diharapkan jadi babak baru bagi peningkatan kesejahteraan buruh migran kita. Buruh migran akan terlindungi sebelum, selama, dan sesudah penempatan. Namun, harapan tersebut sepertinya masih belum sepenuhnya terjawab oleh beberapa pasal di Permenaker No 7/2017.
Pertama, ada inkonsistensi antara isi Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (3). Pasal 2 menyatakan buruh migran wajib mengikuti program JKN, JKK, JKm, dan JHT. Sementara Pasal 3 Ayat (3) memosisikan JHT sebagai program sukarela. Menurut saya, buruh migran juga membutuhkan program tabungan hari tua seperti JHT sehingga pada masa tua buruh migran memiliki tabungan dan tetap bisa hidup sejahtera. Oleh karena itu, program JHT seharusnya diwajibkan juga dalam Permenaker ini.
Kedua, ketika buruh migran dalam posisi sebelum dan sesudah penempatan mengalami kecelakaan kerja, ia akan mendapatkan 12 bentuk pelayanan kesehatan, mulai dari pemeriksaan dasar dan penunjang, perawatan tingkat pertama dan lanjutan, rawat inap, hingga rehabilitasi medik (Pasal 14 Ayat [1]). Namun, pada Pasal 16, buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja selama penempatan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang diatur Pasal 14 Ayat (1) tersebut.
Menurut saya, buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja selama penempatan juga sangat membutuhkan 12 bentuk pelayanan kesehatan tersebut. Mengingat pelayanan kesehatan dilakukan di luar negeri, yang tentunya fasilitas kesehatan tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, mekanisme pembiayaannya bisa dilakukan seperti amanat Pasal 14 Ayat (3) dan (4), yaitu melalui sistemreimbursement kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan standar biaya sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan. Tentunya biaya perawatan yang diklaim tersebut akan sangat membantu proses penyembuhan buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja.
Ketiga, ada perbedaan manfaat antara Pasal 19 dan Pasal 20. Di Pasal 20, buruh migran selama penempatan jika meninggal akan dapat santunan kematian, santunan berkala, biaya pemakaman, dan beasiswa pendidikan atau pelatihan bagi satu anak peserta. Sementara pada Pasal 19, buruh migran pada posisi sebelum dan setelah penempatan jika mengalami kematian hanya mendapatkan santunan kematian, santunan berkala, dan biaya pemakaman. Seharusnya Pasal 19 dan Pasal 20 tidak dibedakan manfaatnya karena seorang anak ketika orangtuanya mengalami kematian sangat membutuhkan bantuan pendidikan.
Menunggu revisi UU SJSN
Karakteristik risiko kerja buruh migran tentu berbeda dengan buruh dalam negeri. Jika buruh dalam negeri hanya dihadapkan pada risiko sakit, kecelakaan kerja, dan kematian, buruh migran menghadapi risiko lebih dari sekadar risiko sakit, kecelakaan kerja, dan kematian.
Mengacu pada Permenakertrans No 1/2012, perlindungan buruh migran dibagi menjadi tiga periode. Pertama, sebelum penempatan, yakni buruh migran meninggal, sakit, kecelakaan, tindak kekerasan fisik, dan pemerkosaan. Kedua, masa penempatan, yakni gagal ditempatkan, meninggal, sakit, kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja, pemutusan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja, menghadapi masalah hukum, gaji tak dibayar, tindak kekerasan fisik, dan pemerkosaan. Ketiga, setelah penempatan, yakni meninggal,sakit, kecelakaan, kerugian atas pihak lain selama perjalanan pulang ke daerah asal, serta tindak kekerasan fisik, psikis, dan/atau seksual.
Tentunya ada beberapa risiko buruh migran yang belum terakomodasi di Permenaker No 7/2017 karena memang BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa mengelola jaminan sosial di luar JKK, JKm, JHT, dan pensiun. Untuk bisa terakomodasi dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan, perlu adanya legitimasi UU No 39/2004 yang saat ini masih dalam proses revisi di DPR.
Kita berharap revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang SJSN secepatnya diselesaikan dan mengatur semua jenis risiko yang diatur dalam Permenakertrans No 1/2012 yang nantinya dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk risiko sakit, hendaknya JKN juga diwajibkan kepada buruh migran dalam hasil revisi tersebut. Dengan demikian, buruh migran dalam posisi sebelum, masa penempatan, dan setelah penempatan akan dijamin juga oleh BPJS Kesehatan.
Tentunya, dengan revisi UU No 39/2004 tersebut, Permenaker No 7/2017 harus juga direvisi. Dan, revisi tersebut semestinya memperhatikan butir-butir masukan di atas.
Semoga dengan era baru pengelolaan jaminan sosial buruh migran oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, kesejahteraan buruh migran dan keluarganya akan semakin meningkat.
TIMBOEL SIREGAR, KOORDINATOR ADVOKASI BPJS WATCH; SEKJEN OPSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar