Kerja bersama tersebut mensyaratkan adanya kesetaraan, solidaritas, dan kepentingan bersama. Dengan kerja bersama, maka persoalan yang dihadapi bangsa ini bisa tertangani dengan baik.Lalu, bagaimana slogan tersebut diimplementasikan untuk memperkuat negeri agraris ini?
Mawas diri
Dua bulan terakhir, pertanian dan perdesaan kembali jadi isu nasional. Banyak pihak berharap dua entitas (pertanian dan perdesaan) tersebut adalah pintu menuju kemakmuran dan kedaulatan bangsa Indonesia. Bermawas diri terhadap dua entitas itu sama halnya menjaga kekuatan yang dimiliki bangsa ini, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sebaliknya, perhatian yang minim akan membuka peluang terjadinya kerapuhan negeri agraris. Mengapa?
Pertama, bangsa ini dibangun dari desa yang 73,14 persen (dari 74.754 desa) bercorak pertanian.Akan tetapi, ironisnya impor pangan masih 3,6 miliar dollar AS atau setara Rp 46 triliun (BPS 2015). Mawas diri dengan menitikberatkan pada pembangunan desa berbasis pertanian, dengan serta-merta menyelamatkan ancaman kerapuhan pangan di negeri ini. Tidak itu saja, 29,135 persen desa tertinggal dan 40,666 persen desa berkembang (Mendes PDT, 2017) akan beranjak dari tertinggal ke berkembang dan dari berkembang ke mandiri, di mana pertanian sebagai basis ekonomi rakyat. Artinya, membangun desa pertanian dengan serta-merta menyelesaikan persoalan kemiskinan petani di perdesaan sebanyak 14-20 persen.
Kedua, White (2011) menyatakan setengah populasi penduduk negara-negara berkembang tergolong pemuda, bermukim di perdesaan dan 70 persen hidup dalam kemiskinan ekstrem. Akibatnya, desa dan pertanian ditinggalkan dan pemuda desa lebih memilih sektor lain di kota.Fenomena ini disebut Vellema (2011) sebagai lost generation, keadaan di mana pemudadesa tidak lagi tertarik pada pertanian, tetapi bekerja di sektor lain atau bermigrasi ke daerah lain.
Ketiga, tahun 2020 penduduk golongan muda mencapai 271 juta jiwa dan 15 tahun berikutnya (2035) golongan muda bertambah 305 juta jiwa (Bappenas, 2016). Pesatnya pertambahan penduduk golongan muda ini harus diantisipasi dengan mawas diri atas dua persoalan penting. Persoalan pertama, berkurangnya pemuda tani (saat ini hanya 12,2 persen petani berusia di bawah 35 tahun dan 61,8 persen petani berusia di atas 45 tahun). Persoalan berikutnya adalah bahaya narkoba yang mengancam pemuda. BNN (2016) melansir lebih kurang 223 kasus narkoba dan lebih kurang 5,1 juta jiwa penduduk (2 persen jumlah penduduk Indonesia) menyalahgunakan narkoba, di mana sebagian besar mereka adalah pemuda. Artinya, mawas diri pada golongan pemuda menjadi penting untuk mengantisipasi terjadinya fenomena lost generation.
Keempat, persoalan dana desa. Minimnya SDM mengakibatkan terjadinya kesenjangan pengetahuan, sikap, dan perilaku di perdesaan. Juga ditemukannya regulasi pemerintah yang tidak kontekstual terhadap kebutuhan desa, mengakibatkan tak sedikit dana desa mengalami penyelewengan oleh oknum tertentu. Padahal, dana desa diharapkan mampu menyentuh langsung kebutuhan desa sehingga perlahan dan pasti persoalan-persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan dengan mudah teratasi.
Memperkuat
Keempat fenomena di atas harus diantisipasi sedini mungkin.Jika tidak, bangsa akan terus mengalami kerapuhan. Untuk itu, kita tak boleh gagal fokus dalam merumuskan agenda-agenda pembangunan bangsa.Di sinilah makna slogan "Indonesia Kerja Bersama", yaitu bersama menggerakkan petani dan pemuda desa secara transformatif dan partisipatif untuk kemakmuran Indonesia.
Dalam kerja bersama menggerakkan petani dan pemuda desa, dibutuhkan tiga pilar: (1) pertanian sebagai basis ekonomi perdesaan; (2) inovasi teknologi sebagai instrumen aksi; dan (3) petani dan pemuda desa sebagai subyek pembangunan perdesaan.
Beranjak dari tiga pilar di atas, beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperkuat negeri agraris ini. Pertama, menggerakkan petani dan pemuda desa agar memiliki kemampuan unggul, inovatif, dan berkarakter kewirausahaan sosial berbasis teknolog.
Kedua, menggerakkan petani dan pemuda desa membangun jejaring kerja untuk mengawal, mengkritisi, dan merekomendasikan kebijakan yang memiliki semangat memakmurkan rakyat Indonesia.
Ketiga, menggerakkan pemuda desa membangun sistem informasi dan teknologi digital untuk konektivitas pembangunan pertanian dan perdesaan.
Keempat, menggerakkan pemuda desa agar punya kesadaran spasial membantu pemerintahan desa dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan desanya secara transparan dan akuntabilitas.
Kelima, menggerakkan petani dan pemuda desa untuk memiliki kemampuan memahami potensi "resiliensi"-nya sehingga mampu menciptakan inovasi yang dibutuhkan oleh warga desa.
Tentunya, keempat upaya di atas dapat berjalan sesuai harapan jika pihak luar (akademisi, peneliti, birokrasi, politisi, lembaga keswadayaan masyarakat, dan pihak lainnya) ikut serta bekerja bersama guna terwujudnya kemakmuran bangsa Indonesia.
SOFYAN SJAF,
KEPALA PUSAT STUDI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN (PSP3) IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar