(Jakarta 17-8-'45, wakil-wakil bangsa Indonesia)
Kepada dunia luar, proklamasi merayakan kekamian Indonesia sebagai bangsa. Kami berhadapan dengan kekuatan kolonialisme asing. Kami, para pejuang kemerdekaan, pedagang biasa, kaum terpelajar, ibu rumah tangga, dari berbagai suku dan agama.
Ke dalam, proklamasi juga merayakan kekitaan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu. Kepada dunia luar kita menjadi kami bangsa Indonesia. Ke dalam, kami-kami membentuk kita adalah Indonesia apa pun suku, agama, ataupun identitas sosial lainnya.
Hampir seabad, kesadaran berbangsa Indonesia terkotak-kotak oleh politik kewarganegaraan pemerintah kolonial Belanda. Warga Hindia Belanda di muka hukum positif terbagi tiga golongan: Eropa (termasuk Jepang), inlander(pribumi), Timur Asing (antara lain Arab, India, Pakistan, Tionghoa). Tidak semua orang berkedudukan sama di depan hukum.
Dengan proklamasi, kita menolak dikotak-kotakkan menurut suku, agama, strata sosial, afiliasi ideologi politik. Sudah cukup politik pecah belah yang membuat Indonesia lemah dan lama terjajah. Sekat-sekat penghalang kebangsaan dirobohkan. Kebangsaan dirayakan secara inklusif.
Evolusi kesadaran berbangsa
Pada paruh kedua abad ke-19, terjadi pergeseran dominasi persuratkabaran di Hindia Belanda. Jika semula dikuasai orang Barat, kini orang Tionghoa masuk. Pada 1910, lahir Sin Po, koran Tionghoa berbahasa Melayu di Jakarta. Itulah koran pertama yang memuat teks lagu kebangsaan "Indonesia Raya", lengkap dengan notasi musiknya, gubahan WR Supratman, dua minggu setelah Sumpah Pemuda, hingga tersebar ke seluruh Indonesia.
Koran ini memelopori penggunaan kataIndonesia untuk mengganti nama wilayah "Hindia Belanda". Dengan sengaja juga kata inlander (pribumi) tak digunakan pada semua terbitan koran itu karena merendahkan rakyat Indonesia sebagai strata sosial terendah di Hindia Belanda.
Liem Koen Hian, wartawan, pendiri Partai Tionghoa Indonesia di Surabaya, dalam pidato politiknya (1929) mengkritik superioritas darah Tionghoa. "Boleh dibilang sekarang ampir idak ada lagi bangsa jang mempoenjai darah toelen." Begitulah Liem, politikus yang melampaui zamannya. Dalam pidatonya yang lain (1932), terungkap pandangan Liem tentang indonesier (orang Indonesia). "Seorang peranakan, tidak peduli turunan dari bangsa apa sadja, tetapi djika ia berasa dan berpikir seperti seorang indonesier asli dan bersedia untuk mendjalankan kewadjibannya terhadap negeri jang ia tjintai ini sebagai tumpah darahnja, maka boleh sekali mengaku sebagai indonesier."
Pada 1944, sesudah kekalahan besar militer Jepang oleh Sekutu, penguasa Jepang mengharapkan dukungan rakyat Indonesia untuk perang selanjutnya. Rakyat Indonesia diharapkan siap memerangi Sekutu apabila menyerbu Indonesia untuk menaklukkan Jepang. Sebagai kompensasi dukungan itu dan apabila Jepang menang dalam Perang Asia Timur Raya, Indonesia dijanjikan kemerdekaan.
Pada 1 Maret 1945, tepat di hari ulang tahun Kaisar Jepang, dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Tugas badan itu mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting untuk mendirikan negara Indonesia merdeka. Jumlah anggota badan bentukan penguasa kolonial itu 62 orang, empat di antaranya Tionghoa: Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei (wartawan), Tan Eng Hoa (sarjana hukum), dan Oey Tjong Hauw (ketua partai kaum peranakan Tionghoa, putra konglomerat gula).
Dalam bagian tesis magisternya (1967), Fuad Hassan, cendekiawan Indonesia, membahas kami dan kita sebagai dua kata kunci modus kebersamaan kolektif pada umumnya. Kekamian adalah kolektivitas eksklusif, sedangkan kekitaan kolektivitas inklusif. Pada titik itu timbul ketegangan eksistensial antara modus kekamian dan kekitaan.
Distingsi pronominal itu tak lazim dalam bahasa-bahasa kuno ataupun modern. Namun, itu tak berarti bangsa-bangsa lain tak menyadari distingsi itu secara konseptual. Setiap orang dalam modus kebersamaannya mengalami ketegangan eksistensial. Solusi terbaiknya bukan atau ini atau itu (either-or), sebab tanpa kami tak ada kita. Kekitaan tak berarti peleburan identitas kekamian. Kekamian harus dalam bingkai kekitaan.
Revisi kesadaran berbangsa
Ketika terbit pada 1975, buku teksSejarah Nasional Indonesia (6 jilid) disusun oleh Nugroho Notosusanto dkk, Kepala Pusat Sejarah ABRI, menyebut di antara anggota BPUPK terdapat "4 orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda" (VI.17). Dua tokoh yang disebut terakhir adalah AR Baswedan dan PF Dahler.
Edisi ke-4 buku itu (1984), saat Notosusanto jadi Menteri Pendidikan, frase "orang golongan Cina" sama sekali hilang dan sebagai gantinya frase "empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda". Buku teks sejarah Indonesia itu sempat direvisi kemudian, tetapi frase yang hilang itu tak pernah kembali.
Namun, Indonesia terus bergerak. Evolusi kesadaran berbangsa terlihat pada amandemen UUD 1945 yang menghapus frase "orang Indonesia asli" sebagai syarat presiden Indonesia. Amandemen itu didasari pada kesadaran nasionalisme modern yang bertumpu pada fakta antropologis bahwa tidak ada yang dapat mengklaim diri orang Indonesia asli. Orang Indonesia, seperti kata Liem, adalahjuga perasaan kuat sebagai bagian dari bangsa, mampu "berasa dan berpikir" sebagai orang Indonesia.
Dari perasaan kuat sebagai orang Indonesia itulah lahir rasa cinta Tanah Air. Untuk segala sesuatu yang kita cinta, mustahil kita merusaknya, menjelek-jelekkannya, atau acuh tak acuh. Dengan cinta Tanah Air, kita akan mengusahakan sesuatu yang baik untuk negeri kita. Pengurus negara (negarawan) yang cinta Tanah Air tak akan mengorupsi uang negara. Politisi cinta Tanah Air tak akan mengadu domba antar-elemen masyarakat.
Sejak awal sejarah Indonesia modern, nasionalisme Indonesia bersifat inklusif. bangsa Indonesia hari ini adalah kelanjutan nasionalisme inklusif itu. Pribumisasi politik mengingkari sejarah panjang evolusi kesadaran berbangsa. Istilah inlander (pribumi, bumiputra) dipakai penguasa kolonial Belanda untuk merendahkan rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin itu menjadi istilah untuk superioritas kesukuan?
Bangsa-bangsa yang dulu terjajah dan kini tergolong maju sudah selesai dengan konflik identitas primordial. Pintu belakang rumah kebangsaan sudah tertutup rapat bagi dorongan untuk kembali pada konflik primordial. Bangsa-bangsa yang belum dan sulit maju adalah mereka yang merayakan kekamian dengan revisionisme kesadaran berbangsa.
Proklamasi dirayakan setiap tahun tiada lain untuk optimalisasi kesejahteraan bangsa merdeka. Tanpa modus kekitaan dalam berbangsa di era bangsa-bangsa tak berbatas negara, Indonesia Incorporated hanyalah mimpi. Lawan kita bukan sesama anak bangsa, melainkan kemiskinan, ketidakadilan sosial, korupsi politik, dan pikiran-pikiran picik yang menghambat gerak maju bangsa.
YONKY KARMAN, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Indonesia Itu Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar