Istana Merdeka kali ini menjadi semacam parade pamer, bukan kekuatan politik atau militer, melainkan kebudayaan. Pelangi budaya dahsyat, bahkan bagi ukuran dunia itu, bukanlah sekadar etalase kultural—tradisi pemerintahan kita di fora internasional—juga bukan sekadar romantisisme dan warning bagi oknum-oknum yang ingin memecahkepingkan persatuan dan kekuatan budaya itu.
Pelangi budaya di ritual sakral kemerdekaan sesungguhnya sebuah pernyataan: Indonesia adalah negara dengan kekuatan budaya yang tak terbantahkan; kekuatan yang membuatnya mendapat respek, dulu hingga kini. Lebih dari itu, pelangi budaya di Istana Merdeka juga menjadi sebuah reproklamasi bahwa secara kultural kita tetap—tepatnya tidak pernah tidak—merdeka. Semacam penegasan ulang, Proklamasi '45 sebenarnya adalah peristiwa proklamasi kebudayaan, lebih dari sekadar proklamasi dalam pengertian politis atau yuridis (internasional). Sebagaimana media massa internasional kala itu membuatcover story, seperti majalah Life danTime, tentang lahirnya Indonesia sebagai "bangsa baru", bukan "negara baru".
Maka, apabila kebudayaan tidak pernah, bilamanakah sebenarnya kita tidak merdeka? Benarkah sepanjang 350 tahun sejarah penjajahan, seperti kata buku sejarah? Tentu saja tidak. Menurut para ilmuwan dan peneliti, bukan hanya suku Aceh, misalnya, yang merasa tidak pernah dijajah, walau pada awal abad ke-20 beberapa pemimpin utama perlawanan "kalah" atau tertangkap prajurit bayaran Pemerintah Hindia Belanda.
Adanya rumah bergaya Eropa, bahkan tempat tinggal pejabat Hindia Belanda, tidak menandakan suatu daerah terkolonisasi atau terimperialisasi. Apabila kita perhatikan lebih dekat sejarah, keterjajahan itu sebenarnya lebih terjadi pada tingkat pemerintahan, dalam arti secara ekonomis (belaka) pada masa VOC, ditambah secara politis pada masa Hindia Belanda. Itu pun melulu berlaku di kerajaan-kerajaan tertentu yang mampu ditundukkan atau menjadi komprador gubernemen, yaitu pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditunjuk Ratu Belanda.
Penjajahan secara hukum (yuridis) baru terjadi signifikan di beberapa tempat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gubernemen mulai mengusahakan Politik Etis, yang baru sampai pada tingkat imperialisme bahasa, lewat berdirinya Pustaka Rakyat atau Balai Pustaka. Namun, imperialisme bahasa, terutama dalam memilih Melayu Tinggi sebagai bahasa resmi dan membunuh bahasa-bahasa sastra (daerah) lainnya—sebagai kebijakan Balai Pustaka—sebenarnya hanya berhasil di tingkat permukaan, khususnya di kalangan elite gubernemen yang sebagian berlanjut ke elite modern lokal hingga hari ini.
Jelas dalam sejarah di sudut pandang ini, ketidakmerdekaan bangsa terjadi hanya di tiga suprastruktur: ekonomi, politik, dan hukum. Kondisi itu bahkan berlangsung hingga hari ini. Dengan demikian, pernyataan keras Soekarno-Hatta mewakili bangsa (baru) Indonesia di 17/8/1945, sesungguhnya adalah sebuah pernyataan (baca: proklamasi) kedaulatan atau kemerdekaan kebudayaan. Hal itu yang terbukti, dan ingin sekali dibuktikan, hingga di Istana Merdeka, kemarin ini. Bisa jadi ini semacam simbol apologetik karena di dimensi-dimensi utama hidup kita lainnya ternyata belum merdeka.
Kedaulatan terpasung
Tidak perlu perdebatan besar tentang "ketidakmerdekaan" itu. Orang tahu, bagaimana sumber-sumber utama ekonomi kita banyak dikuasai oleh kekuatan asing, negara, ataupun swasta. Mulai dari perbankan, telekomunikasi, hingga obat.
Persoalan hampir setimbang terjadi juga di dimensi politis. Kebijakan-kebijakan politis tidak hanya ditelurkan oleh (kekuatan) eksekutif, tetapi juga legislatif, bahkan yudikatif, lewat lobi-lobi dan tekanan dari luar. Kita sama mengetahui hal tersebut, bahkan dalam satu kasus saja, Freeport, hampir seluruh kekuatan politik yang kita kerahkan tak mampu mengangkat kedaulatan dalam soal divestasi saham.
Akhirnya, begitu pula dalam dimensi hukum, yudikatif. Persoalannya bukan hanya lembaga-lembaga hukum kita yang didirikan dengan patokan dan tuntunan para ahli luar negeri yang bersenjatakan "nilai-nilai universal", tetapi juga cara berpikir yang tertuang dalam kodeks-kodeks utama, semacam KUHAP. Inilah cara berpikir turunan langsung dari Politik Etis 1901, yang menyingkirkan sumber-sumber hukum tradisional kita, antara lain hukum agama dan hukum adat, dalam sistem perundang-undangan negara.
Gambaran dunia hukum di atas menjadi representasi dari ketidakmerdekaan kita secara mental. Dalam ekonomi, misalnya, keterpukauan kita pada indikator-indikator makro yang sudah banyak dikritik para pemenang Nobel membuat kita lupa pada hajat rakyat kecil. Mereka, kaum mikro, kecil, dan menengah, yang memegang hajat 98 persen tenaga kerja namun terjauhkan dari fasilitas utama negara, kredit, hingga kapasitas bersaing melawan industri kaum pemodal (kapitalis) yang hanya memegang 2 persen hajat hidup orang banyak, tapi merenggut 80 persen fasilitas-fasilitas itu.
Model pembangunan yang trickle down effect betapa pun hampir rontok berkeping oleh kritik, secara faktual bertahan, menciptakan kebijakan-kebijakan filantropis negara, di mana rakyat kecil mendapat sumbangan (subsidi, bansos)—dalam berbagai formatnya—yang hampir muskil mengangkat mereka dalam derajat yang sama dengan kaum kaya (elite). Selama cara berpikir berbasis pengetahuan akademik tetap berlaku, kita akan tetap dalam lingkaran kemiskinan, biarpun dalam ukuran makro kita sudah "naik kelas", menurut pejabat ekonomi kita.
Destruksi milenial
Apa yang kemudian terasa lebih mengkhawatirkan, dalam arti kekuatan destruktifnya pada masa depan kita sebagai bangsa, adalah realitas yang sama dan terjadi pada kalangan muda, terutama yang kita sebut sebagai generasi "milenial" alias "Y" dan "Z". Cara berpikir kontinental yang diinternalisasi begitu intens, memberi dampak yang sangat tidak kecil, pada cara mereka bersikap dan menciptakan tradisi baru (modern) mereka.
Sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun, bagaimana generasi muda di atas tidak mampu lagi melepaskan diri dari ketertautan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pada perangkat gawainya. Adagium "menyesatkan", menurut saya—yang dikampanyekan pejabat tertinggi bidang komunikasi, tentang "(kemajuan) teknologi tak terelakkan"—seperti memberi legitimasi bagi generasi itu untuk kian hanyut dalam lautan perangkat teknologi.
Kita yang memiliki sedikit kesadaran saja tentu mafhum, bagaimana perangkat-perangkat teknologi utama memiliki daya persuasi hingga represi yang tidak ringan bagi generasi muda. Memengaruhi cara pikir, sikap, dan bertindak saat menghidupi tantangan kehidupan. Mereka jika tidak menjadi konsumen "tak sabar" bahkan adiktif terhadap produk teknologi, juga membuat respons mereka terjadi di tingkat minimal dan stereotip.
Sebagaimana para anak muda pelaku bisnis start up yang mulai kuat, segera dibeli dengan harga "mahal" oleh pemodal asing. Sebagaimana Tokopedia dan Gojek. Anak-anak muda itu mungkin merasa sukses jadi miliarder, tapi sesungguhnya mereka lenyap dalam dunia entah-berentah, "hutan rimba"cyber world.
Pada saat yang bersamaan, kita juga mengerti bagaimana generasi milenial di atas adalah generasi yang terus terang dan terang benderang tercerabut dari akar-akar tradisinya.
Artinya, kekuatan budaya, kekuatan yang kita anggap masih membuat kita berdaulat dan merdeka, ternyata sudah lenyap, tidak hanya dari pikiran dan batin, bahkan dari kelenjar-kelenjar biologis anak milenial itu.
Lalu daya tahan apa lagi yang mereka miliki untuk tetap memiliki diri atau jati diri, ketika yang ada dalam diri mereka hanya pendidikan "akademis" kontinental "PAUD-doktoral". Kekuatan mental yang notabene sekadar penghambaan pada sumber filosofis-ideologis dari pengetahuan-pengetahuan kontinental itu.
Belenggu ideologis
Hal lebih menarik adalah upaya-upaya mutakhir yang dilakukan banyak pihak, terutama pemerintah, dalam merespons aksi-aksi alamiah generasi di atas (juga generasi sebelumnya) dengan cara menjerat aksi-aksi tersebut dengan apa yang disebut "nilai-nilai dasar" bangsa. Sebuah kemasan nilai sebenarnya tidak mampu memaktubkan atau mengintegrasikan seluruh nilai faktual yang ada.
Saya tidak tahu, misalnya, di mana nilai-nilai utama bangsa purba ini, yang terbukti keberadaan dan keberlakuannya sejak ratusan/ribuan tahun lalu, misalnya: jujur, santun, multikultural, hati terbuka, adopsi-adaptasi, penjelajahan, dan banyak lain, termaktub dalam "lima sila" atau dasar ideologis kita. Harus saya mengulang kesekian kali, rakyat kita yang sesungguhnya hidup dengan pragmatisme berbasis nilai-nilai kemasyarakatan yang sangat komunal-kosmopolitanistis di atas.
Ini sesungguhnya adalah soal cara berpikir, cara merasa, dan membatin. Cara kita menghadapi dunia dan semesta. Menghadapi lingkungan, gunung, hewan-hewan, kehidupan bawah atas tanah, bawah atas laut hingga "apa" dan "siapa" yang ada di langit angkasa. Kita memiliki cara memahami dan mengapresiasi itu semua, secara tradisional, dalam adat dan adab ribuan tahun kita. Akankah semua itu, yang sudah bertahan hingga detik ini, seperti di Baduy, Trunyan, Toraja, Anak Dalam, Dayak hingga pedalaman Papua, harus kita substitusi dengan satu cara baru yang baru seabad saja usianya, dalam program pendidikan "modern" oleh enam pemerintahan modern kita?
Realitas tradisional yang tersebut di atas adalah apa yang kita sebut dengan "budaya". Apa yang kita ramaikan dengan keharuan di upacara kemerdekaan kemarin. Yang membuat kita takjub, dan bertanya apa arti, makna, dan nilai dari setiap pernik atau dekorasi busana-busana penuh ragam dan warna itu. Akankah situasi mutakhir menghentikan semua itu berlangsung, berproses, dan berkembang dalam jeratan-jeratan "akademik" serta "ideologisasi" nilai-nilai yang ternyata belum komprehensif itu?
RADHAR PANCA DAHANA, BUDAYAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Bilakah Kita Tak Merdeka".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar