Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Gelembung Ketidaksadaran (DIRGA MAULANA)

Pendidikan agama menjadi elan vital bagi demokratisasi di Indonesia. Jika begitu berperan, bagaimana potret pendidikan agama di Indonesia? Sejatinya pendidikan keagamaan itu berperan menjaga marwah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menumbuhkan benih toleransi, menekankan pada kebebasan berpikir, meresapi sikap multikulturalisme, dan menekan tindakan radikalisme.
HANDINING

Tentu saja pendidikan agama menjadi fondasi awal kita hidup berdampingan sebagai bangsa majemuk. Pendidikan agama seharusnya membangun jiwa dan pikiran terbuka. Membangun kesepahaman antar-agama untuk menciptakan kondisi damai.

Kita tidak lagi terlalu mudah menghina dan serampangan menuduh yang lain sebagai kafir, sesat, dan thogut. Kita tak lagi perlu pada pasal penodaan agama. Kita tak berada pada masa jahiliah dengan kata-kata kasar dan penuh ujaran kebencian. Dengan begitu, perbincangan kita di dunia nyata dan dunia maya benar-benar konstruktif dan komunikatif.

Kondisi ironi

Yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Pendidikan agama membangun identitas keagamaan yang eksklusif, monoton, radikal, dan cenderung menghambat kebebasan berpikir. Jadi, guru ataupun peserta didik berada dalam "gelembung ketaksadaran". Gelembung ketaksadaran ini mengantarkan mereka pada sikap eksklusif dan intoleran.

Kita dikagetkan ketika Wahid Foundation membuka datanya bahwa sekitar 41 persen murid setuju Indonesia diubah menjadi negara Islam dan menggunakan konsep khilafah serta 60 persen murid menyatakan siap berjihad pada masa mendatang. Survei ini dilakukan terhadap 1.626 murid yang aktif di kegiatan ekstrakurikuler rohani Islam (rohis). Apalagi, banyak remaja yang terekrut menjadi teroris dari jaringan maya. Koneksi internet membawa mereka pada jaringan terorisme.

Data ini menunjukkan kepada kita bahwa sikap keberagamaan mereka cenderung konservatif. Tidak memahami konteks kebangsaan yang majemuk dan adanya ketidakpercayaan pada demokrasi. Pendidikan agama pun seakan-akan berbenturan dengan pendidikan kewargaan. Tentu hal ini menjadi persoalan serius yang mesti diurai dengan tindakan praktis dari negara.

Kemudian berdasarkan data yang dilansir Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sekitar 78 persen responden guru Pendidikan Agama Islam setuju pada pemerintah berdasarkan syariat Islam. Sekitar 77 persen setuju dukungan terhadap organisasi yang memperjuangkan syariat Islam. Ada sekitar 87 persen yang tidak setuju kepala sekolah non-Muslim, 80 persen tidak setuju kepala dinas non-Muslim, dan 89 persen tidak setuju kepala daerah non-Muslim (PPIM, 2016).

Data ini menggambarkan sikap intoleransi para guru Pendidikan Agama Islam yang tidak setuju jika kepala sekolah mereka beragama non-Muslim. Demikian juga mereka tidak setuju kepada kepala daerah non-Muslim. Sikap intoleransi ini memperburuk wajah pendidikan agama di Indonesia. Guru yang memiliki peran penting malah guru yang juga terjerembap dalam jurang intoleransi.

Kedua data ini menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia masih dibayang-bayangi tindakan intoleransi. Sikap intoleransi ini pula yang menyebabkan konflik sosial berkepanjangan di Indonesia. Pemahaman murid dan guru terhadap agama yang diyakininya terlalu berlebih, tetapi tidak berlandaskan Al Quran dan hadis dengan tafsir moderat. Sikap moderatisme dianggap sikap yang tidak memiliki pendirian. Padahal, kalau kita mau jujur, moderatisme merupakan corak Islam Indonesia yang kerap digaungkan.

Guru dan murid jadi ujung tombak memutus mata rantai radikalisme di Indonesia. Tentu dengan cara meresapi nilai-nilai agama moderat dan falsafah Pancasila secara maknawi dan berlaku pada tindakan nyata.

Agama dan Pancasila

Ketika nilai-nilai agama tergerus oleh sikap radikal dan intoleran, ada sesuatu yang salah pada beredarnya tafsir agama. Bisa saja yang beredar di masyarakat luas adalah tafsir-tafsir keras yang menentang sikap moderatisme. Jika demikian yang terjadi, ulama, cendekiawan Muslim, tokoh pesantren, dan dosen-dosen di perguruan tinggi yang corak pemikirannya moderat harus berani tampil ke publik dengan "merebut mimbar-mimbar" masjid yang selama ini tidak terjamah mereka.

Selain di mimbar-mimbar masjid, mereka juga mesti berada pada setiap ceramah agama di layar kaca televisi, radio, dan media sosial. Mereka harus bertransformasi untuk menjamah masyarakat luas secara menyeluruh. Pemahaman keagamaan moderat bukan lagi hanya menjadi simbol dan slogan, melainkan benar-benar dilakukan.

Kemudian, Indonesia memiliki Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah ideologi negara untuk melepas semua sekat dan batasan-batasan kelompok ataupun perseorangan. Pancasila adalah hasil jerih payah keringat founding fathers kita untuk menjadikan rumah Indonesia "layak huni" oleh semua golongan. Pancasila mesti diresapi sebagai sumber mata air kita bernegara dan berbangsa.

Pendidikan agama dan pendidikan Pancasila sama pentingnya dan keduanya bisa dielaborasi. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena saling terkait untuk menjaga Indonesia pada jalur kedamaian. Namun, pendidikan agama seperti apa? Tentu pendidikan agama yang moderat dan tidak bertentangan dengan prinsip bernegara dan berbangsa. Pendidikan agama yang tidak menafikan keberadaan negara. Pendidikan agama yang mencerminkan sikap keberagamaan yang berimplikasi pada kehidupan bernegara. Pendidikan agama yang percaya pada demokrasi Pancasila.

Meminjam istilah Yudi Latif bahwa Pancasila sebagai "Mata Air Keteladanan" yang setiap pasalnya mengandung butir-butir kemanusiaan. Membumikan Pancasila pada generasi muda melalui pendidikan menjadi kebutuhan mendesak sehingga roh Pancasila masuk dalam relung jiwa dan kesadaranberbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, kesadaran beragama dan kesadaran Pancasila tidak saling bertentangan dan tidak saling menyirnakan agar kita tetap percaya bahwa Indonesia merupakan karunia Tuhan yang kita perjuangkan.

DIRGA MAULANA, PENELITI PUSAT PENGKAJIAN ISLAM DAN MASYARAKAT UIN JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Gelembung Ketidaksadaran".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger