Generasi milenial atau generasi Y-juga akrab disebut generation me atau echo boomers-memang tidak bisa lepas dari gawai dan media sosial. Dan itu menjadi salah satu cirinya.
Korelasinya dengan gejolak pencarian jati diri dan ego-predikat generasi individualis dan bahkan generasi antisosial harus disandangnya-karena generasi milenial memang superaktif di dunia maya. Erik Erikson (1959) dalam psikologi perkembangan berteori bahwa rentang usia 16-30 tahun merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa dengan ciri pembentukan karakter peran dan identitas (An Introduction to Theories of Human Development-Neil J Salkind,2004).
Radikal di usia muda
Ketika dunia maya jadi media pencarian jati diri, karakter, dan identitas generasi milenial, saat itulah kelompok radikal memanfaatkan peluang untuk memaparkan ideologi atau pemahamannya. Hasilnya, sangat efektif.
Banyaknya anak muda yang teradikalisasi, menjadi teroris, adalah potret keberhasilan perekrutan lewat propaganda yang memanfaatkan media sosial. Ahmed Omar Saeed Sheikh (21), anak pengusaha industri pakaian di Inggris, memilih berjihad di Bosnia (1994) ketimbang menyelesaikan kuliah matematika dan ekonomi terapan di London School of Economics.
Pelaku peledakan 10 bom pada empat kereta api di tiga stasiun Madrid, Spanyol, 11 Maret 2004, yang menewaskan 191 orang dan mencederai 2.000 lainnya, semua berstatus mahasiswa, belajar merangkai bom lewat internet. Kemudian, 2006, Mohammed Atif Siddique (21) dari Clackmannanshire, Glasgow, Inggris, ditangkap di Punjab, Pakistan, ketika hendak bertemu Aabid Hussain Khan (anggota sel teroris 18 Toronto), berkaitan rencana jadi martir bom jihad bunuh diri.
Europol-badan khusus kriminalitas Uni Eropa (2016), yang bermarkas di Den Haag, Belanda -mencatat adanya fenomena baru, yaitu teroris-terutama pelaku bom jihad bunuh diri-banyak didominasi kalangan muda usia, termasuk kaum perempuan. Pada tahun 2017, ada Salman Abedi (22), pelaku peledakan bom di Manchester, Inggris, 22 Mei; dan Moussa Oukabir (18), yang dinyatakan sebagai pelaku teror di Barcelona, Spanyol, 17 Agustus.
Generasi milenial sangat kreatif. Generasi ini tak hanya dikenal sebagai generasi konsumtif dan penggila internet, tetapi juga dianggap sebagai generasi inovatif. Pada generasi milenial yang terpapar paham radikal, inovasi diterjemahkan sebagai keleluasaan menentukan target dan jenis senjata hingga taktik terorisasi yang dilakukan secara mandiri tanpa melibatkan pihak luar. Fenomena lone-wolf dengan segala kreativitas dan variasi aksi terornya adalah bukti bahwa generasi yang tengah mencari jati diri tersebut telah dimanfaatkan sebagai aset hidup berharga, dijadikan senjata pembunuh paling efektif yang murah, oleh kelompok radikal.
Bagaimana di Indonesia?
Generasi milenial yang teradikalisasi di Indonesia juga tak sedikit. Ada nama Ivan Armadi Hasugian (18), pelaku penyanderaan dan rencana peledakan bom di Gereja Santo Joseph, Medan (28/8/2016); Sultan Aziansyah (22), pelaku aksi penyerangan polisi di Tangerang (20/10/2016); dan Juhanda (33), pelaku peledakan bom di Gereja Oikumene, Samarinda (13/11/2016) yang dibantu oleh Ahmad Dani (18), Ridho (16), dan Gusti Adam (15). Lebih mengejutkan, Haft Saiful Rasul, bocah usia 13 tahun asal Bogor harus tewas saat berperang di Suriah dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Mereka ini adalah sekelompok anak muda yang terlibat gerakan radikal yang masih bersifat konvensional. Mereka terpapar virus delusi mematikan, tak bisa membedakan kenyataan dan imajinasi.
Rentannya sisi keremajaan, serta pemahaman agama yang rendah atau keliru, mendorong banyak kaum muda usia tidak lagi berpemikiran rasional dan logis. Mereka terbius ayat-ayat suci agama yang menjanjikan surga bisa dicapai lewat jalan pintas yang dianggap mulia: bom jihad bunuh diri.
Hilang kepekaan
Pada sisi lain, bangsa yang tengah dimabuk pesta demokrasi dan euforia politik ini semakin kehilangan sense of sensitiveness -rasa kepekaan-terhadap ancaman gerakan radikal generasi milenial yang terus berevolusi. Tak heran jika kondisi yang sesungguhnya sudah dalam keadaan darurat, tetapi oleh para elite bangsa cenderung masih dianggap sepele, diremehkan, atau dipandang enteng.
Jika gerakan radikal generasi milenial ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan melahirkan apa yang disebut Gertrude Stein dalam novel The Sun Also Rises (1926) karya Ernest Hemingway sebagai "generasi yang hilang". Generasi yang tidak memiliki empati dan keyakinan terhadap tatanan nilai-nilai agama; cinta kasih, kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan kebersamaan. Tidak hanya itu, generasi ini juga gemar dengan perlakuan diskriminatif, eskapisme (menghindari kesulitan), dan tak memiliki kemampuan mengambil sikap atau putusan.
"The world will be destroyed not by bad people, but by good people who let it happen"-dunia akan hancur bukan oleh orang jahat, tetapi oleh orang baik yang membiarkan hal itu terjadi (Albert Einstein, 1879-1955).Ungkapan ini bisa juga dibaca; Indonesia akan porak poranda bukan oleh orang jahat, tetapi oleh orang baik yang membiarkan gerakan radikal generasi milenial terus berkembang.
Selalu ada gejala
Tidak ada peristiwa besar datang secara tiba-tiba. Ada simtom, gejala, yang bisa dibaca. Segala bentuk kegaduhan yang menguras energi bangsa belakangan ini, baik yang mewujud dalam sikap intoleransi, gerakan massa jalanan, radikalisme, maupun terorisme, adalah gejala sosial yang bisa dilihat. Gejala lain, semakin maraknya pemberitaan yang bersifat fitnah, menghujat, hingga menebar hoaks, yang di- setting seolah-olah merepresentasikan masyarakat yang kehilangan harapan dan tujuan.
Ahli sosial Peter Baehr dalam bukunya, The "Masses" in Hannah Arendt's Theory of Totalitarianism' (2007), menguraikan bahwa jika negara berada dalam kondisi anomali, hanya penegakan hukum-dalam arti sebenar- benarnya-dan karakter tegas si pemimpin yang diperlukan. Banyaknya rakyat yang bersemangat mengorbankan nilai-nilai sosialnya, bergabung dengan kelompok radikal, adalah potret lemahnya hukum dan tidak tegasnya pemimpin.
"Errare humanum est, trupe in errore perseverare"-membuat kekeliruan itu manusiawi, tetapi tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan. Jangan biarkan bara api terus menyala karena jika lengah bisa membakar rumahmu. Matikan tunas-tunas gerakan radikal generasi milenial sejak dini sebelum memorakporandakan negaramu: Indonesia!
Generasi milenial terus mengembangkan dirinya sendiri. Sekarang sudah banyak keunggulan yang dimiliki. Salah satunya adalah kemampuan mengontrol persepsi publik lewat media sosial. Oleh sebab itu, jika generasi ini berhasil direkrut oleh kelompok radikal, berarti malapetaka.
Derajat ancaman akan menjadi lebih dahsyat jika dibandingkan dengan ancaman gerakan radikal konvensional. Alasannya, cara bertindak gerakan radikal generasi milenial telah mendasarkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan sekadar pengalaman seperti gerakan radikal konvensional lakukan. Pada abad ke-21 ini, siapa pun yang menguasai teknologi dan unggul dalam mengontrol persepsi publik akan menjadi pemenang kompetisi (Julian Assange-Wikileaks).
Hanya hukum dan karakter tegas pemimpin yang bisa menetralisasi gerakan radikal generasi milenial. Artinya, jika hukum berfungsi sebagaimana diharap -tak ada impunitas, dan pemimpin bersikap tegas, tidak mendiamkan-gerakan radikal generasi milenial akan tereliminasi dengan sendirinya.
Penegakan hukum adalah conditio sine qua non. Dan, tak kalah penting, ketegasan pemimpin, korelasinya dengan penanganan radikalisme sangat menentukan masa depan bangsa ini.
ADJIE SURADJIAlumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar