Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 September 2017

Mempertahankan Hutan Papua (T NIRARTA SAMADHI)

Hakim Agung Takdir Rahmadi pada Juni 2016 memutuskan menolak permohonan kasasi PT Kalista Alam yang divonis ganti rugi Rp 366 miliar atas kerusakan lingkungan yang dilakukan di Rawa Tripa, Aceh.

Hakim agung tersebut kemudian memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada November 2016 dan memvonis PT Merbau Pelalawan Lestari agar membayar denda Rp 16 triliun atas kerusakan lingkungan akibat kegiatan perusahaan tersebut. Jumlah denda yang luar biasa menjadi tonggak sejarah penegakan hukum atas kerusakan lingkungan di Indonesia.

Donor hutan

Pedoman pengambilan kedua vonis tersebut adalah doktrin in dubio pro natura, atau dalam keraguan berpihaklah kepada alam lingkungan. Di Indonesia, doktrin ini telah digunakan sejak 2003, bahkan sebelum terbitnya UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup ketika Pengadilan Negeri Bandung memutuskan memberikan ganti rugi kepada korban akibat longsor Bukit Mandalawangi di Garut. Tergugat pada kasus ini adalah pemerintah, termasuk Perum Perhutani.

Mengacu Statistik Kehutanan 2015 dan hasil penafsiran citra Landsat 8 oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, KLHK, diketahui sekitar 26,2 juta hektar hutan tetap pada kawasan hutan tidak lagi memiliki tegakan pohon. Sementara pada area penggunaan lain (APL), area yang dikelola pemerintah daerah, terdapat sekitar 7,6 juta hektar yang berhutan dalam kualitas baik yang masuk klasifikasi hutan alam primer dan sekunder.

Statistik dan tafsiran citra satelit tersebut juga menunjukkan terdapat 2,5 juta hektar hutan alam primer dan 4,1 juta hektar hutan alam sekunder yang berada di kawasan hutan tetapi secara legal dapat dikonversikan menjadi lahan non-hutan. Konversi menjadi non-hutan secara legal dari kawasan hutan dan APL itu sering kali disebut planned deforestation. Terdapat 14,2 juta hektar hutan direncanakan untuk dideforestasi dengan besaran emisi gas rumah kaca sekitar 6,5 Gt CO2 eq atau lebih dari dua kali lipat total emisi nasional Indonesia pada tahun 2030.

Menggunakan doktrin in dubio pro natura dalam pengelolaan hutan, alangkah bijak jika 14,2 juta hektar hutan yang siap dideforestasi tersebut ditukar dengan luasan lahan yang sama dari kawasan hutan tanpa tegakan yang berdasarkan Statistik Kehutanan 2015 mencapai 26,2 juta hektar. Jika dibutuhkan lahan untuk reforma agraria dari kawasan hutan, data statistik yang sama menyebutkan ada 6,4 juta hektar hutan produksi konversi dalam kondisi tanpa tegakan pohon yang dapat digunakan sebagai donor reforma agraria tanpa memperluas kerusakan lingkungan hutan.

Kasus hutan Papua

Menggunakan doktrin in dubio pro natura untuk menyikapi Papua sebagailast frontier dalam konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, maka untuk izin- izin konsesi perkebunan dan kehutanan di Kabupaten Merauke, Mappi, dan Boven Digoel, yang telah lebih dari tiga tahun tak dimanfaatkan, perlu segera ditetapkan opsi pengelolaannya yang lebih berpihak pada lingkungan.

Dengan semangat keberpihakan pada lingkungan, setidaknya dapat dikembangkan dua opsi pengelolaan. Pertama, menciptakan skema transfer tunai ke daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) terkait keberadaan tegakan hutan atau konservasi hutan. Dana ini akan memperluas kapasitas fiskal daerah dan memungkinkan kelompok masyarakat yang menjaga tegakan hutan mendapatkan kompensasi langsung.

Skema ini menuntut tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengembangkan program mata pencarian berbasis hutan dan hasil hutan bukan kayu dengan memanfaatkan kapasitas fiskal tersebut. DAK ini juga akan memperkuat posisi tawar pemerintah daerah atas iming-iming pihak pengusaha untuk mengeluarkan konsesi di atas kawasan hutan. Skema ini juga akan memperkuat pergerakan dunia usaha menuju inisiatif usaha yang lebih lestari.

Kedua, menciptakan konsesi konservasi hutan untuk dipertukarkan/mentransformasi konsesi tidur dan atau telantar menjadi konsesi konservasi hutan. Dalam skema ini, pemilik konsesi selanjutnya akan mengembangkan program pemeliharaan tegakan hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu bersama dengan masyarakat lokal.

Namun, skema ini memerlukan pembentukan pasar karbon nasional yang akan menjadi sumber pendanaan dan pendapatan berbasis pemeliharaan tegakan hutan.  

Pada hakikatnya, seperti yang dikemukan Presiden Joko Widodo pada berbagai kesempatan, memelihara hutan dan lingkungan harus berjalan seiring dengan penyejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Untuk pengelolaan hutan Indonesia, mari berpihak pada lingkungan dengan menukar hutan terdegradasi di kawasan hutan dengan hutan primer di APL. Untuk Papua, mari kita berpihak pada lingkungan dengan mengembalikan konsesi hutan tidur dan telantar kepada pemerintah sebagai hutan untuk menyejahterakan rakyat Papua.

T NIRARTA SAMADHI

DIREKTUR WORLD RESOURCES INSTITUTE INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Mempertahankan Hutan Papua".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger