Gejala paranoia biasanya terungkap dalam tindakan aneh-aneh ketidakwarasan mental, ditandai oleh delusi tentang bahaya rekaan yang memburu. Maka, orang-orang yang mengidap paranoia ibarat melihat anak kucing sebagai harimau pemangsa. Ketika diberi tahu, bahkan oleh para ahli, bahwa itu anak kucing yang tak berdaya, penderita paranoia justru makin meneriakkan ancaman harimau pemangsa. Itulah mengapa menganggap serius penderita paranoia sungguh buang-buang usia. Masalahnya, paranoia sering menjadi bagian taktik propaganda, dengan hasil terbelahnya kehidupan bersama dalam kubu-kubu permusuhan rekaan.
Itulah suasana yang menimpa kita hari-hari ini. Apakah kebangkitan komunisme memang merupakan probabilitas? Itu sungguh menggelikan. Orang yang mencermati real-politik negeri ini mengerti bahwa yang sedang bangkit bukan komunisme, melainkan perkawinan antara tribalisme agama dan militerisme. Jadi, siapa yang menciptakan badai paranoia?
Andaikan kita memakai beberapa unsur sederhana lensa psikoanalisis, kita akan mengenali suasana paranoia ini justru menciptakan bumerang, dengan dampak yang tidak kurang menggelikan. Di sinilah terletak tiga ironi konyol. Pertama, memberangus itu cara paling mudah mengiklankan pentingnya apa yang diberangus. Kedua, pemberangusan menciptakan cadar yang menyembunyikan apa yang diberangus, dan itu membuat lebih seduktif serta melonjakkan daya tariknya sebagai obyek hasrat; andai bukan isinya, apa yang diberangus justru menjadi mode yang keren. Ketiga, dalam urusan yang sedikit lebih serius, betapa miskin dunia pemikiran tanpa perkara yang diberangus.
Iklan tanpa bayar
Mulailah dari ironi pertama. Bagaimana mungkin pemberangusan itu cara paling mudah mengiklankan pentingnya apa yang diberangus? Paradoks ini mungkin hanya dapat dikenali dengan memahami relasi misterius antara tabu (taboo) dan rasa-merasa terhadap apa yang ditabukan. Sangat biasa terjadi ketika belum ditetapkan sebagai tabu, tindakan atau gagasan tertentu terasa biasa-biasa saja. Lalu ia jadi begitu menarik dan bahkan menjadi obyek fantasi ketika telah menjadi tabu. Bisa saja penetapan tabu itu melewati proses panjang adat-kebiasaan, bisa melalui larangan hukum, atau bisa juga sebagai hasil represi oleh kelompok-kelompok beringas, misalnya melalui sweeping.
Tambahlah kecenderungan itu dengan kemudahan-kecepatan sebaran informasi dan suasana skeptis terhadap otoritas! Maka, yang kita panen adalah daya tarik yang kian menawan dari apa yang ditabukan, dilarang, atau diberangus. Sangat biasa ketika suatu buku atau ajaran dilarang, pada momen itu pula "kunjungan" situs media sosial pada apa yang dilarang justru melonjak tajam. Tentu saja, "mengunjungi" untuk mencari informasi lewat media sosial adalah satu hal, sedangkan mengikuti dan memperjuangkan adalah urusan lain. Bisa juga pencarian informasi dilakukan secara tersembunyi. Namun, semua itu mengisyaratkan bagaimana pemberangusan dan pelarangan justru melambungkan apa yang ditabukan jadi daya tarik yang memesona. Maka tidak perlu heran ungkapan ini: "Larangan tentu karena mengganggu kepentingan pelarangnya, maka pastilah apa yang dilarang itu gagasan penting!" Selamat datang iklan gratis.
Paranoia kebangkitan komunisme dewasa ini rupanya merupakan simtom dari titik temu berbagai faktor, seperti perselisihan di tubuh tentara antara kubu revisionis dan revivalis dwifungsi, tipisnya daya-memerintah kepresidenan Joko Widodo, ciri anti-intelektual politisi dan pejabat pemerintah, miskinnya imajinasi penggalian dan pengembangan metode internalisasi Pancasila, lonjakan fundamentalisme-ekstremisme agama, dan sebagainya.
Dalam simpang siur berbagai faktor inilah barangkali tidak sulit mengenali para revivalis dwifungsi berada di baris terdepan. Dan, paranoia kebangkitan komunisme adalah cara paling culun dan mudah. Bahkan, dalam berbagai poster, apa yang menjadi obyek paranoia bukan hanya komunisme, melainkan juga Marxisme dan liberalisme. Wow! Mungkin memang perlu dijernihkan bahwa isme-isme itu berbeda- beda. Marxisme berbeda dari Marxisme-Leninisme, komunisme lain lagi dengan sosialisme. Sosialisme juga punya banyak ragam. Apalagi liberalisme. Istilah liberal di Amerika Serikat punya arti yang justru berarti sosialis di Eropa.
Hanya benak jernih yang akan peduli dengan aneka pembedaan ini. Namun, tentu kawanan paranoia tidak peduli kejernihan. Tidak juga peduli perbedaan Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, Marxisme sebagai ideologi, dan Marxisme-Leninisme sebagai organisasi partai. Tambahkan dengan penjelasan konyol alasan pemberangusan! Maka, apa yang diberangus justru menjadi obyek keingintahuan semakin banyak orang. Seperti yang terjadi dalam iklan, apa yang ditabukan cepat jadi obyek perhatian. Itu resep mujarab yang membuat obyek pemberangusan kian menggoda, dengan probabilitas justru jadi idiom dan mode intelektual yang keren.
Mode keren perlawanan
Inilah ironi kedua. Telah sekian dasawarsa bahkan sebagai filsafat dan teori sosial Marxisme kian surut dalam studi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan filsafat. Beberapa akademisi masih mempelajari pemikiran Marxian, itu pun dengan motif berbeda-beda. Untuk generasi para senior dekade 1960-an dan 1970-an, mereka mungkin mempelajari Marxisme dengan misi memerangi ateisme. Bagi generasi sesudah 1990-an, banyak orang mempelajari Marxisme bukan dalam rangka melawan ateisme, melainkan karena memerlukan studi itu untuk memahami secara kritis corak kapitalisme dewasa ini yang ditandai fundamentalisme pasar atau sering disebut neoliberalisme. Tetapi bila lalu disimpulkan generasi ini pemeluk ateisme dan naif, tentulah itu kekeliruan besar.
Namun, bisa dikatakan Marxisme sebagai bahan studi di dunia akademik Indonesia seperti lenyap ditelan sejarah, apalagi bagi khalayak luas. Paranoia yang terjadi hari-hari ini tak punya kaitan apa pun dengan probabilitas kebangkitan komunisme, bahkan menjadi pemantik suasana keingintahuan tentang pemikiran Marxisme yang telah lama pingsan. Dan, itu bisa saja berlanjut membawa sikap lebih sehat terhadap Marxisme sebagai bahan studi di dunia akademik.
Tentu semua itu adalah probabilitas. Apa yang lebih pasti, kini sedang berlangsung kencang olok-olok luas terhadap paranoia itu, persis dengan berbagai atribut yang ditabukan. Olok-olok itu sangat cepat menyebar dalam bentukmeme digital-meme berakar dari kata Yunani, mimema (tiruan). Polanya semakin jelas. Hampir semua meme itu mengungkapkan kelakar renyah yang menusuk kekonyolan di balik paranoia.
Contohnya, ketika berkembang anjuran menyita buku, tulisan, gambar yang berisi atribut-atribut Marxisme atau komunisme, segera meledak olok-olok berupa meme begini: "Di Google banyak gambar palu-arit, harusnya polisi segera menyita Google". Ketika dikenali konyolnya penjelasan materialisme dialektis sebagai gagasan Aristoteles, segera meledak meme berbunyi: "Jika kamu tidak mampu memukau publik dengan kepintaranmu, bingungkanlah mereka dengan kebodohanmu". Juga, "Sejak zaman Plato material soto beda-beda, kalau tidak percaya pasti ateis". Atau, meme gambar toko bahan bangunan (mungkin maksudnya di situ dijual juga sabit dan palu) bertuliskan: "Toko material PKI". Juga beredar memeolok-olok berupa gambar seorang pengkhotbah memegang buku Das Kapital-nya Karl Marx) sambil berteriak, "Buku ini ngajarin anak muda jadi kapitalis".
Polanya benderang: berbagai meme itu berkelakar mengolok-olok kekonyolan para pembuat paranoia, dengan pesan yang membuat orang tergelak-gelak dan paranoia itu sebagai lelucon. Dari situ terbentuk suasana rasa-merasa bahwa kebalikannya merupakan mode keren. Apa yang ditabukan menjadi seduktif, apalagi jika dipaksakan lewat kebodohan yang tak tertanggungkan. Apa yang ditabukan tidak hanya menjadi laris sebagai atribut pakaian dan identitas lain, tetapi juga menjadi mode dan standar kepintaran serta heroisme sikap politik.
Jika dua ironi di atas terdengar begitu konyol, ironi ketiga terdengar sedikit serius.
Kekonyolan yang kalap
Andaipun berhasil membuat paranoia menjadi massal, orang-orang konyol itu masih akan berhadapan dengan dunia perguruan tinggi, sebuah instansi tempat tak ada apa pun dianggap tabu untuk dipelajari. Di sinilah segala isme yang mau ditabukan justru perlu dipelajari sebagai bagian kurikulum. Dalam banyak hal, kekonyolan paranoia yang terjadi hari-hari ini tentang berbagai isme yang ingin ditabukan justru mengisyaratkan betapa urgen studi isme-isme itu dijadikan bagian integral kurikulum.
Studi tentang isme-isme memang tidak punya manfaat praktis, tetapi sungguh sentral bagi pembentukan daya intelektual masyarakat. Pemahaman tentang isme-isme membantu warga negara mengenali gagasan dan arah ideologis yang mendasari aneka kebijakan, juga membantu warga negara lebih sanggup menilai agenda yang tersembunyi dalam gejala seperti militerisme, fundamentalisme agama, dan fundamentalisme pasar. Dan kekonyolan yang dilakukan para pembuat paranoia persis merupakan implikasi dari kebutaan pemahaman. Bagaimana mungkin mau membela Pancasila apabila para jenderal bahkan tidak mampu membedakan isme-isme pada tingkat elementer?
Namun, lebih mendasar adalah perlunya melihat betapa miskin studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora dewasa ini tanpa kadar tertentu pemahaman atas Marxisme dalam aneka mazhabnya. Sangatlah sulit memahami cermat kaitan antara kinerja modal (keuangan) dan corak kapitalisme tanpa serius mempelajari, misalnya, buku Finance Capital (1910), karya menakjubkan pemikir Marxian, Rudolf Hilferding. Betapa miskin pemahaman atas corak kebudayaan dewasa ini tanpa mencermati karya-karya pemikir Marxian seperti Fredric Jameson. Atau, betapa kerdil kajian geografi pembangunan dan corak tata kota tanpa mendalami karya-karya ahli geografi Marxian, David Harvey, atau pemikiran Henri Lefebvre.
Ringkasnya, cara merawat kewaspadaan bangsa ini bukanlah dengan memberangus gairah memahami isme-isme yang telah menjadi bagian integral dunia pemikiran, tetapi justru dengan mendorong studi serius. Jadi, untuk apa mengipas fobia terhadap kebangkitan komunisme dan paham kiri? Itulah mainan para peternak politik (political entrepreneurs) yang sedang mencari pembakar sentimen tribal. Mereka mau memakainya seperti bagaimana sentimen agama dipakai secara kalap dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Tragisnya, apa yang cuma mainan para peternak politik bagi tualang kekuasaan itu berubah menjadi semacam keyakinan massal di antara warga biasa. Indonesia dirusak dengan cara ini.
Waktu itu, ketika teman yang menarik perhatian saya pada tulisan di spanduk itu, saya hanya memohon agar dia tidak ikut kehilangan kewarasan menyaksikan para peternak politik sedang kembali kalap mencari ancang-ancang. Lagi-lagi dengan manajemen belok kanan.
B HERRY PRIYONO
DOSEN PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar