Untuk beberapa hari kami membicarakan pengalaman itu. Di kelas, guru sejarah mengulas dengan sangat antusias. Namun, kami tidak membahas film, melainkan mendiskusikan sejarah. Tugas membuat tulisan berisi laporan menonton pun kemudian dibebankan guru sejarah itu.
Kami mulai tidak suka. Tepat ketika tulisan itu dikumpulkan, kami sudah melupakan film tersebut nyaris keseluruhannya, hingga ia muncul pada beberapa soal ujian akhir semester.
Setelah reformasi
Tiga belas tahun kemudian, 1998, reformasi terjadi. Semua logika sekonyong-konyong terbalik. Nyaris semua yang terjadi dan telah dijalani sebelum reformasi menjadi salah. Mata bangsa menatap semringah: seolah mulai melangkah dengan keyakinan telah menapaki rel lurus menuju stasiun sebaliknya dari apa yang ditempuh sebelum reformasi. Terkait hal itu pula, film G30S/PKI yang diklaim sebagai kisah kelam tahun 1965 itu juga dinyatakan keliru. Ia tidak layak ditonton.
Namun, kini, 17 tahun setelah reformasi, film itu kembali "harus" ditonton. Tak pelak, seperti mayat yang bangkit dari kubur, ia ramai diperbincangkan. Sebagian orang dengan garang mendefinisikan bahwa film itu sejarah bangsa yang harus diketahui generasi milenia sekarang, juga yang akan datang. Sebagian lain menentang dengan jalang: kita set-back, kembali ke masa lalu, rezim Orde Baru. Untuk itu semua, seperti diskusi siswa SMP 30 tahun lalu, filmnya sendiri tidak pernah didiskusikan. Ia diadili tanpa dihadirkan (in absentia). Barangkali akan sama juga dengan siswa SMP 30 tahun lalu, tidak berapa lama lagi kita akan melupakannya.
Cara melihat
Begitulah kiranya kondisi umum bangsa ini. Kita memiliki masalah dengan cara melihat atau lebih jauh cara membaca. Dalam bukunya, Ways of Seeing, John Berger (1977) antara lain menulis, cara seseorang melihat identik dengan cara berpikirnya. Artinya, seseorang sebenarnya melihat dengan pikirannya, bukan dengan matanya.
Paling tidak, pikiran melampaui tatapan. Pikiran juga lebih cepat menyimpulkan. Akan tetapi, berbeda dengan hal itu, kebanyakan dari kita rupanya bukan berpikir ketika melihat, melainkan berprasangka. Ketika melihat, prasangka lebih cepat menggiring permasalahan ke mulut untuk berkata-kata dan bertindak emosional, ketimbang membawa ke dalam pikiran untuk mengkaji dan merenungkan.
Sebab prasangka mendahului dalam melihat sedemikian, obyek atau subyek yang dilihat menjadi tidak penting. Kita pun mendiskusikan prasangka yang ada di dalam kepala masing-masing sebagai sebuah kebenaran, dengan berbagai cara. Kita tidak pernah memakai atau bahkan sekadar meminjam mata orang lain untuk melihat siapa diri kita. Semua bisa menjadi salah atau semua bisa menjadi benar.
Demikianlah, tanpa melakukan kajian (close reading) terhadap filmnya, satu pihak menyatakan bahwa semua yang dikisahkan dalam film itu benar sehingga ia wajib ditonton.
Sebaliknya, pihak lain beranggapan bahwa semua dalam film itu salah sehingga ia tidak boleh beredar. Kedua belah pihak bahkan tidak pernah bertanya hal paling mendasar sekalipun, bagaimana misalnya, film merepresentasikan realitas. Karakter prasangka memang cenderung menggeneralisasi.
Generalisasi berbasis prasangka sesungguhnya tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Faktanya, berbagai kasus kebangsaan di negeri ini tidak pernah tuntas (atau memang dibuat untuk tidak tuntas?). Kita ingin menghapus dendam bukan dengan cara meleburnya, melainkan dengan cara mengusirnya. Cara demikian, alih-alih menghilangkan dendam, ia justru menciptakan dendam baru.
Menghapus dendam
Lantas, bagaimana dendam itu sejatinya dilebur? Dalam kasus film G30S/PKI (atau tanpa PKI), hemat saya, sebagai sebuah karya film (seni) biarkan ia hidup menurut hukum-hukum film itu sendiri. Tidak perlu penguasa dan pihak lain mewajibkan atau melarangnya (tentu ini berlaku untuk film apa pun).
Saya termasuk orang yang tidak setuju ketika dulu banyak pihak mendesak agar film tersebut ditarik dari peredaran, sebab sikap itu menjadi sama saja dengan penguasa yang dulu mewajibkannya menonton. Kehendak untuk benar, kata Foucault (1990), berbanding lurus dengan kehendak untuk berkuasa juga.
Negara dan siapa pun tentu memiliki cita-cita agar negeri ini menjadi damai, demokratis, dan sejahtera. Untuk itulah, pada ihwal film, Lembaga Sensor Film yang telah didirikan sejatinya bekerja dengan independen.
Biarkan saja lembaga ini bekerja sesuai dengan hukum-hukum estetika dan etika perfilman itu. Tentu kita berhak berdiskusi, mengkritik, dan memolemikkan hasil sensornya, tetapi tidak perlu sampai mengangkat samurai untuk mewajibkan atau melarangnya.
Kritik dan polemik yang bertumpu pada teks film yang diproduksi, apa pun jenisnya, pasti berdampak baik pada dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sedangkan samurai pewajiban dan pelarangan identik dengan pemberangusan. Paling tidak, di situ terletak kepongahan.
Hadirkan keberagaman
Maka, mari bayangkan jika film tentang sejarah bangsa ini hadir dalam keberagaman sudut pandang: pro, kontra, realis, abstrak, dan lain-lain. Semua melebur: termasuk di dalamnya dendam, jika itu memang ada.
Perlu pula diingat, tentang sejarah yang telah lama lampau itu bukankah kita tidak ada saat peristiwanya terjadi; seperti juga para pelaku sejarah itu yang tidak hadir saat ini. Saksi sejarah yang masih hidup tentu bukan pelaku. Sebagai saksi, ia hanya melihat. Dalam posisi ini ia tidak bisa menghindar untuk tidak beropini atau bahkan berprasangka pula terhadap apa yang dilihatnya.
Lantas, bagaimana dengan generasi milenia yang kita anggap harus mengetahui sejarah bangsanya itu? Jika diyakini bahwa mereka generasi yang akan mengendalikan masa depan, mari dari sekarang kita belajar memercayainya.
Tidak perlu memaksa agar nama kita menjadi nama belakang mereka. Lihat, mereka lebih bertenaga dan cerdas. Tentu saja lebih muda!
ACEP IWAN SAIDI
Dosen Sekolah Pascasarjana Seni Rupa dan Desain ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar