Idul Kurban secara bahasa artinya adalah hari raya untuk mendekatkan diri. Menurut Khalil Al-Farahidi (2000) kataqurban diderivasikan dari kata qarabayang artinya dekat, mendekat, dan mendekatkan diri. Artinya qurban adalah upaya mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhan-nya. Jalan yang ditempuh adalah dengan cara menyembelih sifat-sifat hewaniah yang tersimbolisasikan dalam wujud binatang sembelihan.
Ritus menyembelih binatang kurban dalam konteks ini adalah metafor untuk melukiskan bahwa ketundukan dan kepasrahan seorang hamba itu salah satunya harus melalui fase menyembelih sifat-sifat hewaniah yang ada di dalam dirinya. Tentu saja sifat hewaniah yang disebut adalah sifat-sifat yang berujud negatif dan cenderung libidoistik. Sebagai seorang hamba, sifat-sifat itu harus dinegasikan, dihilangkan, dan dibersihkan. Sebab sifat-sifat inilah yang menjadi hijab bagi terbukanya intuisi yang bisa mengoneksikan hubungan seorang hamba dengan Tuhan-nya.
Simbolisme metaforik
Sejatinya, jika direnungkan lebih dalam peristiwa turunnya ajaran kurban memiliki dimensi simbolik dan metaforik sangat luar biasa. Dalam mengajarkan hambanya, cara yang ditempuh sangatlah halus. Ia tidak serta-merta mengajarkan dan mendikte secara "gamblang", tetapi sebaliknya dengan cara yang cenderung sublim, indah, bahkan metaforik.
Dalam konteks ajaran berkurban ini, misalnya, betapa Tuhan mengajarkan betapa pengorbanan itu berat untuk dilakukan. Ibrahim sepuh—yang sekian lama menantikan kehadiran seorang putra—harus bertarung dan mempertaruhkan cintanya kepada anaknya yang berusia kanak-kanak sebagai "sesembahan" dan "kurban" kepada Tuhan.
Ibrahim adalah nabi. Sebagian sejarawan Muslim dan para teolog menyebutnya sebagai abul anbiya. Bapaknya para nabi. Cintanya kepada Allah sangat besar, begitu pula cintanya kepada putranya yang baru lahir. Pada saat seperti itulah, Allah menguji cinta Ibrahim. Cinta diadu dengan cinta. Cinta Ibrahim kepada Allah "diadu" dengan cinta Ibrahim kepada anaknya. Ibrahim tentu saja dengan kecamuk yang luar biasa merelakan untuk menuruti perintah Allah dengan menyembelih anaknya yang bernama Ismail itu.
Pengorbanan yang berbalur keikhlasan akhirnya membuahkan hasil. Ismail tidak jadi terkorbankan karena Allah menggantinya dengan kambing yang dibawa oleh Jibril AS. Simbolisme yang metaforik ini adalah salah satu cara Tuhan dalam mengajarkan kepada umat manusia bahwa betapapun agama harus disampaikan dengan cara-cara santun dan indah. Perjuangan dan pengorbanan Ibrahim berujung manis tatkala mendapati Ismail—dengan senyum keikhlasannya—berhasil menuntaskan ujian dari Allah SWT tersebut.
Dalam konteks kebangsaan, ajaran kurban memiliki nilai-nilai yang relevan untuk diteladani saat ini. Nilai-nilai itu antara lain: ihwal nilai pengorbanan. Apa yang dilakukan oleh Ibrahim adalah pengorbanan yang luar biasa. Ia mengesampingkan dan menegasikan egonya. Jika Ibrahim egois dan temperamental, bisa saja ia menggugat dan menggerutu kepada Tuhan. Bukankah jawaban atas doa-doanya selama berpuluh-puluh tahun yang memohon keturunan baru saja terkabulkan, tetapi di saat yang tidak terlalu lama, Allah mengujinya dan tak tanggung-tanggung memintanya menyembelih anak yang dinanti-nantikan puluhan tahun itu. Ibrahim terpukul, tentu saja. Namun, ia belajar mengendapkan egonya. Ia menegasikannya. Ia belajar mengikhlaskan rasa cinta kepada anaknya demi rasa cinta kepada Tuhan-nya.
Kurban dan Indonesia
Pun demikian pula, dalam berbangsa dan bernegara yang berbahan baku bineka seperti Indonesia yang pertama-tama harus kita negasikan adalah ego masing-masing di antara kita. Jika masing-masing mengedepankan egonya, yang terjadi adalah perpecahan. Para pendiri negara kita sudah memberikan contoh yang nyata. Dengan penuh kesadaran dialektika menegasikan egosentrime itu terekam dalam perumusan Pancasila.
Kita tidak bisa membayangkan betapa jika tiap pihak saling ngotot dengan egonya masing-masing. Bukan ukhuwah atau persaudaraan yang terjalin, melainkan sebaliknya, perpecahan menjadi sebuah keniscayaan.
Watak dan sikap yang demikian itu sejatinya tidak akan pernah kita temukan jika corak masyarakat kita terdiri dari pribadi-pribadi yang tertutup dan tidak kosmopolit. Pada masyarakat yang demikian ini yang terjadi adalah penajaman egosentrisme. Cenderung tidak mau "ngalah". Istilah yang disebut terakhir adalah istilah kebudayaan yang hanya bisa kita temukan dalam kebudayaan masyarakat kosmopolit seperti kita. Ngalah adalah dimensi yang berada di atas kategori oposisi biner menang-kalah. Ngalah bukan kalah.Ngalah adalah keadaan kelapangan hati dan pikiran untuk mengapresiasi apa yang ada di luar diri kita sebagai bentuk rasa menghormati dan menghargai.
Dari sisi kemanusiaan, dalam hal ini ajaran kurban memberikan pesan kepada kita semua bahwa sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat hidupnya bagi sesama. Kebermanfaatan itu tentu saja merupakan dimensi sosial dalam beragama. Ajaran kurban dengan jalan menyembelih hewan ternak dan membagi-bagikannya kepada kaum yang berhak merupakan ajaran luhur soal bagaimana berbagi dan menghargai kemanusiaan.
Pesan ini sangat kuat dan penting untuk direnungkan di tengah gejala kehidupan yang sangat tak menghargai kemanusiaan akhir-akhir ini. Saat dunia diliputi dengan pelbagai pandangan hidup yang negatif seperti individualisme dan premanisme sebagaimana terjadi pada peristiwa pembakaran pencuriamplifier mushala di Bekasi, makna ajaran kurban menjadi penawar dengan ajaran kemanusiaan dan indahnya berbagi terhadap sesama.
Saat ini kita berhadapan dan berkubang dalam kehidupan yang hitam putih. Kebenaran harus selalu memakan korban. Orang menjadi benar dengan cara menempatkan pihak lain yang di seberangnya sebagai pihak yang salah, selalu salah, dan bila perlu harus salah. Kebenaran harus dibangun di atas kesalahan pihak lain yang tidak berada satu posisi dengan kita. Demikianlah kenyataannya.
Tidak ada posisi netral lagi. Yang ada adalah hitam putih yang berhadap-hadapan. Masyarakat yang demikian terpolarisasi seperti ini harus disadarkan agar kembali kepada nilai-nilai sejati agama. Agama mengajarkan kita untuk menjadi benar dengan tanpa menyalahkan pihak lain. Bukanlah suatu kebenaran jika ia harus memakan korban, demikian Khalil Abdul Karim (2007) berkata.
Alakullihal, momen Idul Kurban atau Idul Adha ini penting untuk kita maknai sebagai titik pijak untuk terus merenungkan bagaimana penghargaan kita terhadap nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama. Tanpa permenungan dan penghayatan yang baik, agama hanya akan berhenti pada sebatas ritual yang simbolik dan tak bermakna. Selamat Idul Adha. Selamat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wwallahu a'lam bis-sawab.
A HELMY FAISHAL ZAINI, SEKRETARIS JENDERAL PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Kurban dan Pesan Kemanusiaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar