Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 September 2017

ARTIKEL OPINI: Wajah Media Kebencian  (DODDY SALMAN)

Desakan Presiden Joko Widodo untuk mengungkap tuntas kelompok Saracen beserta konsumennya menandai babak baru keseriusan pemerintah mengikis habis produsen narasi kebencian (Kompas, 28/8).
HANDINING

Saracen menggunakan media sosial sebagai wahana penyebar narasi kebencian dan menjualnya sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi. Narasi kebencian tersebut diproduksi sesuai pesanan konsumen dan diviralkan lewat ribuan akun media sosial.

Pelajaran dari Rwanda

Ideologi media sosial yang mudah memproduksi sekaligus mendesiminasi informasi, tanpa sensor dan syarat, memang membuat narasi kebencian begitu mudah dilempar ke publik. Meskipun demikian, sejarah mencatat narasi kebencian sudah disebarkan melalui media jauh sebelum dunia siber lahir dan mewabah seperti saat ini. Kasus pembantaian besar-besaran dan sistematis—dengan maksud membuat punah—terhadap satu suku bangsa atau kelompok di Rwanda menjadi contoh bahwa media konvensional pun dapat menjadi media kebencian.

Awal Desember 2003, Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Ferdinand Nahimana, Hassan Ngeze, dan Jean-Bosco Barayagwiza. Mereka bertiga dinyatakan bersalah menggunakan media untuk menyerang dan menghancurkan kemanusiaan di Rwanda. Nahimana dan Barayagwiza adalah pendiri radio Radio-Television Libre des Milles Collines (RTLM). Sementara Ngeze adalah pemimpin redaksi surat kabar Kangura.

Mereka menyebabkan kematian ribuan warga Rwanda melalui radio dan surat kabar. Senjata mereka hanyalah ujaran kebencian dan provokasi melakukan kekerasan yang disuburkan melalui media. Akibatnya, terjadi genosidasuku Tutsi oleh suku Hutu. Selama tiga setengah tahun 800.000 sukuTutsi diperkirakan dibantai suku Hutu (Thompson, 2007).

Sidang Mahkamah Internasional yang dijuluki pengadilan media (media trial) menyimpulkan Kangura dan RTLM secara eksplisit dan terus-menerus tanpa henti menjadikan suku Tutsi sebagai target kehancuran. Melalui kedua media itu, suku Tutsi dikutukdan disamakan dengan iblis serta dilabeli sebagai musuh sehingga wajib dimusnahkan karena mengancam kestabilan politik (Thompson, 2007).

Putusan terhadap insan media ini mendapat perhatian kalangan media internasional. Alih-alih mengecam putusan yang merugikan media, tajuk rencana harian The New York Timesjustru memuji putusan pengadilan tersebut dan menegaskan bukan merupakan ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Menurut Times, putusan tersebut mendemonstrasikan masyarakat internasional menuntut keadilan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan (Monasebian, 2007).

Studi yang dilakukan Mark Frohardt dan Jonathan Temin (2007) menunjukkan, media tidak hanya mengabarkan terjadinya konflik, tetapi juga berkontribusi dalam pembentukan konflik meskipun tidak disengaja. Hal ini rentan terjadi di negara dengan multi-etnik daripada negara dengan etnik yang sama (homogeneity). Kondisi ini ditunjang dengan buruknya keterampilan jurnalis, media yang sedang berkembang, dan tidak adanya media independen.

Sejak awal berdiri, RTLM menjadi media propaganda pemerintah. Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana menunjuk Ferdinand Nahimana, Guru Besar Sejarah Universitas Nasional Rwanda, menjadi Menteri Penerangan Rwanda sekaligus memimpin RTLM. Dalam praktiknya, RTLM berusaha melampaui jangkauan jumlah masyarakat yang sudah dicapaiKangura. Dengan kemampuan sebagai media yang langsung diterima publik melalui suara para penyiarnya, RTLM meningkatkan ketakutan dan kekalutan serta menyulut tindakan kekerasan pendengarnya sebagai bagian dari bela diri.

Penyubur atmosfer ketakutan

Memproduksi konten ketakutan dan kekalutan adalah konstruksi yang diciptakan media penyebar kebencian. Media meyakinkan publik bahwa tindakan ofensif adalah pertahanan sesungguhnya. Setidaknya ada empat strategi media untuk menyuburkan atmosfer ketakutan (Frohardt dan Temin, 2007). Pertama, fokus pada konflik masa lalu dan sejarah dendam etnis. Dengan memunculkan pertikaian masa lalu, luka lama kembali muncul. Gerakan 30 September (G30S), pertikaian antar-etnis, dan pribumi non-pribumi adalah sebagian bukti perbendaharaan kata yang digunakan membangkitkan luka lama di Indonesia.

Strategi selanjutnya adalah memanipulasi mitos, stereotip, dan identitas.Hal ini dilakukan dengan pelabelan kelompok musuh sebagai bukan manusia. Suku Tutsi dilabeli sebagai kecoak oleh media di Rwanda. Pelabelan sebagai bukan manusia itu memberi pembenaran untuk melakukan tindakan pembunuhan. Termasuk pula membingkai kelompok lawan sebagai irasional mendorong pembenaran melakukan tindakan ofensif berujung kekerasan.

Penyuburan ketakutan dan kekalutan oleh media juga dilakukan dengan menyebarkan narasi keluhan ketidakadilan atau kekejaman tertentu. Penistaan atau penghinaan terhadap agama atau tokoh masyarakat tertentu atau tuduhan sebagai rezim utang dan ketidakadilan ekonomiadalah narasi keluhan atas ketidakadilan yang populer di masyarakat. Ini strategi yang ketiga.

Strategi keempat adalah secara konsisten menarasikan reportase negatif. Kunci strategi ini adalah perubahan. Jika sejak awal situasi memang buruk, pemberitaan negatif tidak akan banyak berpengaruh. Namun, perubahan signifikan dari semula nyaman mendadak menjadi tidak nyaman akan menggiring penciptaan reportase negatif dan pesimistis. Kondisi ini mendorong kesan negara dalam kondisi yang buruk dan mendukung pembenaran orang atau sekelompok masyarakat mengubah situasi dengan tindakan kekerasan. Menyoroti kegagalan pemerintah tanpa mengangkat secuil pun keberhasilannya dengan bungkus mengkritisi pemerintah adalah salah satu contohnya.

Keempat strategi ini bermuara pada penciptaan atmosfer ketakutan yang mewujud pada keyakinan bahwa konflik adalah hal yang tak terelakkan. Masyarakat sebagai audience media akan pasrah dan upaya pencegahan konflik sejak awal dinilai sia-sia. Media membingkai konflik sebagai bagian proses abadi sehingga kesan konflik pun pasti terjadi. Kondisi ini terlihat ketika media mempromosikan identitas primordial, mengutamakan suatu kelompok, dan menegaskan sejak awal perdamaian dengan kelompok tertentu mustahil terjadi.

Keempat strategi ini adalah wajah media kebencian. Dalam praktik keseharian, wajah kebencian dapat ditutupi topeng kebebasan pers, sikap kritis kepada rezim berkuasa, atau bahkan keyakinan pada keimanan.Kesadaran bahwa media konvensional pun dapat jadi aktor penyebar kebencian kiranya dapat menambah kewaspadaan masyarakat. Bahwa, media tidak hanya mengabarkan konflik, tetapi juga memiliki potensi menumbuhkan konflik.

DODDY SALMAN, DOSEN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2017, di halaman 7 dengan judul " Wajah Media Kebencian ".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger