Secara substansi, naskah itu justru mementahkan kerja keras dan negosiasi politik yang dilakukan Komisi I DPR, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain demi menghasilkan sebuah RUU yang sebesar-besarnya melayani kepentingan publik. Dengan ritme kerja legislasi seperti ini, tak cukup jelas apakah UU Penyiaran baru dapat diresmikan segera dan Indonesia bisa memenuhi tenggat waktu migrasi digital sesuai kesepakatan regional ASEAN pada 2020.
Lalai atau berpihak?
Kalaupun UU Penyiaran bisa diresmikan tahun depan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tetap memerlukan waktu cukup banyak untuk bisa menjalankan mandat UU tersebut, mulai dari membuat peraturan turunan, merapikan infrastruktur, menetapkan badan-badan layanan baru, hingga mengalokasikan subsidi kepada masyarakat. Tahapan ini adalah proses besar dan rumit yang sangat sulit untuk dikejar hanya dalam dua tahun.
Tenggat waktu 2020 juga akan sulit dicapai mengingat draf versi Badan Legislasi (Baleg) DPR ini tidak menetapkan tanggal Analog Switch-Off (ASO) total. Dalam naskah Baleg, ASO hanya ditentukan secara umum dengan memandatkan periode pelaksanaan yang juga cukup longgar. Stasiun televisi sudah harus mematikan siaran analog mereka "paling lambat lima tahun terhitung sejak dikeluarkannya, cetak biru migrasi digital".
Penentuan ASO dengan cara ini bisa berujung pada penundaan berkepanjangan. Tanggal ASO total perlu ditentukan di dalam UU demi mencegah penguluran waktu oleh stasiun-stasiun televisi menghentikan siaran analog mereka.
Dalam proses migrasi digital di indonesia, stasiun televisi yang paling lama bertahan di analog akan bisa meraup keuntungan iklan sangat besar di periode terakhir migrasi, sebuah masa di mana sebagian besar stasiun-stasiun lain sudah mematikan siaran analog mereka dan sudah berpindah ke siaran digital. Mengapa? Karena pada masa transisi tersebut industri periklanan akan mengalami kevakuman sementara. Pasar iklan di televisi digital belum terbentuk.
Penundaan ini tipikal dilakukan karena pengiklan akan beranggapan sebagian besar pemirsa akan tetap menonton siaran analog hingga saat-saat terakhir. Alokasi iklan televisi terbesar akan tetap berada di siaran analog hingga saat-saat terakhir. Dengan demikian, karena tak adanya insentif untuk mematikan siaran analog sesegera mungkin, bisa kita bayangkan bahwa sebagian besar televisi, terutama yang memiliki kuota iklan yang besar, seperti televisi berjaringan nasional, akan menunda ASO mereka hingga detik-detik terakhir.
Penentuan tanggal ASO totaldalam UU menjadi sangat penting. Sebab, digital dividen tidak bisa "dipanen" oleh negara jika masih ada segelintir stasiun televisi yang bersiaran analog. Digital dividen adalah spektrum yang tersisa dari proses migrasi digital yang bisa digunakan untuk berbagai manfaat, seperti sistem peringatan kebencanaan atau penambahan kapasitas internet. Nilai spektrum ini sangat tinggi dan besar manfaatnya bagi negara dan masyarakat. Digital dividen baru bisa dimanfaatkan jika sudah tidak ada lagi siaran televisi analog yang mengudara.
Lalainya Baleg menentukan tanggal ASO secara tegas dalam naskah RUU secara tidak langsung memperlihatkan keberpihakan Baleg kepada industri televisi dengan jaringan nasional. Apalagi, jika kita ingat bahwa dalam beberapa negosiasi penulisan UU Penyiaran, beberapa stasiun berjaringan nasional sudah menyatakan sebenarnya tak ingin bermigrasi karena tak inginstatus quo pasar analog yang sudah mereka dominasi terganggu. Bagi stasiun televisi lokal dengan jaringan terbatas, keuntungan dari iklan untuk menunda ASO tak terlalu besar, sedangkan bagi stasiun dengan jaringan nasional penundaan ASO bisa berarti penguasaan sementara keseluruhan pasar iklan.
Selanjutnya, yang perlu dicantumkan dalam RUU penyiaran baru bukan hanya tanggal ASO total, melainkan juga sanksi keterlambatan yang sangat keras. Dengan demikian, tidak akan ada stasiun yang akan menunda-nunda migrasi demi keuntungan pribadi.
Bahasa yang mendua
Terlepas dari longgarnya tenggat waktu ASO total, naskah Baleg juga kekurangan banyak soal prinsip-prinsip penting yang harusnya ada dalam kebijakan teknologi komunikasi selevel UU. Walaupun Mahkamah Agung sudah memutuskan migrasi digital harus diatur di tataran UU, pengaturan di tingkat itu hanya perlu mengatur prinsip-prinsip dasar agar tak menghambat perkembangan teknologi di masa depan.
Bagi sebuah negara demokrasi baru seperti Indonesia, di mana ketakpastian kebijakan sering kali berdampak buruk pada ekosistem industri dan iklim investasi, pengaturan secara rinci di tataran UU memang dapat meningkatkan kepercayaan publik dan industri atas kebijakan tersebut. Namun, bagi industri dengan perputaran teknologi yang sangat cepat seperti penyiaran dan telekomunikasi, penentuan jenis teknologi di tingkat UU justru bisa menghambat inovasi di masa depan. Indonesia justru bisa kehilangan fleksibilitas untuk mengganti atau mengadopsi teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan bangsa karena kerepotan birokrasi.
Padahal, negara-negara berkembang seharusnya bisa diuntungkan dari prosesleapfrogging, sebuah konsep pembangunan di mana negara berkembang bisa melompati jenis-jenis teknologi tertentu yang dianggap tidak efisien untuk kemudian langsung mengadopsi teknologi selanjutnya.Leapfrogging sulit dilakukan jika pergantian teknologi harus melalui proses pergantian UU.
Ironisnya, naskah RUU versi Baleg yang sama justru terlalu mengambang. Prinsip-prinsip kebijakan dan pendekatan infrastruktural penting yang sudah banyak diterapkan negara-negara maju dalam bermigrasi justru tidak disebutkan sama sekali dalam naskah Baleg.
Salah satu contoh terpenting adalah prinsip open access network atau jaringan layanan terbuka. Kebijakan jaringan layanan terbuka adalah prinsip kebijakan horizontal dalam telekomunikasi (dan penyiaran) yang memisahkan antara industri layanan jaringan dan pengadaan infrastruktur. Perusahaan yang sudah berbinis di industri konten tidak boleh berinvestasi di ranah infrastruktur. Prinsip kebijakan ini sangat krusial untuk dinyatakan dalam UU demi menjamin keadilan persaingan usaha.
Jaringan layanan terbuka di negara-negara maju seperti Amerika Serikat telah terbukti sebagai pendekatan kebijakan dan infrastruktural paling efektif dalam memenuhi kebutuhan publik. Misalnya, meningkatkan kualitas dan kecepatan internet, menurunkan harga layanan bagi konsumen, serta mempercepat pemerataan akses internet ke masyarakat luas, termasuk daerah terpencil. Naskah Baleg justru tidak memandatkan keterbukaan jaringan semacam itu, tetapi justru memandatkan secara terinci mengenai insentif untuk bermigrasi bagi stasiun-stasiun televisi yang sudah ada, seperti potongan pajak dan mendapatkan prioritas kanal digital.
Keberpihakan implisit Baleg pada industri juga tecermin dalam hilangnya beberapa pasal penting yang merupakan bagian krusial dari UU Penyiaran 2002. Pasal-pasal mengenai larangan iklan rokok dan sistem siaran jaringan tidak disebutkan sama sekali dalam draf tersebut.
Naskah Baleg ditulis dengan bahasa kebijakan yang selektif, bertumpu pada beberapa fungsi: pencantuman rinci akan memastikan dipenuhinya hak industri oleh negara, sedangkan kemenduaan atau penghapusan pasal memberi celah untuk implementasi yang longgar atau pengabaian total oleh industri.Kalau sudah begini, sebagai bangsa kita perlu bertanya, apakah sebenarnya fungsi UU: melindungi kepentingan masyarakat atau melayani kepentingan industri?
DIANI CITRA, KANDIDAT DOKTOR COLUMBIA UNIVERSITY, AS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Menafsir Draf RUU Penyiaran Versi Badan Legislasi DPR".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar