Terukur-struktural artinya bahasa menjadi legitimasi atas kekuatan (politik) tertentu. Misalnya muncul istilah ghettountuk merujuk pada kaum miskin kulit hitam (untuk wilayah Amerika) yang hidup di permukiman kumuh dan rata-rata berpendidikan rendah. Sebaliknya, muncul istilah "pig" (babi) oleh kaum militan kulit hitam terhadap polisi kulit putih.
Selain itu, pada 1975-an, yaitu era pasukan komunis Khmer Merah Pol Pot menyerbu Kamboja, misalnya, orang-orang meneriakkan "Angkar! Angkar! Angkar!" untuk legitimasi kemenangan komunis dan kemungkinan didirikan negara komunis. Orang yang berseberangan, atau ketahuan bukan bagian dari legitimasi Angkar itu, akan dianggap kaum borjuis (musuh komunis) dan berakhir di kubangan mayat dengan sia-sia (tanpa peradilan).
Terkait dengan komunis, sekitar 1965, Indonesia juga mencatat istilah "komunis" bagi para aktivis dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian secara struktural menjadi sebuah cap sebagai "pemberontak" Pancasila sehingga pantas untuk dimusnahkan (dibunuh atau diasingkan).
Cap-cap itu bahkan berlanjut hingga beberapa periode, yang menurut pengakuan dan saksi sejarah tidak semua yang dituduhkan itu benar adanya karena minim peradilan yang seadil- adilnya.
Kemudian, Indonesia juga pernah mencatat istilah dengan unsur kejam nan tajam, misalnya "Cina" untuk legitimasi "bukan pribumi Indonesia" sekaligus disertai beragam kekerasan sekitar Mei 1998. Padahal, pribumi Indonesia sendiri masih dalam tanda tanya dari etnis mana, berasal dari mana.
Namun, sekali lagi, secara terukur dan terstruktur, direstui oleh kekuatan-kekuatan sosial ataupun kultural, istilah itu sudah menjadi "cap" sekaligus legitimasi sehingga orang mudah untuk mengotak-ngotakkannya. Setelah terkotak, dalam ruang- ruang tersendiri, orang mudah mengamati, menjauhi, membenci, bahkan melakukan kekerasan terhadapnya.
Catatan-catatan itu seolah- olah "enggak ada matinya". Sampai detik ini, kita mencatat bahasa-bahasa (tuduh) baru. Entah dalam kaitannya dengan politik, agama, ras, suku dan lain sebagainya. Atau, kalaupun bahasanya (baik bahasa tuduh maupun kekerasan bahasa) tidak baru, bisa saja kita mereproduksi bahasa lama dengan kasus baru.
Tanpa sebuah fakta-kebenaran yang jelas, bahasa yang terukur dan terstruktur ini akan mengakar dan kemungkinan terulang dari masa ke masa.
Bahasa tuduh
spontan-insidental
Level yang paling sederhana, tetapi tidak kalah kejam nan tajamnya adalah bahasa tuduh spontan-insidental. Bahasa ini beredar secara lisan di level menengah ke bawah masyarakat kita. Misalnya, dalam satu kesempatan ada seseorang yang mungkin adalah "copet", "maling", dan sebagainya, lalu sekelompok orang meneriakinya keras-keras.
Umumnya pada level ini sedikit sekali bersinggungan dengan proses hukum (meski ada juga yang tersentuh proses hukum). Cap "copet", atau "maling" ini seolah-olah melegitimasi sekelompok orang (siapa saja) yang dominan (bukan copet, bukan maling) untuk melakukan peradilan terhadapnya. Peradilan dimaksud umumnya bukanlah peradilan terukur dan terstruktur, melainkan peradilan spontan dan insidental.
Peradilan ini bukan model meja hijau; ada hakim, jaksa, pembela, melainkan model kekerasan. Bukan palu diketuk di meja, melainkan batu, kayu, kepalan tangan, tendangan kaki, langsung mendarat kepada orang yang kena tuduh dan cap "copet" atau "maling".
Apabila hal ini dibiarkan, yang terjadi di masa yang akan datang adalah munculnya warisan kultural dalam memori tiap masyarakat bahwa tertuduh "copet" atau "maling" boleh diapakan saja oleh siapa saja, bahkan dihilangkan nyawanya dengan cara- cara yang mereka ciptakan sendiri secara spontan-insidental. Warisan itu mungkin tidak tertulis, tidak terukur-terstruktur, tetapi melekat dalam gudang pengetahuan tiap orang. Hemat saya, ini berbahaya!
Alangkah baik jika yang tertanam dalam nurani, memori, dan ingatan-ingatan kultural kita adalah budaya "tidak asal tuduh" sehingga bahasa tuduh tidak pernah ada! Oleh karena itu, legitimasi kekerasan terhadap tertuduh terhapus sama sekali dari gudang pengetahuan atau warisan kultural masyarakat kita.
Mungkin kita bisa bersikap layaknya Hersri Setiawan, eks tahanan Pulau Buru, yang pernah berjuang menghadapi penyiksaan yang menurut dia tidak seimbang. Ia pernah diminta membunuh tikus oleh istrinya (dalam buku Memoar Pulau Buru I).
Dengan menenteng tongkat pemukul, ia sudah bersiap mencabut nyawa tikus itu. Tongkat pemukul sudah diangkatnya tinggi-tinggi, tetapi bukan pukulan yang mendarat—justru getaran hebat menyerang lengan dan tangannya. Ia tidak kuasa mengayun tongkatnya itu. Tikus yang disasarnya sama sekali tidak bergerak, tidak bersuara, hanya berkedip-kedip.
Akhirnya ia ambil ekornya, bukan tidak untuk dibanting di lantai, melainkan dibuang ke pekarangan kosong sambil bergumam, "Biarlah ia mati tanpa terampas cintanya. Biarlah ia mati tanpa terampas hidupnya. Biarlah ia mati dalam kemerdekaan". Jadi, sebaiknya kita tidak menciptakan atau mereproduksi bahasa tuduh!
JOKO SANTOSO, PENGAMAT DAN PENELITI BUDAYA, MEDIA, BAHASA, DAN SASTRA; DOSEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Bahasa Tuduh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar