Kehadiran Lembaga Penjamin Polis (LPP) tampaknya sangat dibutuhkan. Kasus pencabutan izin usaha PT Bumi Asih Jaya dan PT Asuransi Jiwa Nusantara pada 2013, lalu PT Asuransi Jiwa Bakrie dan PT Asuransi Raya pada 2016, dan terakhir PT Asuransi Bumi Putra pada 2017 seolah menjadi bukti validnya.
Bagi masyarakat, keberadaan LPP tentu akan meningkatkan kepercayaan terhadap industri asuransi karena polisnya dijamin oleh regulator keuangan. Bagi industri asuransi, LPP jadi jaring pengaman terakhir seandainya (dalam kondisi sangat ekstrem) mengalami kegagalan finansial.
Tanpa jasa asuransi, nasabah harus menanggung sendiri risikonya. Kalkulasi dana untuk menalangi risiko yang dihadapi niscaya lebih besar daripada kemampuan finansialnya. Berbasis pada kaidah probabilitas dan hukum bilangan besar (the law of large numbers), asuransi mulai menjalankan fungsi proteksi.
Jika klaim nasabah lebih besar daripada premi yang terhimpun, lembaga asuransi harus mencari sumber pembiayaan lain. Dengan skema kerja ini, asuransi akan mengalokasikan dananya ke berbagai instrumen portofolio untuk mendapatkan imbal hasil. Semakin besar investasi yang dialokasikan, semakin tinggi pula ekspektasi pendapatannya.
Hasrat ekspansi ke berbagai macam bentuk investasi didukung oleh informasi yang tidak simetri antara nasabah dan lembaga asuransi. Nasabah sangat minim informasi atas dananya yang disetor sehingga tidak bisa ikut mengontrol ke mana alokasi portofolionya.
Problem informasi asimetris juga eksis antara perusahaan asuransi dan instrumen portofolionya. Kebanyakan lembaga asuransi tak memiliki informasi yang komprehensif atas instrumen portofolio pilihannya. Pengetahuan perusahaan asuransi terbatas hanya dari prospektus yang hanya ada di atas kertas.
Informasi asimetris semacam ini berpotensi memunculkan perilaku sembrono. Indikasinya adalah keberanian perusahaan asuransi menanggung risiko berlebih guna mengejar imbal hasil yang lebih tinggi. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara kepentingan nasabah dan perusahaan asuransi itu sendiri.
Dengan konfigurasi problematika di atas, hambatan paling mendasar dalam pembentukan LPP adalah persoalan siapa yang akan jadi target penjaminan. Apakah perusahaan asuransi atau nasabah. Jika penjaminan ditujukan bagi perusahaan asuransi, fungsi itu sudah dilakukan oleh lembaga reasuransi.
Kerumitan akan muncul saat skema asuransi melibatkan beberapa pihak. Beberapa produk asuransi menawarkan keterkaitan pihak ketiga. Misalnya nasabah terhadap kredit bank dengan perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Untuk produk semacam ini, pihak mana yang akan dijamin harus terjawab lebih dulu.
Apabila penjaminan ditujukan untuk nasabah, fungsi LPP jadi mirip Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi nasabah perbankan. Analoginya, LPP akan menjamin nilai premi yang sudah dibayarkan selama masa pertanggungan. Jika yang dijamin adalah polisnya, lagi-lagi, LPP tidak berbeda dengan perusahaan reasuransi.
Opsi mana pun, LPP harus memiliki dana. Persoalan berikutnya: dari mana dana penjaminan diperoleh. Mengharapkan talangan dari dana APBN jelas tidak mungkin. Dana penjaminan pada gilirannya akan dibebankan pada industri asuransi itu sendiri. Modelnya bisa dana gotong royong (ad hoc) di saat kejadian ada perusahaan asuransi yang ditutup. Model ini dipandang lebih meringankan bagi LPP yang akan dibentuk.
Model yang lebih lazim adalah iuran sebagaimana berlaku di LPS. Konsekuensinya, LPP harus jadi institusi permanen. Implikasinya, semua perusahaan asuransi wajib jadi anggota dan mengiur ke LPP. Karakteristik ini sekaligus sebagai pembeda terhadap fungsi perusahaan reasuransi yang sifatnya sukarela.
Besaran iuran bisa ditetapkan atas jumlah nasabah, nilai aset, pendapatan premi, laba usaha, klasifikasi risiko yang ditanggung, atau nilai klaim pertanggungan. Formatnya bisa sama (flat) untuk semua perusahaan asuransi atau bervariasi mengikuti kriteria tertentu yang berbasis besaran potensi gagal finansial.
Iuran perusahaan asuransi kepada LPP pasti akan digeserkan kepada nasabah dalam bentuk premi yang lebih mahal. Hal ini niscaya akan berimbas pada persaingan pasar antara perusahaan asuransi domestik dan pemain asing. Padahal, perusahaan asing masih mendominasi industri asuransi di Indonesia.
Bagi LPP yang mengelola dana iuran kemungkinan bisa mengalami defisit. Berkaca dari keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), LPP dihadapkan antara pengalokasian dana untuk penjaminan polis dan kebutuhan operasionalnya. Kemungkinannya hanya dua: LPP minta dana dari APBN atau reasuransi.
Alhasil, OJK (regulator) bersama Kementerian Keuangan (mewakili pemerintah) harus mampu mendesain LPP sehingga punya kapasitas untuk menanggulangi berbagai isu di atas. Isu yang paling fundamental: apakah dengan pembentukan LPP paradigma perusahaan asuransi akan berubah, ataukah sebaliknya moral hazardsemakin subur lantaran sudah ada lembaga yang jadi "penjaga gawang"-nya.
Quo vadis industri asuransi?
HARYO KUNCORO, DIREKTUR RISET SEEBI (THE SOCIO-ECONOMIC AND EDUCATIONAL BUSINESS INSTITUTE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar