Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 September 2017

Dewan yang Terhormat (ABDILLAH TOHA)

Pembaca boleh saja tidak setuju, tetapi menurut pendapat saya, Dewan Perwakilan Rakyat kita kali ini adalah DPR yang terburuk sejak reformasi 1998.

Dimulai dengan pemilihan pimpinan DPR yang dilakukan dengan manuver dan manipulasi tata tertib serta aturan main sehingga partai terbesar yang menang dalam pemilihan legislatif tidak terwakili dalam jajaran pimpinan DPR. Penguasaan pimpinan DPR dilakukan oleh koalisi pendukung calon presiden yang kalah pada pilpres lalu dengan tujuan menguasai legislatif karena gagal menguasai eksekutif. 

Inilah DPR yang dipimpin ketua yang sempat diadili oleh Mahkamah Kehormatan DPR karena dugaan melanggar etika dengan mencatut nama presiden RI. Sekarang orang yang sama menjadi tersangka kasus korupsi KTP-el. Di jajaran pimpinan DPR juga duduk seorang wakil ketua yang dipecat oleh partainya dan praktis tidak berpartai, padahal jajaran pimpinan DPR secara tradisional mewakili fraksi-fraksi yang meraih kursi di DPR. 

Di kepemimpinan DPR ini juga tersebar berita salah seorang wakil ketuanya menekan KPK dengan menggunakan wibawa lembaganya untuk menunda proses penyidikan koleganya yang tersangka korupsi. Menurut versinya, dia sekadar menyalurkan aspirasi anggota masyarakat, padahal sebelum ini tidak pernah terdengar darinya suara menyalurkan aspirasi rakyat banyak.

Memusuhi antikorupsi

Wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR ini jugalah yang saat ini mengambil prakarsa untuk melawan kekuatan-kekuatan antikorupsi dengan menciptakan angket KPK yang sehari-hari kerjanya mencari kesalahan dan menyudutkan KPK serta ingin sekali memangkas kewenangan KPK. Bahkan pernah terucap bila perlu membubarkannya setelah sebelumnya mengancam untuk membekukan anggaran KPK.

Mereka tidak peduli apakah KPK didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia atau tidak. Tidak peduli apakah korupsi akan menggerogoti wibawa dan keuangan negara, tidak peduli dan bahkan terang-terangan mengibarkan bendera yang melindungi koruptor atau diduga korupsi sebagai pahlawan yang harus diperjuangkan nasibnya.

Inilah DPR yang anggota-anggotanya banyak terlibat atau diduga terlibat atau namanya disebut dalam berbagai kasus korupsi meski perbuatannya yang melanggar hukum itu sebagian terjadi pada periode DPR sebelum ini. DPR ini jugalah yang sangat ingin dihormati ketika dalam sebuah rapat dengar pendapat seorang anggotanya mengecam mitra di eksekutif yang tidak menyebut anggota DPR dengan awalan "yang terhormat".

DPR ini barangkali adalah DPR yang banyak anggotanya hidup dalam ketakutan suatu saat perbuatannya yang melanggar hukum terungkap. DPR yang pimpinannya membolak-balikkan logika dengan mengatakan bahwa pembersihan negeri ini dari para pencuri uang rakyat melalui operasi tangkap tangan (OTT) hanya membuat gaduh, pencitraan KPK, dan merusak citra Indonesia.

Rakus anggaran

DPR ini bisa jadi adalah yang paling rakus dalam soal anggaran dan paling rendah dalam prestasi kerja. Hampir setiap tahun mengajukan kenaikan anggaran dengan lompatan mengejutkan. Anggaran DPR 2015 meningkat 59 persen dan tahun ini mengajukan tambahan untuk anggaran tahun depan dengan kenaikan 72 persen mencapai Rp 7,2 triliun.

Di sisi lain, dengan gaji, fasilitas melimpah, dan anggaran yang terus meningkat, prestasi kerja DPR terus merosot.  DPR hanya menyelesaikan 10 dari 50 undang-undang yang diprioritaskan tahun 2016. Sebelumnya tahun 2015, Dewan yang terhormat ini hanya menyelesaikan 3 undang-undang dari target 60.

Yang membuat kita miris adalah dari 560 anggota DPR saat ini, sebenarnya yang vokal dan mengendalikan arah kerja DPR tak lebih dari 20 persen. Di antara mereka ada beberapa pimpinan DPR dan pimpinan komisi dan badan yang mendominasi media dengan pernyataan-pernyataannya yang membingungkan dan memprihatinkan. Mayoritas anggota selebihnya diam.

Diamnya mayoritas anggota Dewan ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, banyak anggota yang apatis dan melihat keanggotaannya di DPR sebagai pekerjaan kantor dengan gaji tetap. Yang penting mengisi daftar absen dan hadir di Senayan.  

Kedua, anggota yang memang tidak memenuhi syarat minimal menjadi wakil rakyat dari sisi pendidikan dan latar belakang sehingga tidak berkemampuan untuk mengikuti berbagai perkembangan dalam urusan penyelenggaraan negara.

Kelompok ketiga adalah mereka yang cukup cerdas tetapi tidak bernyali menyuarakan hati nurani dan memilih aman. Daripada harus berbeda pendapat dengan pimpinan atau anggota yang vokal, lebih nyaman diam dan menjaga persahabatan.

Keempat, adalah anggota loyalis partai yang tunduk kepada hierarki partai dan tidak ingin keluar dari garis yang telah ditentukan bos partai.

Mengecewakan

Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna, tetapi kita kecewa karena tadinya kita berharap makin berusia sistem demokrasi kita, akan makin membuahkan proses dan hasil yang lebih baik. Yang terjadi tampaknya tidak demikian. Ada yang salah dalam perjalanan demokratisasi kita. Kita semua memikul beban tanggung jawab.

Tanggung jawab utama ada di tangan partai politik yang masih berbau feodal dengan sistem perekrutan yang tidak rasional. Sebagai rakyat yang memilih wakil-wakilnya di DPR, kita pun ikut bertanggung jawab karena berkali-kali telah menempatkan orang yang tidak layak di kursi empuk DPR.

Harapan memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan ini hanya akan tercapai apabila ada darah-darah baru dan muda yang berintegritas mengisi kehidupan kepartaian kita.

Juga ada kesadaran rakyat pemilih melalui peran media massa dan masyarakat madani yang terus-menerus secara konsisten memberikan informasi dan arahan yang tepat tentang seluk-beluk riwayat dan perilaku politisi yang menawarkan diri untuk menjadi wakil rakyat agar rakyat tidak salah pilih.

ABDILLAH TOHA

Pemerhati Politik

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Dewan yang Terhormat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger